MALANG POSCO MEDIA – Ini pasti bukan politik. Apalagi strategi politik. Rasanya aneh tapi nyata. Ada partai politik peserta Pemilu 2024 dinyatakan gagal mendaftarkan Bacalegnya di detik detik akhir penutupan pendaftaran, Minggu (14/5). Di Malang Raya sedikitnya ada tiga partai politik yang dinyatakan gagal. Partai Garuda, Partai Gelora dan Partai Ummat. Dan yang bikin aneh lagi, kegagalan itu salah satunya karena Aplikasi Silon yang eror.
Dari sisi strategi perjuangan partai, pencalonan bacaleg dari masing masing partai peserta pemilu adalah keharusan mutlak. Apalagi sebelumnya masing masing parpol sudah berdarah darah berjuang dari tingkat pusat sampai ranting untuk bisa lolos verifikasi administrasi dan faktual peserta Pemilu. Makanya sangat aneh, ketika pendaftaran bacaleg ada parpol yang gagal mendaftarkan bacalegnya ke KPU di masing masing Kabupaten/ Kota, termasuk di Malang Raya.
Kegagalan ini dianggap mutlak karena KPU sudah memberikan tahapan tahapan serta mekanisme pendaftaran dengan segala aturan mainnya plus durasi waktu pendaftaran bacaleg. Termasuk prasyarat wajib jumlah caleg yang didaftarkan sesuai jumlah kursi dewan dan prasyarat keterwakilan 30 persen perempuan dari bacaleg masing masing parpol.
Memang tidak mudah untuk memenui prasyarat ini. Namun harusnya bagi parpol yang sudah dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu, tidak ada kata sulit. Sebab saat pengajuan parpol, pasti segala hal sudah dipikirkan matang matang termasuk konsekuensi konsekuensi logisnya ketika menjadi peserta Pemilu 2024. Bendera sudah dikibarkan, pantang kalah sebelum berperang.
Karena itu, tidak salah kalau masyarakat kemudian curiga. Jangan jangan parpol yang gagal mencalonkan bacalegnya ini cuma main main atau memang tidak siap bertarung di Pemilu 2024. Atau jangan jangan terlalu banyak kepentingan politis di internal sehingga akhirnya gagal atau ada faktor lain.
Bagi parpol yang bersangkutan kegagalan ini justru kerugian besar. Sebab medan tempur yang sudah ada di depan mata dibiarkan sia sia. Hanya jadi penonton dan bisa dipastikan parpol yang gagal tidak punya wakil di dewan. Sementara bagi masyarakat tentu ini sebuah keanehan karena pasti muncul pertanyaan besar, kalau memang tidak siap dengan bacalegnya, kenapa sebelumnya ngotot untuk menjadi peserta Pemilu 2024?
Bagi penyelenggara Pemilu di tingkat pusat sampai daerah pasti juga kecewa karena ada parpol yang gagal. Kegagalan ini bisa menjadi kegagalan KPU juga karena tidak bisa mengantisipasi adanya parpol yang akhirnya hanya jadi penonton tanpa pertarungan politik di tingkat bacaleg.
Memang bukan kesalahan bagi KPU, tapi pertanyaan besarnya, buat apa menjadi peserta Pemilu, kalau tahapan Pilegnya saja tidak bisa memenuhi. Ini yang harus menjadi catatan besar KPU di pemilu-pemilu selanjutnya. Komitmen kesiapan-kesiapan berdemokrasi dan berpolitik melalui jalur konstitusional ini yang harus ditegakkan dan dijunjung tinggi. Sehingga tidak ada lagi parpol yang berani main-main meremehkan aturan yang sudah ditetapkan KPU.
Kalau bicara kerugian, kegagalan parpol dalam mencalonkan bacalegnya, memang tidak secara langsung dirasakan masyarakat. Justru ini keuntungan dan bargaining bagi parpol lain yang bisa dengan mudah mengambil potensi potensi suara yang sudah dikantongi parpol parpol yang gagal.
