Pondok Pesantren (Ponpes) Literasi Darun Nun Malang bisa disebut berbeda dengan kebanyakan pondok pesantren. Lokasinya tidak terpisah pisah, dan ibadah rutin santri dilakukan di masjid utama dan membaur dengan masyarakat.
MALANG POSCO MEDIA – Betapa tidak, pondok pesantren yang berada di komplek Perumahan Bukit Cemara Tidar Kelurahan Karang Besuki Kecamatan Sukun itu pemondokannya tidak terpusat menjadi satu tempat. Melainkan terpencar di beberapa blok di dalam perumahan tersebut.
Tepatnya di Blok J, Blok K dan dua titik di Blok F. Pondoknya sendiri berupa rumah agak besar dan mampu mencukupi untuk puluhan santri. Sementara untuk ibadah salat rutin, berada di masjid utama di perumahan tersebut yang berlokasi tidak terlalu jauh. Yakni di Masjid Baiturrahman.
Tidak disangka, dengan kondisi seperti itu, ternyata juga bisa menjadi peluang dakwah yang lebih luas kepada masyarakat sekitar. Sebab para santri bisa berbaur dengan masyarakat. Hal ini dijelaskan oleh Pendiri dan Pengasuh Ponpes Darun Nun Malang Ustadz Halimi Zuhdy
“Jadi misalnya kalau setiap waktu salat, para santri itu kan akan berjalan kaki ke masjid. Dengan memakai baju salat yang rapi, lalu pakai sarung, pakai peci, mereka otomatis menunjukkan bagaimana seorang muslim. Makanya saya juga sering bilang ke santri, dengan kalian rutin berjalan ke masjid itu saja sudah menjadi sebuah dakwah karena dilihat oleh masyarakat,” ujar Ustad Halimy.
Ponpes Darun Nun sendiri didirikannya sejak sekitar 2013 lalu. Awalnya, rumah miliknya yang berada di Blok K menjadi cikal bakal berdirinya Ponpes Darun Nun. Ketika itu, hanya dua santri saja yang mondok di rumahnya. Alhasil, di satu rumah itu ia harus berbagi tempat dengan santri.
Seiring berjalannya waktu, Ustadz Halimi kemudian dibantu oleh relasinya untuk membangun rumah di komplek lain. Berlanjut lagi beberapa waktu kemudian, ia perlu mengontrak sebuah rumah di komplek lain karena jumlah santri terus bertambah. Santrinya berasal dari kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kota Malang.
“Pertama membangun pondok itu berawal karena ada keinginan saya untuk punya sebuah lembaga yang dapat membantu masyarakat sekitar. Baik terkait sosial, keagamaan dan lainnya,” ungkap Ustadz Halimi yang pernah belajar di King Saud University Riyadh Saudi Arabia 2008 lalu.
Di ponpes yang diasuhnya ini, konsep pengelolaannya dilakukan secara mandiri oleh santri. Baik untuk makan minum, laundry hingga pembayaran listrik dan air. Mereka sendiri yang menghimpun dana dari santri yang diperuntukkan kembali untuk santri. Ketika itu, tiap santri hanya membayar bisyaroh senilai Rp 50 ribu dan sepenuhnya dikelola santri. Ustadz Halimi tidak menyentuh sedikit pun dana tersebut.
Karena ada pondok yang statusnya mengontrak, maka ketika itu perlu penyesuaian hingga saat ini bisyarohnya sekitar Rp 150 ribu. “Jadi pembayaran dikelola mereka untuk mereka dan cukup untuk mereka. Pondoknya ya istilahnya nggak bayar. Untuk WiFi, listrik, sama kebutuhan sehari sehari masak sendiri. Kita lebih pada fasilitasi. Kalau sekarang sudah meningkat Rp 150 ribu per bulan. Kalau putri Rp 200 ribuan,” jelasnya.
Karena pondok putra dan putri terpisah di empat lokasi, maka diakui Ustadz Halimi memang ada tantangan tersendiri. Misalnya ia harus memastikan seluruh santri bisa salat dan mengaji di masjid. Tidak terkecuali di waktu salat subuh. Alhasil, masyarakat setempat sudah sangat terbiasa dengan aktivitas santri Ponpes Darun Nun bahkan ikut berkegiatan bersama.
Ponpes Darun Nun sendiri kini sudah sangat representatif untuk belajar ilmu agama. Dikatakan Ustadz Halimi, di awal tentu butuh penyesuaian dengan fasilitas yang seadanya. Saat ini sedikitnya ada 70 santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Jawa Timur, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan bahkan hingga Papua. Mereka mendapatkan informasi tentang Ponpes Darun Nun dari media sosial dan dari mulut ke mulut.
Beragamnya latar belakang santri itu, lanjut Ustadz Halimi, ternyata tidak terlalu sulit untuk adaptasinya. Dengan pendekatan alami, para santri juga sangat menjunjung tinggi sosial budaya yang ada di pondok pesantrennya. Hal ini memang menjadi salah satu yang penting untuk dimiliki oleh para santri.
“Karena kita berada di tengah masyarakat, maka saya bilang ke mereka; jangan ada ‘pagar’ di pondok. Harus ikut bersosialisasi dengan warga, bergaul dengan warga bahkan saya minta mereka juga ikut kegiatan-kegiatan warga,” beber pria 42 tahun itu.
“Maka santri juga harus menjadi bagian solusi masyarakat, bukan penyakit masyarakat. Biar dengan masyarakat lebih dekat, contoh ada megengan mereka juga ikut, melatih terbangan dan lain lain,” sambung Ustadz Halimi.
Ustadz Halimi yang meraih doktoral di UIN Maliki Malang ini pun berharap keberadaan Ponpes Darun Nun bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Terlebih dengan berbagai program pesantren yang berbeda dan menjadi unggulan. Yakni program bahasa dan menulis. Sehingga ponpes ini pun sampai dikenal dengan Ponpes Literasi.
“Kita punya program bahasa Inggris dan bahasa Arab. Lalu juga ada program menulis, dimana para santri di awal itu kita bebaskan menulis entah esai, puisi atau artikel. Tapi selama mondok nanti kita target mereka bisa menyusun setidaknya 3 buku,” tandasnya.(ian/lim/bersambung)