MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Bencana tanah longsor yang melanda wilayah barat Kabupaten Malang terus terjadi. Kecamatan Pujon dan Ngantang menjadi wilayah terparah terkena dampak longsor. Longsor bahkan sempat memutus arus lalu lintas Malang-Kediri selama lebih dari 20 jam.
Kerentanan longsor ini disinyalir merupakan dampak dari alih fungsi lahan di sejumlah titik menjadi pertanian. Terutama di dataran tinggi. Hal tersebut disampaikan Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, Lila Puspitaningrum. Dia mengatakan longsor kian masif sebab didapati lahan yang masih minim vegetasi.
“Kalau dilihat problemnya memang lahan yang dialih fungsikan. Jadi penyangganya memang sudah tidak ada. Akibatnya resapan di atas tebing malah kurang,” jelas Lila, sapaannya saat dihubungi Malang Posco Media, kemarin. Data di Perum Perhutani menyebutkan daerah hutan yang beralih fungsi disebut sebagai hutan kritis.
Luasnya di Kabupaten Malang mencapai 10 ribu hektar. Hutan kritis tersebut terdiri dari hutan lindung seluas 2.435 hektar, hutan konservasi 2.012 hektar dan hutan produksi 5.621 hektar. Kecamatan Sumbermanjing Wetan menjadi daerah yang memiliki lahan kritis terluas yakni 5.869 hektar.
“Banyaknya lahan kritis tersebut sering memicu bencana alam seperti tanah longsor dan banjir,” ungkapnya. Daerah yang kerap terjadi rawan banjir terdapat di Malang Selatan, seperti Desa Pujiharjo dan Purwodadi Kecamatan Tirtoyudo, Desa Tambakrejo dan Desa Sitiarjo Kecamatan Sumbermanjing Wetan.
Sedangkan kawasan rawan tanah longsor memang didapati berada di beberapa titik terutama ruas jalan yang menghubungkan Pujon-Ngantang menuju Kediri dan sepanjang jalan yang menghubungkan Dampit-Lumajang. Menurut Lila lagi, di wilayah Pujon sepanjang jalur utama Malang-Kediri memang banyak yang dikelola Perhutani.
Beberapa kali, lanjut Lila, Walhi juga mendapatkan laporan soal ilegal logging yang terjadi di sana. Dari perubahan iklim, juga banyak dipengaruhi kurangnya vegetasi dan pepohonan penyeimbang. Sehingga hal itu yang menyebabkan salah satu ketidak stabilan cuaca.
Idealnya jika lahan di dataran tinggi seperti tebing lokasi longsor masih banyak didapati pepohonan penyangga, dipastikan longsor dan banjir kemungkinan besar tidak akan terjadi di wilayah hulu. “Ini mirip seperti banjir di Kota Batu,” terang dia. Menurutnya, hal yang paling utama harus dilakukan adalah mengembalikan fungsi lahan.
Dia berharap, hal tersebut mampu menjadi perhatian pemerintah. Sebab, kebijakan-kebijakan mengenai pengembalian fungsi hutan sangat dibutuhkan bagi kelangsungan ekosistem. Terlebih tidak memperparah keadaan dan memocu bencana seperti longsor yang semakin sering terjadi. (tyo/mar)