MALANG POSCO MEDIA – Mungkin hampir sebagian kita lupa bahwa reformasi yang pernah terjadi di negeri ini sudah berlalu 25 tahun yang lalu. Tragedi kemanusiaan yang meminta tumbal banyak dari kalangan mahasiswa ini seakan tergerus seiring dengan “euforia” pesta demokrasi yang sebentar lagi berlangsung.
Banyak kalangan menyatakan bahwa situasi yang terjadi saat ini juga tidak lebih baik dari era orde baru yang berkuasa selama 32 tahun dan tumbang saat reformasi berlangsung, karena Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sekarang juga masih terjadi.
Namun demikian, seperempat abad perjalanan reformasi di bangsa kita tentu masih memiliki nilai-nilai positif dan keberhasilan, yaitu seperti kebebasan dalam berpendapat, berserikat dan berkumpul, serta melahirkan lembaga-lembaga atau badan negara yang menguatkan sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.
Ada banyak pencapaian bangsa Indonesia pasca 25 tahun reformasi, yang memungkinkan rakyat menjadi pemimpin dan mewujudkan kesejahteraan yang diharapkan.
Selain masih maraknya KKN, krisis integritas juga menjadi salah satu momok serta indikator berhasil atau tidaknya perjalanan reformasi, dimana integritas ini juga banyak dijadikan sebagai alat ukur bagi tertinggal dan majunya sebuah bangsa.
Sebut saja Singapura dan Korea selatan, dua bangsa ini masih terbilang muda, Singapura yang baru merdeka tahun 1953 dan Korea Selatan yang baru merdeka tahun 1945 ini laju pertumbuhan negaranya mengalahkan bangsa-bangsa yang umurnya sudah ratusan tahun.
Salah satu kunci sukses dua bangsa tersebut adalah kemampuan mereka dalam membangun manusianya dengan menjadikan “integritas” di atas segala-galanya. Selain itu keteladanan yang diberikan oleh para pemimpinnya atau biasa dikenal dengan istilah “Walk the Talk” cukup ampuh membangun integritas masyarakatnya.
Salah satu ukuran integritas itu adalah soal korupsi, negara-negara yang maju dan berkembang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) skornya tinggi, sebut saja misalkan menurut data yang dirilis IPK 2022, Denmark skornya 90, Finlandia 87, Singapura 83, Malaysia 47 dan Indonesia 34.
Semakin sedikit skornya maka semakin korup bangsa tersebut, dan data ini sekaligus menjadi fakta sejarah dari 180 negara yang terlibat dalam penilaian Indek Persepsi Korupsi, Indonesia berada pada peringkat 110 karena skornya merosot dibandingkan dengan tahun lalu, yakni dari 38 menjadi 34.
Sekiranya benar apa yang disampaikan oleh Prof Mahfud MD, bahwa hari ini kalau kita melihat ke atas ada korupsi, sebagaimana yang terjadi di Garuda Indonesia, melihat ke bawah juga ada korupsi, sebagaimana maraknya kepala desa yang ditahan karena korupsi dana desa, melihat ke samping kanan dan kiri kita juga melihat korupsi, sebagaimana yang kita saksikan di banyak kementerian, bumn, DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten dan Kota, Bupati, Walikota dan seterusnya.
Mahalnya ongkos politik dan demokrasi yang berlangsung pasca reformasi memang menjadi isu yang cukup menguat, terlebih isu semakin menguatnya “bohir politik” atau “investor politik” yang mewarnai 25 tahun perjalanan demokrasi.
Mahalnya ongkos politik menggoda para politisi dan partai politik untuk mengundang para “bohir” untuk melakukan investasi diproses pemenangannya, dan selazimnya investor, maka mereka (para bohir) akan meminta uangnya dikembalikan atau dananya dikembalikan, yang hal ini berakibat pada tidak sehatnya proses penyelenggaraan pemerintahan pasca sang kandidat terpilih.
Tentunya dia akan berpikir untuk mengembalikan investasi kepada sang “bohir” tersebut, dan tidak jarang karena kondisi ini, para politisi akhirnya melakukan korupsi.
Mengawal reformasi adalah perkara mengawal integritas para pegiat demokrasi dan politik pasca reformasi. Krisis integritas ini akan berujung pada krisis kepercayaan dan kepercayaan itu adalah barang mahal yang harus dijaga oleh siapa saja yang menginginkan kemajuan dan kemakmuran lahir di sebuah negeri.
Dalam bukunya “The Speed Of Trust” Steven MR Covey menuliskan sebuah narasinya tentang membangun kepercayaan. Bahwa “Trust” masyarakat kepada corporate atau negara atau pemerintah atau kepada diri kita secara pribadi terbangun dari dua hal, yakni Karakter dan Kompetensi.
Di dalam karakter itu ada integritas dan kemauan yang kuat, sedangkan di dalam kompetensi itu ada kapabilitas dan hasil berwujud yang bisa divalidasi oleh semua orang. Krisis kepercayaan terjadi akibat dari hilangnya integritas dan kemauan berbuat baik dari dalam diri, serta buruknya kapabilitas dan kredibilitas serta reputasi yang dibangun sepanjang kehidupannya.
25 tahun reformasi yang sudah berjalan di Indonesia adalah sebuah tantangan, akankah pemerintahan yang ada sekarang di seluruh level, dari desa sampai pusat bisa mewujudkan janji reformasi yang telah disepakti bermasa, ataukah justru sebaliknya. Integritas sangat dibutuhkan di seluruh level kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik pada level negara ataupun civil society.
Negara dengan seluruh instrumen yang melekat di dalamnya adalah representasi dari pemimpin masyarakat yang memegang kendali kebijakan serta penentu arah kemajuan dan perkembangan bangsa, oleh karenanya menjadi sesuatu yang mutlak dimiliki oleh semua orang yang ada di dalamnya untuk menjaga integritas, demi terwujudnya tatanan bernegara yang saling percaya dan mewujudkan cita-cita reformasi 25 tahun yang lalu.
Reformasi adalah “hutang darah”, jangan sampai reformasi hanya melahirkan “status quo” baru yang otoriter dan mencederai semangat perubahan dan pembaharuan bangsa menjadi lebih baik.
Indonesia adalah bangsa yang “gemah ripah lohjinawe”, sangat disayangkan jika keberlimpahan resources yang dimiliki oleh negeri ini hanya berakhir pada dominasi segelintir kekuatan dan kekuasan. Oleh karenanya semangat reformasi harus terus digalakkan agar “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diwujudkan.”(*)