Usia Ratemat Aboe sudah 83 tahun. Sehari-harinya bekerja mengayuh becak. Namun semangatnya untuk masa depan anak-anak kurang beruntung tak pernah meredup. Ia mengelola taman baca sekaligus mengajar anak-anak pemulung di Jalan Putra Yudha I Kelurahan Tanjungrejo Kecamatan Sukun Kota Malang.
=====
Pilihan hidup Aboe membuka taman baca dan mengajar sudah dilakoni bertahun-tahun. Semuanya dilakukan secara gratis. Pria kelahiran Februari 1940 itu sadar betul bahwa pendidikan jalan kehidupan. Termasuk membaca buku.
Di antara rumahnya yang sederhana, sepetak ruangan berukuran 3×6 meter menjadi tempat belajar. Dalam ruangan itu terpampang beberapa penghargaan di bawah papan nama Rumah Belajar Kakek Aboe. Namun, itu bukan apa-apa bagi Aboe. Yang paling berharga adalah anak-anak didikannya yang kini sudah banyak mengenyam pendidikan lebih lanjut di jenjang SMP dan SMK. “Ada yang sudah bekerja. Di antaranya di percetakan,” ucapnya.
Sejak awal keinginannya tak muluk-muluk. Mulanya hanya mengajar anak-anak pemulung di rumahnya. Terutama baca tulis dan menghitung.
“Kan dulu banyak rumah pemulung, anaknya tidak pernah sekolah tidak pernah belajar. Sampai sore bantu cari uang. Itulah kenapa saya prihatin, ya sudah saya ajak belajar,” cerita Aboe.
Selembar demi selembar buku dibacanya sampai habis. Itu demi menambah pengetahuannya agar bisa mendidik anak-anak yang kurang beruntung. Hal itu ia lakukan sejak tahun 2013.
“Dari beli buku bekas, majalah bekas dan koran. Kadang beli, kadang pinjam,” ceritanya. Ada pula buku sumbangan mahasiswa. Ia bahkan mengajak beberapa di antara mahasiswa membantu mengajar.
Lambat laun anak-anak pemulung itu menyebarluaskan informasi tentang bimbingan belajar yang dikelola Aboe. Jumlah anak-anak dampingannya bertambah. Paling banyak 45 orang. Hingga ia harus membuat jadwal secara bergantian di hari-hari biasa ia mengajar.
Berbuat kebaikan memang penuh cobaan. Aboe pernah mengalaminya. “Sempat ada beberap kecemburuan sosial. Katanya saya mencari sensasi. Padahal saya berbuat sebisanya saja untuk anak-anak. Saya juga bukan lulusan sekolah resmi,” ceritanya.
Namun itu tak menyurutkan semangatnya. Dia tetap tenang dan terus mengajar.
Lambat laun, pandemi Covid-19 menerjang. Situasi berubah. Anak-anak yang dia ajari mulai meninggalkan tempat dan banyak yang kehilangan semangat belajar. “Pandemi sangat berdampak. Ekonomi semakin sulit, beberapa orang tua mereka pindah dan membawa anaknya. Akhirnya tidak belajar di sini lagi,” ungkap bapak empat anak itu.
Kini mulai merangkak kembali setelah pandemi berlalu. Tempat belajar diisi anak-anak. Sekitar delapan orang yang cukup konsisten. Meski begitu ia tak ragu dan terus konsisten memberikan pendidikan gratis. Terlebih dibantu sejumlah komunitas mahasiswa.
“Sekarang kemampuan fisik sudah turun. Mata tidak sebagus dulu bicara juga agak susah. Makanya saya sekarang hanya mengajar Minggu sore mulai pukul 15.00 WIB. Lainnya dibantu beberapa mahasiswa yang ke sini, biasanya bergantian,” ucapnya.
Ia senang, bisa terus berbuat bagi sesama. Hanya ikhlas yang ada di benaknya. Ditambah sangat memahami masih banyak anak yang kurang beruntung dan tak bisa mengenyam pendidikan layak.
“Hidup itu selagi masih bernapas harus dipergunakan baik untuk orang lain. Hidup untuk hidup. Kelebihan yang diberi Allah harus dimanfaatkan untuk apa saja asal tidak menggangu milik orang lain,” kata Aboe. (m. prasetyo lanang/van)