spot_img
Friday, July 4, 2025
spot_img

CALEG IDOL

Berita Lainnya

Berita Terbaru

          Pemilihan calon legislatif (caleg) serupa dengan ajang kontestasi pencarian idola (idol). Modal utamanya adalah popularitas. Tak sedikit artis penyanyi, pemain film, komedian, dan pesohor media sosial (medsos) melamar jadi caleg. Tak jarang para figur publik itu menggunakan popularitasnya sebagi tiket agar terpilih sebagai caleg. Tak jadi soal mereka tak punya visi misi dan rencana yang jelas kelak saat menjadi caleg. Yang penting mereka punya daya pikat yang tinggi dan mampu memengaruhi massa.

          Pada pemilu 2024 mendatang, sejumlah artis telah mencalonkan diri di sejumlah partai politik (parpol) dan daerah pemilihan (dapil). Seperti Narji, Denny Cagur, Once Mekel, Chef Arnold, Aura Kasih, Anisa Bahar, dan banyak artis yang lain. Tentu nama-nama mereka sudah tak asing lagi di tengah masyarkat. Keterlibatan para artis di parpol bisa mendongkrak popularitas partai karena masing-masing pesohor itu punya penggemar yang banyak dan diharapkan dapat memberi nilai tambah bagi parpol.

          Masuknya sejumlah pesohor jadi caleg parpol juga bisa menjadi salah satu strategi bagi parpol agar lebih gampang mendekati masyarakat. Parpol butuh sosok yang dekat dan mampu berkomunikasi dengan publik. Tak heran kalau banyak parpol yang berburu para pesohor agar mau masuk partainya. Pola dan cara rekruitmen caleg model ini masih terus berlangsung dari pemilu ke pemilu.

Dana Besar

          Bukan rahasia lagi kalau biaya politik di Indonesia sangat tinggi. Besarnya ongkos politik yang tinggi itu dimulai ketika seseorang mencalonkan diri jadi caleg. Seorang caleg harus mengeluarkan ongkos politik yang tak sedikit. Tak bisa dipungkiri parpol juga butuh dana yang besar. Untuk itu masing-masing parpol perlu menggenjot perolehan dana. Modal yang besar bagi parpol merupakan nyawa agar mampu bertahan di tengah persaingan sengit antar parpol. Untuk itu parpol perlu sosok petinggi yang tajir dan popular.

          Kini posisi caleg parpol telah “dijual” kepada siapa saja. Persis di supermarket, jabatan caleg telah menjadi barang dagangan. Seorang caleg butuh dana besar untuk konsolidasi ke masyarakat. Apalagi kalau sang kandidat caleg tersebut bukan orang yang cukup ternama dan kurang dikenal di masyarakat. Dana untuk merebut simpati melalui iklan, baliho, spanduk, poster tentu menguras ongkos yang tak sedikit.

          Parpol sendiri tak lagi menjadi wahana pengembangan kader, namun telah “dilelang” kepada siapa saja yang lebih kaya dan popular. Banyak kader parpol yang telah lama merintis mulai level bawah, namun tiba giliran menanjak ke atas harus kalah dengan para caleg pendatang baru yang lebih terkenal dan tajir. Kader lama telah dimatikan oleh sosok baru yang lebih digdaya dan mampu secara ekonomi.

          Banyak parpol lebih melihat siapa yang punya magnet dan energi besar guna memberi “darah segar”, maka dia bakal langsung duduk jadi caleg. Banyak parpol telah menghamba pada mereka yang berkuasa secara ekonomi. Ini tentu pertanda buruk, karena parpol sebagai penyangga demokrasi telah dibeli oleh kekuatan kapitalis.

          Kondisi ini terjadi karena biaya kampanye parpol di media yang sangat besar. Untuk menutup biaya kampanye dan pencitraan parpol hingga tak jarang banyak parpol berebut sosok yang punya akses pada media. Banyak parpol juga merekrut sosok popular seperti para artis. Artis punya penggemar yang bisa dikelola guna memberikan dukungan. Popularitas artis masih menjadi mesin pendulang suara yang bisa diandalkan.

Bukan yang Instan

          Tak sedikit masyarakat yang belum atau tak mengenal siapa caleg yang ada di daerahnya. Kalau hal ini terus terjadi hingga akhir masa kampanye maka bisa dipastikan masyarakat akan memilih caleg seperti layaknya membeli kucing dalam karung. Masyarakat bisa jadi keliru menentukan pilihannya karena tak cukup informasi tentang sosok caleg yang sedang ikut berkontestasi.

          Untuk itu caleg harus mengenalkan diri dan parpolnya. Karena bagaimana masyarakat akan memilih kalau tahu dan kenal saja tidak. Minimal kenal sosok personalnya, keluarganya, terlebih masyarakat tahu rekam jejak (track record), visi misi, ide, gagasan dan program yang bakal diusungnya kelak bila terpilih jadi wakil rakyat. Popularitas sang caleg menjadi kata kunci guna menarik simpati.

          Sejatinya memilih caleg bukanlah seperti tebak-tebak buah Manggis. Memilih caleg juga bukan seperti membeli kucing dalam karung. Memilih caleg pertaruhannya sangat serius. Bila masyarakat salah pilih, tentu penyesalan akan berlangsung hingga lima tahun ke depan. Agar masyarakat tak salah dalam menentukan pilihan sosok caleg maka masyarakat perlu referensi sebanyak dan selengkap mungkin tentang sang caleg.

          Bagi para caleg yang sedang berkontestasi juga jangan coba-coba mengelabui masyarakat. Jangan tampil instan lewat tebar pesona dan pencitraan. Kebohongan yang dibangun lewat beragam rekayasa sang caleg, ujung-ujungnya dapat menipu masyarakat. Janji-janji politik palsu yang digunakan merayu masyarakat hendaknya dijauhi.

          Popularitas memang super penting, namun membangun dan mencapai popularitas itu hendaknya dengan cara-cara yang baik. Menunjukkan prestasi kerja nyata akan jadi cara yang ampuh untuk mengenalkan diri dan merebut simpati masyarakat pemilih. Popularitas yang dibangun lewat karya nyata dan rekam jejak yang baik akan menjadi referensi penting masyarakat dalam menentukan pilihannya.

          Banyaknya artis yang direkrut parpol dapat mengindikasikan krisis kepemimpinan dan tak berjalannya  kaderisasi. Parpol telah gagal melahirkan pemimpin yang laku dijual (marketable) hingga parpol menempuh jalan pintas memilih politisi karbitan.

          Kondisi ini bisa mengawatirkan karena rendahnya loyalitas pada parpol. Kesetiaan dan “nasionalisme” nya pada parpol belum cukup teruji. Namun sepertinya parpol tak terlalu ambil pusing, yang penting artis tersebut punya basis massa yang kuat dan bisa menyumbang pundi-pundi rupiah dan perolehan suara.

          Segala cara instan guna mendulang popularitas tak bisa sekedar tipuan (lips) semata. Model-model kampanye tebar pesona di pinggir-pinggir jalan dan medsos sering tak menyentuh esensi persoalan masyarakat. Dramaturgi yang dimainkan para caleg idola dengan tebar pesona itu saatnya diakhiri dan diganti dengan tampilan ide, gagasan, dan karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img