spot_img
Friday, July 4, 2025
spot_img

Jadilah Gila, Kau Akan Selamat!

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Pernah mendengar cerita tentang Qays dan Layla? Ini kisah cinta dan kegilaan yang legendaris. Terjadi di Negeri Persia pada abad ke-9, cinta dua insan ini berakhir dengan kepiluan. Qays dan Layla dilanda asmara. Mereka bertemu dalam usia belia.

Kecantikan Layla telah memenjarakan Qays dalam cinta yang tiada dua. Tak hanya Qays yang dilanda cinta. Layla pun menyimpan bara cinta yang sama. Layla, si gadis jelita, telah merenggut hati Qays dari raganya. Namun, adat menggagalkan penyatuan cinta mereka.

Keluarga Layla menolak Qays karena status. Seorang pria pilihan orang tua, telah disiapkan untuk Layla. Meski tahu situasinya, Qays pernah mencoba. Ia datang kepada ayah Layla meminta restu untuk menyunting putrinya. Namun hanya hinaan yang ia terima. Tak mampu menggapai cinta, Qays mengubah cara hidupnya.

Ia meninggalkan rumah dan memilih hidup di belantara. Ia berperilaku ganjil, dipandang orang sebagai tak waras. Lalu orang menjulukinya majnūn, yang berarti gila. Namun, dalam kegilaannya, Qays menunjukkan kewarasan melalui puisi-puisi indah yang ia tujukan kepada perempuan pujaannya.

Layla menikah dengan seorang saudagar, namun berlangsung tanpa bahagia. Karena penyakit yang mendera, suami Layla meninggal. Saat hidup tanpa suami itu, Layla ingin menjumpai si Majnun. Tetapi adat sukunya mewajibkan perkabungan selama dua tahun, dalam bentuk larangan bertemu siapapun.

Layla akhirnya meninggal akibat kepahitan hidup. Saat kabar itu hinggap di telinga Qays, ia bertekad menghabiskan hidupnya dengan menunggui pusara Layla, sembari terus berpuisi untuk menyatakan cinta dan ratapan atas nasib hidupnya. Qays pun pada akhirnya meninggal dan dikuburkan bersebelahan dengan Layla.

Dalam dunia Islam, ini bukanlah satu-satunya kisah kegilaan. Uqalā’ al-Majānin, karya Abu al-Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Naisaburi (wafat 406 H), merekam kewarasan orang-orang gila. Di antaranya tentang ahli hukum, Mus’ar yang dipanggil oleh Khalifah al-Manshur untuk menjadi Qadhi. Mus’ar menolaknya dengan berpura-pura gila. Hal yang sama pernah pula dilakukan Abu Nawas untuk menolak tugas sebagai pengadil (qadhi) di Baghdad.

Dalam sejarah, kegilaan tak mudah diuraikan. Gila pada umumnya merujuk kepada situasi hilangnya akal seseorang oleh berbagai macam sebab. Namun, ternyata kegilaan dari zaman ke zaman menampakkan wajahnya yang lebih kompleks. Khazanah kebudayaan Arab menggambarkan kegilaan dalam aneka nama. Tuhan menciptakan manusia dengan segala takdirnya, dan ada mereka yang semenjak lahir telah digariskan dalam kondisi gila. Ini disebut dengan ma’tuh.

Kegilaan yang umum adalah karena hilangnya akal seseorang oleh berbagai sebab, ini disebut dengan al-mamrūr. Kegilaan bisa juga karena faktor lain, misalnya karena pengaruh makhluk lain. Ini yang diistilahkan dengan al-mamsūs. Sementara kasus seperti yang dialami oleh Qays dan Layla lazim disebut sebagai al-asyīq. Kegilaan oleh sebab cinta yang disertai rindu-dendam.

Dalam dunia modern, Michel Foucault menelisik sejarah kegilaan. Dalam Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason, filosof Prancis itu merekam kegilaan dalam aneka perspektif. Dalam tiga masa, yakni Zaman Renaissance, Neo-Klasik dan Modern makna kegilaan tak pernah sama.

Foucault menyebut, pada masa renaissancekegilaan dikaitkan dengan kebijaksanaan. Gambaran ini berubah pada abad ke-17, kegilaan digambarkan sebagai kelompok yang socially undesirable (secara sosial tak diinginkan kehadirannya), sehingga mereka dipisahkan dari masyarakat. Dari sinilah lalu kegilaan dianggap sebagai bagian dari penyakit medis yang harus disembuhkan. Definisi kegilaan pada era modern inilah yang kita kenal sampai sekarang.

Secara kultural, kaum waskita Jawa juga mengembangkan pandangan sendiri tentang kegilaan. Kegilaan tak semata-mata sebuah kondisi individual, tetapi juga realitas zaman. Ranggawarsita, pujangga Keraton Surakarta, menggoreskan pesan universalnya tentang evolusi realitas kegilaan dalam masyarakat dari zaman ke zaman.

Amenangi zaman edan

Ewuh aya ing pambudi

Melu edan ora tahan

Yen tan melu anglakoni

Boya keduman milik

Kaliren wekasanipun

Ndilalah kersaning Allah

Begja begjaning kang lali

Luwih begja kang eling lan waspada

Menghadapi zaman gila

suasana memang menjadi sulit

Ikut gila tidak tahan

tetapi kalau tidak ikut melakukan

lenyaplah segala kemungkinan untuk mendapatkan, kelaparan

kesengsaraan jadinya

untunglah, sudah menjadi kehendak Allah

seberuntung-beruntungnya orang yang lupa

lebih beruntung orang yang sadar dan waspada.

Zaman kegilaan ini menyebabkan hilangnya kemuliaan akhlaq (ilang budayanipun), kebaikan menjadi langka, oleh karena buruk sangka (tanpa bayu weyane ngalumpuk), menciptakan marabahaya sejak dalam pikiran (sakciptane wardaya ambebayani), pengkhianatan merajalela (ubayane nora payu), yang pada akhirnya melenyapkan keluhuran budi (kari ketaman pakewoh).

Secara pragmatis, kegilaan berakibat pada “penghindaran.” Khazanah hukum Islam menggariskan kegilaan sebagai kondisi orang memiliki dispensasi syar’i yang dalam hadits disebut dengan rufi’a al-qalam bahwa hukum dibebaskan kepada tiga kelompok manusia, yakni anak bayi sampai ia dewasa, orang tidur sampai ia terbangun, dan orang gila sampai ia memiliki kewarasannya kembali.

Zaman edan kini, jauh lebih kompleks dari gambaran Ranggawarsita. Zaman kini menyaksikan kegilaan sebagai tameng. Orang gila yang benar-benar gila dibebaskan dari hukum adalah kewajaran. Namun kegilaan yang dicitrakan sebagai upaya untuk membebaskan diri dari tanggung jawab perbuatan, sesungguhnya jauh lebih edan daripada ODGJ yang memang benar-benar edan.

Keedanan zaman kini juga muncul dalam bentuk arogansi intelektual. Atas nama menegakkan nalar, lalu orang bertindak di luar nalar.

Jadi rupanya, di luar gambaran al-Naisaburi, Michel Foucault, dan Ronggowarsito, kegilaan kini mendapatkan tempatnya yang terhormat, yakni sebagai penyelamat. Maka, mudah saja, lontarkan tuduhan, tebarkan ancaman, dan saat logika hukum menanti, berpura-puralah gila untuk menyelamatkan diri. Inilah ironi zaman, saat kegilaan dihadirkan untuk menyelamatkan mereka yang justru menggaungkan kewarasan akal. Kurang gila apa, coba! (*/mpm)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img