.
Friday, November 22, 2024

Bagas Sutoko, Seniman Kelola Kebun Ilmu di Kepanjen

Buka Kelas Seni Gratis, Peserta Didiknya Ratusan Anak

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Seniman adalah panggilan hidup Bagas Sutoko. Tak sekadar berkarya tapi juga berbagi kemampuan yang dimiliki.  Rumah sederhananya di Desa Cempokomulyo Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang dijadikan tempat belajar. Diberi nama ‘Kebun Ilmu’ diwujudkan jadi perpustakaan dan kelas gratis kesenian.

=====

Bisa saja sebagai seniman memiliki gengsi tinggi, jual mahal atas idealisme yang dimiliki. Meghargai mahal karya seni dan memamerkannya hanya di galeri. Namun tidak berlaku bagi Bagas Sutoko.

Seniman hebat di Jalan Kenanga Desa Cempokomulyo Kecamatan Kepanjen. Dia lebih senang berbagi banyak hal kepada siapa saja yang datang ke rumahnya. Itu pun dilakukan secara cuma-cuma.

Di sebuah rumah yang lebih mirip studio seni kecil, berhias lukisan ilusi tiga dimensi di ruang tamu dan halaman, Bagas menyambut siapa saja yang datang.

“Kalau kata anak anak yang ke sini dipanggilnya Opa B,” kata Bagas. Begitulah dia biasa disapa bocah-bocah sekolah yang akrab dengannya karena diajari kesenian.

Bertengger tulisan timbul Kebun Ilmu di pintu masuk, rumah itu tampak bagai bengkel kesenian. Dihiasi banyak gambar dan motif lukisan.

Di sisi lain berjajar buku-buku bacaan untuk dibaca siapapun yang berkunjung. Di sanalah Bagas banyak bercerita mengenai perjalanannya. Ia yang lulusan seni tak serta merta menjadi seniman handal sekejap.

Ketertarikannya terhadap  seni berawal dari masa kecil. “Dulu sering ketemu orang yang mana teman bapak saya bernama Husain. Waktu itu di Kayutangan, dia selalu menggambar di atas amplop dan membuat saya terkesan dan banyak belajar,” cerita Bagas.

Bagas kecil yang sangat senang dengan lukisan amplop teman ayahnya itu selalu diberi hasilnya dan dibawa pulang. Hal itu yang memantik ketertarikan Bagas pada kesenian sampai beranjak remaja dan dewasa. Masa SMP dan SMA banyak dihabiskan untuk mengekspolrasi kemampuan menggambar. Termasuk berkarya seni rupa yang lain.

Singkat cerita, Bagas memastikan kegemarannya akan terus tersalurkan di masa kuliah. Akademi Seni Indonesia Yogyakarta menjadi pilihannya  menempuh perguruan tinggi. Di Kampus yang kini bernama Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja itu, Bagas memilih jurusan periklanan. Di masa itu tahun 1979, usianya baru 19 tahun. Di mana periklanan ia rasa membawanya harus banyak melukis di media besar.

“Waktu itu tidak ada teknologi seperti sekarang, semua periklanan digambar atau dilukis sendiri. Saya banyak mengerjakan itu,” kenangnya.

Bagas saat kuliah benar-benar mengasah kemampuannya. Bahkan hingga bekerja dia selalu mencari lahan  menggoreskan ekspresi jiwanya dalam seni rupa.

Dua tahun dikontrak kerja periklanan, dia ditawari kerja di salah satu pabrik penyedap rasa di Pasuruan. Bagas memilih ikut karena peluang untuk berkesenian dirasa besar dan menghasilkan. Terlebih merek dagang tempatnya bekerja tidak ada.

“Saya masuk dan banyak berkarya di sana, terutama setiap poster-poster promosi dan penjualan yang digambarkan manual,” katanya. Sebab itulah Bagas semakin terlatih.

Sejak kuliah, dia juga sering mendapatkan penghargaan lomba-lomba melukis dinding atau mural. Mendesain poster dan mendesain logo berbagai lembaga. Semua itu ia salurkan tanpa setengah-setengah. Hingga bekerja selama kurang lebih 20 tahun. “Sempat mau pindah divisi tapi tak ada menggambarnya saya bingung,” cerita dia. Hingga akhirnya tak berkenan dan meneruskan pekerjaan itu sampai memutuskan pensiun.

Kekosongan hidup mulai terasa olehnya saat pindah rumah dari kota ke Kepanjen. Semua yang ia rasakan dulu telah hilang. Aktivitas yang bisa menyalurkan hobi dan bakatnya tak banyak.

Hingga suatu ketika, rumah Bagas kedatangan tamu beberapa anak SMA. Mereka mengetahui Bagas dari karya seni yang pernah dibuatnya di kampung. Bagas lalu dimintai bantuan membuat majalah dinding oleh anak-anak itu.

