MALANG POSCO MEDIA- Dua banteng bertarung melawan dua macan di Hotel Pelangi Kota Malang, Jumat (24/2) kemarin sore. Macan terhasut provokasi seekor monyet. Melewati pertarungan yang sengit, banteng jadi pemenangnya.
Pertarungan itu merupakan bagian dari atraksi seni budaya Bantengan dalam kegiatan bertajuk, Pesona Kesenian Bantengan. Banteng simbol dari manusia, melawan macan yang merupakan simbol angkara murka. Atraksi Bantengan ini digelar untuk melestarikan kembali seni budaya asli dari Malang tersebut.
Salah satu tokoh Bantengan di Malang Raya, sekaligus Ketua Bantengan Nuswantara Agus Riyanto mengatakan seni budaya Bantengan di Malang Raya memiliki ciri khas masing-masing. Begitu juga dengan Bantengan yang ada di luar Malang Raya juga memiliki sedikit perbedaan.
“Secara umum sama. Perbedaannya hanya ketukan kendang, musik dan iramanya. Tapi itu pun masih mirip-mirip, dari nada rendah ke tinggi,” jelas pria yang akrab disapa Agus Tubrun ini.
Seni budaya Bantengan punya banyak pesona dan daya tarik. Selain keindahan tarian, atraksi dan irama musiknya, daya tarik tersendiri yang bisa ditemukan dalam Bantengan adalah momen ‘kalap’ atau kesurupan. Meski para penonton atau penikmat Bantengan dibuat berdebar dan tegang, juga bisa merasakan kepuasan tersendiri.
“Kalap itu memang budaya yang melekat dalam budaya kita di nusantara. Tapi sebenarnya tidak harus kalap, banyak juga yang hanya tari-tarian saja,” tukas Agus.
Menurut Agus, Bantengan zaman dulu dengan zaman sekarang cukup berbeda. Dulunya Bantengan hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun kekinian banyak anak-anak yang terlibat dalam Bantengan. Ini sangat bagus, mengingat warisan budaya asli Malang Raya ini sempat meredup, bahkan ‘menghilang’.
Sebab ia mengatakan, beberapa tahun silam seni budaya Bantengan memang cukup sulit perkembangannya. Namun kemudian titik baliknya sekitar tahun 2008, kesenian Bantengan ini kembali muncul lagi di permukaan.
“Saat itu tahun 2008, syukurnya bisa terkumpul 60 kelompok, dimana itu sebelumnya mati tidak ada kegiatan apapun. Dalam kurun waktu sekitar 14 tahun, jadi tahun kemarin, tanpa ada dukungan, murni dari masyarakat, kita berhasil mengumpulkan 270 kelompok. Kita tampil di Kota Batu,” bebernya.
Tidak dapat dipungkiri, semua pelaku kesenian Bantengan di Malang Raya bergerak secara swadaya atau mandiri. Benar-benar ikhlas tanpa ada embel-embel uang.
“Kita butuh ruang untuk berekspresi. Kalau pun support uang itu tidak baik menurut saya, karena bisa meracuni pelaku seni budaya. Pakem dari budaya Nuswantara tidak ada urusan dengan uang,” jelasnya.
Selain itu lanjut Agus, pihaknya juga membutuhkan wadah menyalurkan seni budaya tersebut. Yakni dengan tampil dalam sebuah event. Tujuannya supaya kelompok seni budaya mempunyai semangat meneruskan budaya nenek moyangnya.
“Kemudian juga untuk pemerintah kami berharap bisa mempermudah perizinan seni budaya. Kalau perizinan masih ribet dan ketat, hancurlah budaya kita,” tegasnya.
Wakil Wali Kota Malang Ir H Sofyan Edi Jarwoko yang juga hadir dalam atraksi tersebut sangat mengapresiasi adanya kegiatan Bantengan. Bantengan bisa tumbuh subur kembali berkat peran dari pelaku seni budaya yang bergerak secara swadaya.
“Merawat kesenian Insya Allah sama dengan merawat Nusantara,” sebut Bung Edi, sapaannya.
Dukungan pemerintah, kata Bung Edi, pihaknya terus berupaya untuk mewadahi Bantengan. Yakni melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk seni budayanya, dan juga Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata untuk daya tarik wisatanya.
Sebab seni budaya Bantengan diyakini menjadi tambahan khazanah tersendiri pariwisata di Malang Raya. Untuk itu, butuh kolaborasi dengan berbagai pihak, baik dari pelaku budaya, pemerintah, bahkan pengusaha. Ini terus diupayakan oleh pemerintah sehingga Bantengan bisa terwadahi dengan baik kedepannya.
“Butuh kerjasama semua pihak dan ekosistem untuk mendukung bertumbuhnya budaya Bantengan,” pungkasnya. (ian/van)