spot_img
Tuesday, July 1, 2025
spot_img

Politik Identitas dalam Masyarakat Multikultural

Berita Lainnya

Berita Terbaru

          Politik identitas (identity politics) dan multikultural di negara kita praktiknya sudah bertahun-tahun muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Politik identitas mulai terasa ketika pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Agama, suku, ras, kedaerah, komunitas bermunculan dalam wilayah DKI. Siapa yang memunculkan “diduga” para elite politik, elite Partai Politik (Parpol), tetapi bukan berasal dari para Pasangan Calon (Paslon).

Politik identitas sudah diciptakan menjadi alat untuk suatu kelompok, etnis, suku, budaya, agama dengan tujuan sebagai bentuk perlawanan/ sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut. Politik identitas dalam masyarakat multikultural harus memahami sebagai upaya menuju kesetaraan antara budaya yang berbeda (principle of equality). Bukan sebagai upaya untuk mencari persamaan (principle of similarity).

Setiap budaya pada prinsipnya selalu berupaya untuk menunjukkan dan menguatkan identitas kelompoknya/ kedaerahan/ kebudayaan. Jadi, terbentuknya identitas setiap budaya akan mendefinisikan dan membedakan diri dari kelompok dengan kelompok lainya. Pembentukan ini, cenderung berbasis etnisitas, kedaerahan, bahkan keagamaan.

Multikultural

          Perlu mengetahui masyarakat plural adalah menekankan pada perbedaan suku bangsa di mana warganya dilahirkan, dididik, dan dibesarkan dalam suasana primodial. Hal ini, mengakibatkan masyarakat plural sangatlah rawan dengan konflik kepentingannya. Maka, sangat diperlukan campur tangan pemerintah, tetapi bukan intervensi sebuah kebijakan menjadi masyarakat plural menjadi sebuah masyarakat yang multikultural.

          Perubahan ini, banyak faktor yang mempengaruhui dan tokoh politik/ tokoh masyarakat/ tokoh budaya berperan aktif untuk menjelaskan kepada masyarakat serba multikultural. Filosofi menjadi dasar kehidupan setiap orang di masing-masing daerahnya.

          Masyarakat majemuk dengan berbagai kompleksitasnya, sehingga tidak seorang pun yang mampu menolak realitas bahwa alam semesta ini plural, beragam, warna-warni atau berbeda-beda. Keragaman ini, merupakan kehendak Allah dan hukum alam.

          Masyarakat Indonesia majemuk, walaupun berasal dari berbagai kelompok sosial yang berbeda, masyarakat hadir dan hidup berdampingan satu sama lain. Ternyata  berbeda suku, agama, dan budaya, tetapi telah menyatukan/ merekatkan antara budaya, kelompok kedaerahan, dan etnis. Menyikapi masyarakat plural terjadi perlu ada kesepahaman antara masyarakatnya yaitu 1) menghormati setiap individu tanpa melihat latar belakangnya/ asal usulnya, 2) bersikap terbuka terhadap perbedaan yang ada, bukannya memisahkan kebersamaan, 3) tidak memaksa kehendak kepada kelompok yang kecil atau agama minoritas, dan sebaliknya, lebih enak hidup kebersamaan, rukun, dan 4) jangan mengejek keyakinan orang lain, agama, ras, atau budaya, tetapi kita saling menjalinkan kebersamaan.

          Indonesia negara pluralis, karena memiliki keberagaman di dalamnya dan dampak tidak baik yaitu 1) memicu persaingan antar agama yang tidak sehat saling mempengaruhi umatnya, 2) memicu perpecahan yang selama ini kita dengan susah payah merawat dan membina, 3) munculnya sikap egoisme dalam masyarakat, 4) terjadinya gesekan sosial dan terjadi konflik di masyarakat. Perbedaan itu biasa dalam kehidupan bermasyarakat, karena dipengharuhi kepentingan-kepentingan, tetapi kepentingan pribadi ditinggalkan, tetapi kepentingan bangsa dan negara diutamakan, dan 5) jangan memunculkan sikap individualisme bermasyarakat.

