spot_img
Friday, July 4, 2025
spot_img

Reformasi Jangan ‘Dikorupsi’

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Pada bulan Mei dua puluh lima tahun yang lalu (1998), perjuangan bangsa Indonesia dalam menumbangkan rezim otoritarianisme Orde Baru berada pada puncak paling krusial. Setelah serentetan aksi demonstrasi berskala nasional yang begitu massif terjadi dalam beberapa bulan terakhir, akhirnya Presiden Suharto bersedia mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.

Tentu, capaian monumental tersebut harus dibayar mahal dengan jatuhnya korban jiwa para demonstran khususnya dari kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil dalam jumlah yang tidak sedikit—bahkan sebagian di antaranya dinyatakan hilang secara misterius hingga saat ini.

Tidak hanya itu, sejumlah aksi penculikan, pengerusakan, penjarahan bahkan tindakan anarkis terjadi secara sporadis di sejumlah wilayah dengan memanfatkan situasi keamanan nasional yang sedang kacau. Dalam waktu yang bersamaan, masyarakat juga dihadapkan pada realitas krisis moneter yang membuat inflasi sampai menembus angka 77,63 persen sedangkan kurs Rupiah tergencet sampai pada angka Rp 16.000/US Dolar.  

Sehingga, realitas politik dan ekonomi nasional yang sedang abnormal tersebut telah memicu harga kebutuhan pokok melambung tidak terkendali. Istilah reformasi yang secara tekstual diartikan sebagai perubahan secara cepat dalam bidang politik, kemudian justru dipelesetkan menjadi ‘repot nasi’ sebagai representasi kondisi mahalnya harga kebutuhan pokok (sembako).

Walaupun plesetan tersebut sangat disesalkan oleh kaum reformis karena justru ‘dituduh’ bahwa momentum reformasi hanya memicu inflasi, tetapi bagi kelompok akar rumput dengan kapasitas intelektual yang timpang, tetap merasa berhak memberikan makna politik terhadap reformasi sesuai dengan realitas sosial-ekonomi yang dihadapi.

Selanjutnya, sejumlah agenda politik strategis berhasil dirumuskan dalam euforia reformasi tersebut. Di antaranya adalah tuntutan untuk mengadili mantan Presiden Suharto dan kroni-kroninya, amandemen UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI yang kemudian populer disebut sebagai militer harus kembali ke barak fokus pada fungsi pertahanan, penyelenggaraan otonomi daerah yang seluas-luasnya, supremasi hukum dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).        

Banyak pihak menyambut lahirnya era baru kekuasaan politik hasil reformasi dengan sangat optimis. Bahwa tidak sedikit yang saat itu meyakini akan lahirnya sebuah pemerintahan yang jujur, bersih, adil dan bijaksana. Apalagi, sesaat setelah reformasi politik bergulir—segera disusul dengan lahirnya sejumlah lembaga ad hoc.

Seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 16 Tahun 1999 dengan harapan agar proses penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dapat berjalan sesuai dengan asas Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil).

Hal tersebut penting mengingat semasa pemerintahan Orde Baru berkuasa, telah terjadi upaya monopoli bahkan hegemoni politik yang luar biasa terhadap kebebasan politik publik—utamanya dalam menyalurkan hak politik pada masa Pemilu.

Masyarakat dihadapkan pada berbagai macam stigma bahkan ancaman serius untuk setiap pilihan politik yang berseberangan dengan rezim Suharto. Golkar sebagai Partai Politik (Parpol) penguasa saat itu menjadi sebuah keniscayaan bagi mayoritas pemilih yang tidak ingin mengambil risiko.

Tidak hanya Pemilu yang Luber Jurdil, terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance)juga menjadi prioritas. Sehingga, lahirlah lembaga anti rasuah berdasarkan pada UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian populer disebut dengan KPK.

Tidak hanya melahirkan sejumlah lembaga ad hoc, momentum reformasi politik tersebut juga turut menghadirkan era otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya UU No 22 Tahun 1999 dan sekaligus menjadi tonggak bergantinya era sentralisasi ala Orde Baru menjadi era desentralisasi masa reformasi.

Ringkasnya bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) diberi keleluasaan untuk menentukan nasibnya sendiri khususnya dalam pengelolaan anggaran. Hal tersebut menjadi antitesis istilah ‘Jawa Sentrisme’ atau sentralisasi yang melekat pada pemerintahan Orde Baru dan dianggap tidak memberikan rasa keadilan khususnya bagi mayoritas wilayah di luar Pulau Jawa yang justru banyak memiliki kandungan sumber daya alam strategis.

Pada masa awal bergulirnya Otoda diharapkan juga mampu menciptakan pemerataan distribusi hasil pembangunan, mendorong kesejahteraan dan demokratisasi di tingkat lokal. Lalu bagaimana capaian reformasi politik pada usianya yang telah mencapai seperempat abad pada tahun ini?

Jangan “dikorupsi”

Tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi politik yang bergulir selama seperempat abad telah membawa banyak perubahan. Mulai dari penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung (Pilkada) sebagai kelanjutan dari paket Otoda, kebebasan dalam mengekspresikan afiliasi politik dalam ragam bendera Parpol termasuk proses pembangunan infrastruktur di daerah yang semakin massif.

Tetapi, dalam sisi lain ternyata masih banyak agenda reformasi yang belum tuntas bahkan terkesan ‘dikorupsi.’ Sebut saja terkait dengan perkembangan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat reformasi yang semakin tidak terdengar. Walaupun sama-sama masuk dalam kategori tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime),tetapi pengungkapan kasus terorisme dan narkoba relatif bisa diselesaikan oleh pemerintah.

Realitas tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan HAM di masa depan, karena nyaris tidak satu pun kasus yang terselesaikan dengan gamblang dan berhasil memberikan rasa keadilan bagi korban dan pihak keluarga.

Berikutnya adalah proses penyelenggaraan Pemilu yang masih tersandera oleh kelompok oligarki. Sering kali kita mendengar istilah pemimpin boneka yang hanya menjadi ‘kacung’ atau pelayan bagi kelompok borjuis politik yang minoritas di antara mayoritas kelas birokrat proletariat.

Siklus money politicsturut melanggengkan pola ketergantungan tersebut. Pun demikian juga dengan kabar tentang pemberantasan korupsi yang tampak semakin surut dengan kaburnya pengungkapan beberapa kasus besar yang diduga melibatkan kelompok elit, serta bergulirnya era Otoda yang ternyata belum berhasil menciptakan kondisi pemerataan di tengah fakta kesenjangan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img