Umat Islam telah memasuki bulan yang mulia, yaitu bulan Ramadan. Tidak ada hamba yang paling bahagia di dunia kecuali orang yang sampai umurnya pada bulan Ramadan. Karena itu, Rasulullah SAW selalu mengajarkan kepada umatnya, ketika sampai pada bulan Rajab ataupun Sya’ban untuk memperbanyak doa yang diajarkan langsung oleh beliau, “Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, serta pertemukanlah kami dengan Ramadan.”
Pada bulan Ramadan, Allah SWT menjanjikan banyak keutamaan kepada orang yang beriman berupa keberkahan, ampunan, pembebasan dari api neraka dan lain sebagainya. Dengan demikian, salah satu ciri bagi orang yang beriman adalah menyambut bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan, suka cita, dan persiapan lahir maupun batin.
Menyambut bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan ini sudah pernah dilakukan Nabi SAW di depan para sahabatnya untuk bersama-sama merayakan kedatangan bulan Ramadan. Para ulama pun menganjurkan agar saling mengucapkan “Selamat menyambut kedatangan bulan Ramadan” di antara satu sama lain saat menjelang bulan Ramadan. Di Indonesia ucapan tersebut biasanya diungkapkan dengan kalimat “Ahlan wa sahlan ya Ramadan.”
Spiritualitas Ramadan
Puasa Ramadan, sebagai salah satu rukun Islam, adalah cara untuk mengingatkan kaum muslim tentang pentingnya mengendalikan nafsu dan menahan diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT.
Selain itu, puasa Ramadan juga memberikan pelajaran tentang solidaritas dan kerjasama antar sesama, sebab semua umat Islam yang sehat dan dewasa wajib berpuasa selama bulan Ramadan.
Selama bulan Ramadan, kaum muslim diharapkan mampu memperbaiki kualitas ibadahnya, seperti meningkatkan kualitas doa dan membaca Al Qur’an. Selain itu, umat Muslim juga diharapkan dapat melakukan amal kebajikan dan memberikan sumbangan kepada orang yang membutuhkan.
Ramadan juga merupakan momentum untuk mempererat hubungan antar sesama sekaligus kesadaran sosial, seperti dengan mengundang keluarga, sahabat, orang miskin, anak yatim, dan tetangga untuk berbuka puasa bersama-sama. Hal ini dapat meningkatkan rasa empati dan kasih sayang pada sesama serta memperkuat tali silaturahim.
Dengan demikian, Ramadan bukan sekadar tradisi ibadah tahunan yang dilakukan oleh kaum muslim. Ramadan adalah waktu yang sangat penting demi meningkatkan empati pada sesama, meninggikan kadar keimanan, dan menguatkan koneksi secara vertikal kepada Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Salah satu cara untuk memperkuat koneksi spiritual selama Ramadan adalah dengan berdoa dan membaca Al Qur’an. Umat Islam ditargetkan membaca Al Qur’an sebanyak mungkin selama bulan Ramadan, sebab bacaan Al Qur’an pada bulan ini memiliki nilai yang lebih tinggi.
Selama Ramadan, umat Islam bisa melakukan berbagai amal dengan memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Amal kebajikan ini dapat berupa memberi makanan kepada orang yang berpuasa, membantu orang yang sakit atau membutuhkan, atau memberikan sumbangan kepada yayasan yang membutuhkan.
Selama bulan Ramadan, umat Islam juga dapat melaksanakan salat tarawih sebagai amalan sunnah yang dilakukan setelah salat Isya.’ Salat ini dilakukan secara berjamaah di masjid dan biasanya setelah itu dilanjut dengan tadarusan. Tarawih memang tidak wajib, namun dianggap sebagai ibadah penting selama bulan Ramadan serta dapat memperkuat hubungan spiritual dengan Allah dan antar sesama.