Namun persoalan seriusnya adalah: apakah benar ketidak siapan itu hanya menyangkut administrasi? Jangan-jangan ada faktor lain yang lebih penting. Yaitu tidak siapnya sumber daya manusia calon legislatif yang didaftarkan. Kalau ini yang terjadi maka lebih baik memang tidak mencalonkan daripada memaksakan calon yang tidak kompeten, dan pada akhirnya kalah di medan pertempuran.
Menjadi anggota dewan dan wakil rakyat memang bukan orang sembarangan. Selain benar-benar politisi, dia juga harus menguasai komptensi di bidangnya. Jangan sampai menjadi dewan, tidak mempunyak kompetensi sehingga yang terjadi, hanya menjadi dewan dengan gengsi saja. Yang dibutuhkan oleh rakyat adalah anggota dewan yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan partai politik yang diwakilinya, tapi lebih mulia lagi, memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Dulu anggota dewan sangat dicintai masyarakat. Itu karena anggota dewan berani vokal, baik di gedung dewan maupun berhadapan dengan pemerintahan. Dulu anggota dewan yang vokal menjadi media darling, sumber berita yang kredibel untuk kepentingan control kebijakan pemerintahan.
Namun belakangan ini, pamor anggota dewan mulai menurun. Bukan hanya tidak dikenali oleh masyarakat, tapi fungsi advokasi dewan juga sudah mulai berubah. Garangnya anggota dewan mulai terkikis oleh pola pola penyelesaikan persoalan yang lebih kompromis. Win win solution.
Pada satu sisi, penyelesaian dengan cara musyarawah memang baik. Namun persoalannya fungsi control sengaja dilemahkan oleh kekuatan eksekutif dengan cara-cara yang halus. Sehingga banyak persoalan persoalan yang harusnya dikritisi oleh anggota dewan, menjadi persoalan yang tenggelam. Media pun tak punya partner ideal untuk memperjuangkan hal-hal yang harus diperjuangkan di masyarakat.
Bukan rahasia lagi, untuk mencalonkan anggota dewan memang butuh uang. Dan uang yang harus dikeluarkan untuk pemilihan legislatif juga tidak murah. Itu fakta yang diketahui secara umum. Namun apakah jaminan, bahwa dengan uang seorang bacaleg pasti jadi, meski partainya besar?
Jawabannya bisa ia, bisa tidak. Seperti politik. Tidak ada yang pasti. Salah satu mantan anggota dewan Provinsi Jawa Timur, menceritakan. Uang bukan segalanya untuk menjadikan bacaleg terpilih. Meski uang memang dibutuhkan untuk merawat calon pemilih. Namun yang paling dibutuhkan seorang bacaleg adalah trust alias kepercayaan masyarakat.
Bila masyarakat sudah percaya dengan bacaleg yang mencalonkan, maka tanpa diiming imingi apapun, masyarakat akan memilihnya. Apalagi ditambah bacaleg itu terkenal dan figur yang memang sudah dikenal masyarakat. Dan yang terpenting lagi, adalah jaringan. Jaringan inilah yang menambah daya dorong bacaleg untuk bisa menang. Semakin kuat jaringan Bacaleg, maka semakin kokoh dia di posisinya untuk menjadi calon wakil rakyat.
Untuk memenangkan persaingan politik tidak dapat dicapai dalam waktu yang cepat dan instan. Apalagi untuk membangun kepercayan publik atau dukungan publik, dan komitmen publik untuk mendukung suatu partai politik. Guna membuat partai politik dapat berlangsung lama (sustanaible), caranya dengan menciptakan profesionalisme politik pada organisasi dan para politisinya.
Profesionalisme organisasi dapat dilakukan dengan menerapkan semua ketentuan dan peraturan, baik yang ditetapkan di tingkat nasional maupun di dalam struktur organisasi partai politik itu sendiri. Ketentuan tentang system rekruitmen, seleksi, kaderisasi, pemilihan ketua parpol, dan pemilihan calon partai harus sesuai dengan prinisp dan kaidah yang telah disepakati bersama. Sementara profesionalisme politisi ditunjukkan dengan sikap dan usaha untuk berlaku dan bertindak tepat sebagai politisi.(*)