“Mereka sempat menanyakan, berapa? (ongkos, red). Saya tidak menjawab, lalu besoknya saya sampaikan kalau tidak perlu. Bagi saya berbagi saja sudah senang,” ungkapnya.

Mulailah Bagas kembali bergairah dalam kesenian. Dia mengaku jenuh jika tangannya tak menghasilkan sesuatu. “Memang mau tidak mau rasanya saya semangat lagi menggambar, melukis, membuat karya kerajinan gara-gara anak-anak SMA yang datang,” kata Bagas.

Berbagi ilmu membuatnya bergairah kembali. Bagas bukan tak mau dibayar tapi lebih senang mengajak belajar dan mempunyai anak didik yang berkemauan belajar tinggi. Murid-murid pertamanya datang dari SMA Negeri 1 Kepanjen.  Mereka diajari membuat mading dan melukisnya agar elok dipandang.

Lambat laun jasanya pada anak-anak SMA itu dikenal lebih luas. Mereka yang sudah pernah mendapatkan bimbingan kesenian dari Bagas banyak bercerita kepada sesamanya. Hingga akhirnya banyak anak berdatangan meminta bantuan dan belajar   dari Bagas.

“Awalnya masih delapan orang. Dari mulut ke mulut akhirnya jadi banyak. 40 lebih datang hanya untuk meminta diajarkan melukis dan membuat kerajinan,” ceritanya.

Rata-rata dari muridnya itu datang untuk meminta bantuan dalam mengerjakan tugas kesenian dari sekolah. Ada pula orang tua yang membawa anaknya agar belajar melukis. Namun, bagi Bagas yang utama adalah kemauan si anak sendiri.

“Sayangnya kan masih banyak orang tua yang berambisi anaknya pintar seni, pintar menggambar, kalau ada lomba berharap menang tapi bukan kemauan anaknya. Harusnya ini tidak terjadi,” kata dia.

Bagas banyak memberi masukan terkait kesenian yang tak bisa dipaksakan. Dari setiap anak yang datang, Bagas tak pernah menarik biaya. Ia pun tak bisa menjamin setiap anak akan terampil memainkan kuas dan cat atau berketerampilan seni rupa lain. Melainkan hasilnya berbeda-beda.

“Ya, semuanya juga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar dengan tenang. Biarkan dia berkreasi dan mencoba banyak hal. Hasilnya akan mengalir dengan sendirinya, mengikuti,” ungkap pria berkaca mata itu.

Kebun Ilmu, nama itu dipilih karena menggambarkan di halamannya  banyak tanaman hias namun menjadi ladang belajar anak-anak tentang banyak hal. Terutama seni.  Baik itu melukis, menggambar, membuat kerajinan dan berbagai hal lain.

“Setiap sore, kalau di sini banyak anak datang. Ada yang dari luar kota. Yang banyak dari sekolah-sekolah di sekitar. Sampai dengan gurunya kami akrab,” ungkap pria 62 tahun itu.

Tak ada kata lain selain kecintaan pada kesenian membuatnya terus bergerak berbagi ilmu meski tanpa imbalan. Baginya kebermanfaatan jauh lebih berharga dibanding apapun.

Kelas kecil seninya itu  beroperasi hampir setiap hari. Anak muridnya tidak hanya SMA, tetapi juga SMP. Bahkan perguruan tinggi juga ada. Jumlah peserta didik  juga banyak.

“Sepertinya sudah ratusan anak, karena setiap rombongan  bisa 40 anak dan bergantian. Sampai sekarang,” kata Bagas.

Meski sederet trofi mentereng di rumahnya, dia tetap menganggap itu hasil usaha dan keberuntungan. Bahkan  tak terlalu penting baginya.  Tercatat sudah sebanyak ratusan orang datang menjadi muridnya bergantian tanpa tarikan ongkos. Dia juga memiliki beberapa murid setia yang setiap berkarya seni dihasilkan bersama bimbingan dari Bagas. “Ada yang dari kelas tiga SD sampai SMP sekarang masih datang. Itu yang membuat saya bangga, karena kemauannya belajar seni luar biasa,” tuturnya.

Bagas berkeinginan membuat wadah bagi para seniman di sekitarnya. Ia juga berkeinginan membentuk sebuah pemukiman di sekitar rumahnya menjadi wisata edukasi. “Dari dulu selalu ingin menyulap sedemikian rupa jadi kampung wisata kesenian yang pusatnya di sini (rumahnya). Melibatkan banyak seniman lain tentunya agar bisa menjadi sesuatu yang menarik bagi siapa saja yang datang,” tukasnya. (M. Prasetyo Lanang/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img