Bukan Sebatas Formalitas
Semangat beribadah di bulan Ramadan tentu bukan sekadar formalitas. Begitu pula ibadah puasa, ia akan kehilangan spiritualitasnya jika dilakukan sekadar ritual belaka. Puasa Ramadan niscaya kehilangan makna jika sebatas meninggalkan makanan, minuman, dan hubungan suami-istri di siang hari. Hakikat puasa Ramadan, selain mencegah nafsu perut dan nafsu kelamin, juga tirakat pikiran dan hati dari seluruh nafsu keburukan.
Belakangan ini, sering betul muncul gejala keberagamaan yang cenderung mengamalkan doktrin puasa secara parsial. Seolah berpuasa hanya sebatas memenuhi syarat-syarat formalitas syariat, sehingga lahirlah sosok-sosok yang rajin berpuasa sekaligus tetap semangat berlaku munkar.
Padahal, seseorang yang melaksanakan amalan baik dan buruk secara bersamaan dapat dikatakan ia sedang mengalami kepribadian terbelah (split personality). Orang semacam itu senyatanya sedang sakit mental sebab tidak satu agama pun yang mengajarkan pemeluknya berkepribadian ganda.
Petakanya, praktik keberagamaan yang masih mencampuradukkan antara amal baik dan amal buruk telah mengepidemi banyak kaum beragama yang mengukur kesalihan seseorang dengan kriteria serba legal formal. Dalam konteks puasa Ramadan, kesalihan terkadang hanya ditentukan oleh seberapa kuat seseorang tidak makan dan tidak minum.
Puasa bagi setiap muslim hanya akan bermakna sebagai sebuah ibadah manakala melahirkan pencerahan perilaku. Rasulullah SAW pernah menyatakan, “Banyak orang yang berpuasa, hasilnya hanyalah lapar dan dahaga.”
Logika yang terkandung dari pesan hadis ini bahwa puasa yang ditunaikan sekadar memenuhi rukun fisik dan biologis sama sekali tidak memberikan garansi apa pun, jika tanpa dibarengi dengan pemaknaan ruhaniyah yang menghasilkan perubahan konstruktif dalam perilaku.
Ibarat pekerja kantoran, asal sudah mengisi daftar hadir ia merasa sudah memenuhi kewajiban sehingga tidak peduli dengan kualitas pekerjaan yang dijalaninya. Begitu pula ibadah puasa, asalkan sudah berpuasa ia tidak peduli lagi seberapa bernilai puasanya itu. Inilah puasa yang tiada makna; puasanya hanya cangkang tanpa isi, hanya raga tanpa jiwa, dan akhirnya tidak akan dilirik Allah sedikit pun.
Memang, makan, minum dan seks adalah kebutuhan pertama yang harus dikendalikan dalam berpuasa. Bila ketiganya telah terkendali dengan baik maka tangga menuju kebutuhan ke tingkat berikutnya akan dengan mudah diraih. Dengan kata lain, meninggalkan makan, minum, dan seks selama bulan puasa sesungguhnya hanyalah jembatan dan senjata, bukan sasaran dan tujuan akhir.
Karena itulah Rasulullah SAW menyindir sebagian kaum muslim dengan pernyataan, “Banyak orang yang puasa tetapi tidak mendapat nilai apa pun kecuali derita lapar dan dahaga.” Puasa semacam ini adalah puasa yang hanya meninggalkan makan, minum dan seks, tetapi tidak mampu meninggalkan nafsu liar lainnya. Hanya membanggakan simbol ritualitas tetapi melupakan esensi terdalamnya.
Bulan Ramadan tak ubahnya bulan training untuk melatih manusia supaya benar-benar siap menjalaninya baik secara ritual-formal maupun mental-spiritual. Ramadan adalah waktu yang sangat penting agar selama bulan suci ini umat Islam mampu melakukan aneka kebajikan tidak sebatas ritualitas, namun dengan penuh keimanan dan pemaknaan. Semoga bulan Ramadan tahun ini dapat memperkuat koneksi spiritual dengan Sang Maha Kuasa sekaligus meningkatkan kesadaran sosial terhadap sesama.(*)