“Maturity includes, besides the physiological readiness for procreation, the individual’s ability to find gratification for his instinctual needs within the frame of his culturally determined realities. This level of maturity in turn initiates motivation for the next phase of development, which is parenthood.” (Harrington, 2019)
Inti dari pernyataan di atas adalah bahwa seseorang dikatakan mencapai tingkat perkembangan apabila telah menjadi orang tua. Sayangnya di era perkembangan teknologi yang luar biasa ini banyak pasangan yang tidak siap menjadi orang tua.
Beberapa dari mereka memilih untuk hidup berdua dengan pasangannya dan tidak memiliki keturunan. Childfree adalah istilah yang digunakan bagi pasangan yang memutuskan untuk tidak menjadi orang tua atau tidak memiliki anak.
Childfree diakui muncul dari penelitian-penelitian di Amerika yang sudah ada sejak tahun 1970. Penelitian Jennifer W. Neal dan Zachary P. Neal yang dipublikasikan Juni 2021 menyebutkan 1 dari 4 orang dewasa di Michigan, AS, adalah pelaku childfree.
Di Indonesia fenomena childfree juga kian merebak seiring peningkatan pemahaman mereka mengenai childfree. Victoria Marsiana Tunggono (38), penulis buku childfree and happy mengatakan bahwa dia tidak mau memiliki anak.
Wanita yang saat ini masih berstatus single tersebut beranggapan bahwa seorang anak harus mengalami dimarahi orang tuanya yang mana hal tersebut akan melukai anak. Itulah yang membuatnya berpikir bagaimana jika kelak dirinya menjadi orang tua yang toxic. “Aku rasa aku tidak siap,” ujar Victoria di sebuah acara talkshow.
Alasan Memilih Childfree
Childfree mengundang argumen pro dan kontra, yang tidak setuju kerap menyampaikan perasaan marah, benci, kritik, heterosentrisme, homophobia, dan heteronormativitas di kolom komentar postingan yang mendukung childfree.
Sebagian dari mereka menganggap seseorang yang memilih childfree adalah orang yang egois dan membenci anak. Penulis berpendapat, seorang childfree mengambil keputusan tersebut karena mereka ingin menikmati waktu bersama pasangan tanpa ada gangguan sampai tua, membangun nuansa romantis berdua sampai akhir hayat, menghadapi ketakutan dalam mengurus anak, takut tidak bisa memberikan kehidupan yang layak dan juga pendidikan yang layak untuk anak.
Orang tua memiliki tanggung jawab untuk pendidikan dan menghidupi keluarganya dengan baik sehingga kadang tidak terpikirkan oleh mereka untuk bisa membahagiakan diri sendiri. Tidak jarang orang tua menunda keinginannya untuk membahagiakan diri sendiri, misalkan jalan-jalan ke luar negeri, karena harus mencukupi kebutuhan anaknya.
Alasan lain mengapa wanita memilih childfree karena ingin fokus bekerja demi meraih karir yang bagus atau memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tidak menekankan anak sebagai tujuan utamanya. Pilihan untuk menjadi seorang childfree tidak bisa dikatakan pilihan yang benar atau salah. Keputusan tersebut tentunya tidak dapat dilakukan dengan sekejap, apalagi menyangkut masa depan.
Pasangan suami istri Paul dan Gita sav, content creator dari Indonesia yang tinggal di Jerman, tidak gentar dengan stigma serta asumsi negatif masyarakat mengenai keputusannya yang memilih tidak memiliki anak secara sukarela atau childfree.
Mereka beralasan ingin hidup bahagia bersama sampai tua. Gita sav ketika ditanya host di sebuah talkshow apakah suatu saat dia akan merubah keputusannya untuk mempunyai anak, dia menjawab dengan lantang tidak.
Lalu apakah mereka yang memilih childfree tidak kesepian di masa tuanya? Menurut teori Erikson tentang psychosocial development, tidak ada keterkaitan secara spesifik antara childfree dan kesepian. Seseorang di usia 40 tahun ke atas akan mengalami generativity.
Namun banyak kita temui keluarga yang memiliki anak, di usia lansianya mengalami stagnasi. Mereka terputus dengan anak atau sanak familinya sehingga merasa tidak bahagia dan kesepian. Jadi tidak ada jaminan bahwa mempunyai anak kita tidak akan kesepian.
Childfree Menurut Pandangan Islam
Sebagai muslim rujukan kita jelas pada syariat Islam sebagai aturan hidup. Memiliki anak hakikatnya adalah sebuah anugerah dan fitrah manusia. Berikut beberapa poin yang menjadi keutamaan memiliki anak. Pertama, memiliki anak berarti memiliki kualitas amal yang tidak akan terputus.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila manusia itu meninggal dunia terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh yang berdoa baginya.”
Memiliki anak yang shalih/ shalihah akan menjadi amal jariyah yang paling berharga karena anak akan mendoakan orang tuanya sudah meninggal kelak. Kedua, anak dapat menjadi jalan menuju surga. Saat kita mampu mendidik anak kita dengan baik sehingga menghasilkan anak yang patuh terhadap agama maka mereka akan menyelamatkan kita di akhirat kelak.
Jadi bukan semata mempertimbangkan dari segi materi atau perkara duniawi. Jika pola berpikir manusia masih sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan, anak hanya akan dianggap sebatas menjadi beban.
Sisi lainnya anak akan mendatangkan rezeki. Allah SWT berfirman, ”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS. Al-Isra’:31).
Dengan izin Allah SWT, anak memiliki rezeki yang disebutkan oleh Allah bahwa anak terlebih dahulu diberi rezeki baru orang tuanya. Namun tentunya dengan berikhtiar sebelumnya. Lantas bagaimana dengan hukum childfree dalam Islam?
Muktamar NU ke-28 di PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H/25-28 November 1989 M memutuskan hukum mematikan fungsi berketurunan secara mutlak adalah haram. Bahasan Muktamar tersebut sebenarnya adalah hukum vasektomi dan tubektomi, namun hal tersebut dapat menjadi alasan hukum childfree. Yakni mematikan fungsi berketurunan atau reproduksi. Keputusan untuk childfree adalah sesuatu yang normal. As long as you are perfectly happy with that, not because hate the children.
Demikian keputusan untuk memiliki anak adalah keputusan yang sangat normal. Namun bagaimana mungkin ada pasangan yang memutuskan untuk childfree sedangkan senyum kecil anak kita selalu membayangi? (*)