.
Friday, November 22, 2024

Ahmad Sholeh, Penggagas Yayasan Murtitomo

Belajar Topeng Malangan dari Mbah Karimoen, Kini Wadahi Seniman

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Dikenal dengan sapaan Wahid Topeng. Itulah Ahmad Sholeh, dari mengurus sanggar seni tari hingga membuat pelatihan produksi Topeng Malangan  bagi generasi muda. Hidup pria paruh baya di Desa Sengguruh Kepanjen Kabupaten Malang ini didedikasikan untuk pelestarian seni budaya melali yayasan.

Di rumah sederhana dengan ruangan berupa bengkel topeng kecil di sampingnya,  Wahid Topeng menyapa dengan hangat, Senin (6/3) lalu. Di depan rumahnya, bongkahan kayu sengon dan pahatan topeng besar berupa kepala Reog menyapa saat hendak masuk. Begitulah suasana di rumah Wahid Topeng. 

Dari tempat sederhana itulah ia mengerjakan pesanan topeng dari komunitas lokal hingga luar Jawa. Bahkan dari luar negeri. Darah seni mengalir dari kakeknya yang seniman pencak silat. Ayahnya juga seniman tari, ludruk dan ketoprak.

“Itu sebabnya saya  suka seni sejak kecil. Dari SMP suka menonton pertunjukan kesenian jaranan dan barongan. Saat SMA mulai mencari apa yang bisa dipelajari di dunia seni,” cerita Wahid.

Suatu waktu, ia memutuskan menimba ilmu pada seorang maestro topeng. Yakni Mbah Karimoen. Tahun 2001 menjadi awal dia mengenal pahatan kerajinan topeng. Sedikitnya selama enam bulan Wahid menimba ilmu. Sebagai pembelajar yang baik, dia tak setengah-setengah. Hasilnya keahlian dasar kerajinan topeng bisa dikuasai.

“Dalam setengah tahun itu saya merasa setiap ilmu yang didapat sangat membekas dan benar-benar terasa,” katanya.

Dua tahun kurang, selepas belajar banyak di Mbah Karimoen sang maestro, Wahid kehilangan ayahnya. Ia pun sadar tak ada yang bisa diharapkan selain keahliannya. Hingga harus merelakan bangku kuliah selepas lulus SMA.

“Saat itu memang tidak bisa melanjutkan kuliah. Harus kerja. Akhirnya tahun 2003 merantau ke Jakarta untuk kerja. Di sana kerja di produsen minuman energi Bintang Toedjoe. Tapi tetap mencari aktivitas seni dengan ikut grup Reog,” kenangnya.

Wahid mendalami seni bukan sekadar ikut-ikutan. Reog Ponorogo yang menjadi hal baru baginya dipelajari betul lebih dalam. Bahkan hingga rasa penasarannya jauh kepada bagaimana membuat kerajinan properti Reog Ponorogo. Sambil menyelam minum air, Wahid tak menyia-nyiakan kesempatan belajar dari kawan-kawan grup Reog yang ia ikuti.

“Sesekali juga langsung ke Ponorogo, lihat orang membuat reog sampai belajar di sana. Di Jakarta juga grup Reog yang saya ikuti milik duta kesenian semua. Mereka sering main ke luar negeri karena dibina Pak Soeharto (Presiden RI ke 2),” tuturnya.

Lambat laun keahliannya bertambah. Tak hanya membuat topeng, juga berhasil bikin properti reog dan jaranan serta barongan. Hal itu ditempuh bukan dengan cara instan. Sepulang ke rumahnya di Kepanjen tahun 2007, Wahid sudah membawa banyak bekal untuk memulai bisnis.

Sebagai perajin yang telah memiliki kemampuan pengrajin topeng, ia mengajak beberapa rekan seusianya membuat kelompok usaha. Di rumahnya ia jadikan tempat produksi Topeng Malangan, Reog, jangganong, jaranan dan jepaplol atau pun barongan.

“Di pikiran saya harus bisa hidupkan kesenian. Yang penting menghidupi kesenian tapi juga kesenian harus bisa menghidupi. Dari mulai topeng dan properti barongan, caplok akhirnya bisa hidup bukan hanya dari ‘tanggapan’ yang ditunggu. Tapi apapun yang menghasilkan dikerjakan,” papar pria murah senyum itu.

