Malang Posco Media – Ketika China mengakhiri penutupan perbatasan pada Januari 2023, Tianni Ren, seorang pemasar e-commerce segera membuat rencana perjalanan bagi 14 stafnya ke Australia, berharap bisa menyaksikan keindahan danau berwarna merah muda yang menarik perhatiannya di media sosial.
Namun, ia malah kemudian mengajak rekan kerjanya dari Kota Hangzhou ke Selandia Baru setelah mengetahui Australia ternyata telah dicoret oleh Beijing dari daftar daerah tujuan wisata di luar negeri.
Akibatnya, kebijakan tersebut secara efektif memutus program yang sudah berjalan selama dua dekade dan membuat China mendominasi pasar pariwisata Australia dengan nilai 30 miliar dolar AS sampai 2020.
“Ketika kami menghubungi agen perjalanan, kami diberi tahu bahwa Australia tidak termasuk dalam daftar,” kata Ren (28), merujuk Status Tujuan Wisata yang Disetujui (ADS).
“Sayang sekali karena kami tidak bisa melihat danau berwarna merah muda,” kata Ren.
Setelah tiga tahun perjuangan dan antisipasi, gelombang kembalinya turis China ke Down Under (sebutan untuk Benua Australia) ternyata tidak seperti yang diharapkan karena aturan visa.
Kondisi tersebut diperparah dengan biaya yang relatif tinggi, kurangnya penerbangan dan eksodus pemandu berbahasa Mandarin, membuat industri terbesar keempat Australia itu semakin terpuruk.
Pada Februari lalu, yaitu pada bulan pertama sejak China membuka perbatasan, Australia mencatat 40.430 kunjungan jangka pendek turis China. Jumlah tersebut hanya seperlima dari jumlah pada bulan yang sama 2019, dan jauh di bawah kunjungan turis dari Selandia Baru, Inggris dan AS.
Penerbangan dari China daratan ke Australia pada Februari 2023 juga anjlok menjadi hanya seperlima sebelum pandemi akibat tingginya harga bahan bakar, demikian menurut data penerbangan Cirium.
Pada saat yang sama, total warga China yang ke luar negeri mencapai dua pertiga dibanding sebelum pandemi, demikian menurut data dari China Outbound Tourism Research Institute, sebuah grup konsultan yang berkantor di Jerman.
Pihak Beijing memang tidak memberikan alasan untuk mengakhiri status ADS Australia, tapi peserta industri perjalanan sudah bisa menduga bahwa penyebabnya adalah hubungan geopolitik, berkaitan dengan perseteruan China dengan Barat.
Tourism Australia, badan yang mengurusi pemasaran industri pariwisata Australia, juga menolak berkomentar.
Menurut kantor promosi perdagangan Australia, direktur pelaksana Tourism Australia berkunjung ke China pada Maret lalu untuk menemui rekanan strategis seperti maskapai penerbangan dan pihak lain yang bersedia meneruskan kerja sama untuk merealisasikan peluang pariwisata antara China dan Australia.
“Sudah jelas ini terkait dengan geopolitik dan perdagangan dan hal-hal lain karena kita sudah melihat terjadi penurunan. Anda tidak dapat memisahkannya dari situasi yang berkembang saat ini,” kata Paul Stolk, dosen di sekolah bisnis Universitas Newcastle.
Menurut Stolk, turis China cenderung memilih tujuan wisata di mana anggota keluarga mereka belajar.
China adalah sumber mahasiswa luar negeri terbesar Australia sampai 2019, tapi pelajar dari negara lain juga sudah mulai berdatangan sejak Australia membuka perbatasan pada 2021.
Kendala Pasokan
Industri Pariwisata Australia juga terkendala oleh kurangnya pemandu yang lancar berbahasa asing dan tenaga pendukung lainnya seperti sopir bus karena kecenderungan penurunan akibat COVID-19 membuat pekerja pariwisata beralih ke profesi lain.
“Kami kehilangan banyak staf berkualitas yang menguasai bidang mereka,” kata Peter Shelley, direktur pelaksana pada Dewan Ekspor Pariwisata Australia.
“Kami mendengar bahwa warga China sudah tidak sabar ingin keluar dan bepergian setelah sekian lama dan Australia selalu menjadi tujuan, tapi kapasitas kami untuk melayani sudah berkurang,” katanya.
Beberapa turis China di Australia kepada Reuters mengatakan bahwa mereka berkunjung karena ada keluarga dan negara tersebut yang membantu penginapan dan tur, sehingga mereka bisa mengatasi kendala bahasa dan masalah lain.
Chien, pemilik agen wisata berlisensi ADS, mengatakan bahwa perusahaannya sudah melakukan langkah diversifikasi dan sekarang melayani turis solo dari berbagai negara di Asia.
Pelancong dari India, misalnya, kembali ke tingkat 80 persen kondisi 2019 pada tahun lalu dan sekarang menempati peringkat keempat terbanyak ke Australia.
Johnny Nee, Direktur Easy Going Travel Services Pty Ltd di Perth, yang menjadi penghubung antara turis China dengan hotel dan kapal pesiar, mengatakan organisasi mitra mereka telah mengisi kekurangan turis China dengan melayani pasar domestik.
“Bila jumlah turis China kembali melonjak, saya khawatir penawaran tidak akan mampu melayani permintaan,” katanya.
Sementara Ren, seorang direktur pemasaran di sebuah perusahaan e-commerce di China, mengatakan bahwa rekan-rekannya menikmati perjalanan ke Selandia Baru, di mana mereka bisa membeli beberapa tas merek Gucci, tetapi tetap penasaran dengan tujuan awal ke Australia.
“Kami berharap bisa ke Australia lain waktu karena kami tidak bisa melupakan keajaiban danau berwarna merah muda itu,” katanya. (ntr/mpm)