Lambat laun usahanya tumbuh. Penghasilan yang lumayan mampu menggaji rekan-rekannya membuat berbagai kerajinan. Ia juga menyuplai bahan baku pembuatan berbagai pernak pernik keperluan seni dan budaya. Di antaranya menyuplai ekor sapi untuk dijadikan rambut Reog di Ponorogo.

“Di tahun 2018-2019 itu hampir setiap bulan ke Ponorogo. Menyuplai ekor sapi, sedikitnya sekali kirim bisa lima kwintal,” jelasnya. Dari berkali-kali menyuplai ia lagi-lagi mencuri ilmu sebanyak-banyaknya.

Namun sayang kala pandemi Covid-19 menerjang apa yang dikerjakannya mulai surut. Menghadapi masa sulit akhirnya beberapa rekan tidak lagi bekerja dengannya. Ada yang alih pekerjaan hingga membuat kerajinan sendiri di lain tempat. Wahid yang seorang diri tetap konsisten membuat topeng dan kerajinan kesenian daerah lain. Seperti halnya reog yang butuh modal besar, satu bulu merak  seharga Rp 8.500. Jika satu set membutuhkan ribuan bulu ia harus memasang dan memodali hingga produknya dijual Rp 10 juta. Dia bersyukur sampai saat ini masih banyak yang menghargai mahal.

“Alhamdulillah masih bia bertahan, banyak pesanan meski naik turun seperti topeng. Kalau yang lain kebutuhan reog dan jaranan atau barongan malah banyak,” katanya.

Pria kelahiran 28 Agustus 1981 ini kemudian berinisiatif  mengumpulkan kawan-kawannya sesama seniman untuk membangun komunitas. Kini tumbuh pesat menjadi yayasan. Yayasan itu diberi nama Yayasan Murtitomo. Tempatnya pengembangan kesenian hingga wadah berkumpulnya seniman daerah. Juga menjadi wadah memikirkan bersama eksistensi seniman.

Dimulai dari membuka sanggar tari topeng, anak-anak di sekitarnya mulai diajak menjadi peserta sanggar. Hal itu berjalan terus hingga sampai saat ini.

Ia juga membuka kelas pelatihan membuat topeng Malangan. Meski sulit, hal itu sudah menjadi tantangan baginya. Bagaimana regenerasi tetap harus diasah meski hanya beberapa orang.

“Sekarang ada tiga yang serius, lainnya ada tapi kadang niatnya kurang,” katanya. Menurut Wahid, jika niat setengah-setengah maka tidak akan berhasil kedepennya. Ia sangat senang terus bisa berbagi banyak hal untuk sesama. Dia tetaplah seniman topeng yang multi talenta.

Wahid kini berupaya memperjuangkan kesejahteraan seniman di komunitas-komunitas.Yayasan yang ia gagas bersama teman- temannya selain membuat Sanggar Murtitomo, juga menjadi naungan berbagai grup jaranan dan barongan di Malang. Setidaknya ada puluhan yang dipersatukan. Kini terus memperjuangkan eksistensi seniman melalui berbagai cara.

“Semua saya ajak untuk mikir bareng, di mana yang kami rasakan regenerasi sulit, tapi kesejahteraan seniman juga menjadi masalah. Masih biasa-biasa saja tidak banyak pertumbuhan. Maka, dari yayasan kita ajak setidaknya bisa memasukkan kesenian dalam pendidikan formal. Mulai dari guru seni dan ekstrakurikuler dari sana mereka bisa terangkat,” paparnya.

Ia juga mengharapkan agar pemerintah  memberi perhatian bagi seniman. Keinginannya untuk terus melestarikan seni budaya butuh dukungan penuh. Wahid, menjadi seniman topeng yang tak hanya sekadar perajin tapi  penggerak seniman. Memperjuangkan kesejahteraan seniman hingga memperjuangkan kelestarian budaya. “Karena sekarang yayasan sudah sah sejak tahun 2021. Yang diharapkan bisa mengembangkan lebih maju lagi,” pungkasnya. (m prasetyo lanang/van) 

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img