          Jadi, multikultural menggabungkan kondisi keberagaman budaya dan mengakui adanya perbedaan dan keragaman budaya seperti nilai adat, suku, agama. Indonesia adalah negara multikultural memiliki beranekaragaman suku, budaya, agama. Di tanah air, agama menjadi faktor yang sangat penting dalam kehidupan beragama.

          Perbedaan multikultural adalah menekankan pada kondisi masyarakat yang beragam, sementara multikulturalisme menekankan pada pandangan tentang masyarakat yang beragam. Jadi, faktor yang mempengaruhi masyarakat multikultural, kemajemukan suku, bangsa, ras, agama, dan etnis.

          Hal yang menjadi masalah dalam masyarakat multikultural adalah 1) masalah etnisitas, 2) primordialisme, 3) etnosentrisme (budaya), 4) prasangka atau stereotip, 5) kelompok minoritas dan mayoritas, 5) konflik sara.  Hal-hal ini, perlu dihindari agar dapat merawat, membangun persatuan dan kesatuan yang solid antara masyarakat dalam kehidupan bernegara.

Politik Identitas

Menurut George da Silva dalam bukunya Politik Martabat, Identitas dan Kebencian (2021), politik identitas bisa dimaknai sebagai strategi dari kontestasi ikatan simbol kultural primodial (agama, suku, ras, kelompok, komunitas) dalam perjuangan siapa mendapat apa, kapan, di mana, dan bagiamana.

Sedangkan Agnes Heller politik identitas dimaknai sebagai strategi dan taktik politik memfokus pada perbedaan dan pemanfaatan ikatan primordial timbul lainnya (another primordialism) berlebihan sebagai kategori utama. Politik identitas bisa munculkan toleransi, kegotongroyongan dan kebebasan. Di lain pihak, akan memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan verbal-fisik, dan juga pertentangan etnis, agama, budaya, suku, kedaerahan dalam kehidupan masyarakat.

Identitas bisa kita melihat secara kasat mata dalam wujud bentuk atribut genetik (warna, kulit, jenis kelamain, jenis rambut, warna mata, tinggi badan, fitur fisik). Sedangkan warisan budaya dan sejarah (nama, bahasa, tempat lahir, asal orang tua dan leluhur seseorang), juga penandaan warisan seperti nama belakang, marga.

Masalah yang menjadi tantangan dalam masyarakat majemuk dengan mencegah terjadinya gesekan-gesekan atau persaingan ditandai dengan sentimen kedaerahan, isu primordialisme, dan politisasi identitas digunakan untuk memperebutkan pengaruh dan kendali atas kekuasaan. Juga memiliki tantangan lain, adalah cara mengelola keberagaman, ikatan primordial untuk tujuan perdamaian sebagai bagai dari membangun rumah perdamaian bagi seluruh rakyat sebagai cita-cita Bangsa Indonesia.

Politik Kebencian

Tahun politik menjadi tren dalam pemilihan legislatif/ presiden/ gubernur/ bupati/ walikota, elite politik/ elite Parpol memainkan peranan menghembuskan isu agama, suku, ras dan berujung pada politik kebencian ditanam pada konstituen/ pengikutnya. Seharusnya kehidupan berpolitik yang santun, sopan, moral, berbudaya, dan beretika.

Di tanah air menghembuskan masalah agama, suku, ras, etnis, sangat berpotensial untuk meraih suara sebanyak mungkin. Hal ini, harus dihindari dengan persaingan sosial dan politik, serta politik uang (money politics) semakin tersebar luas di kalangan masyarakat.

Berbicara politik martabat seperti yang diungkapkan Francis Fukuyama Identitas Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian (Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment) menjelaskan dalam suatu negara biasanya ada yang mengatakan diri sebagai kelompok kiri dan kelompok kanan. Kelompok kanan biasanya sebagai patriot berupaya melindungi, mengayomi, mempertahankan identitas nasional tradisional, identitas hubungan erat dengan ras, etnis, suku, agama, kedaerahan, dan kelompok.

Manusia yang termotivasi oleh hal-hal lain yang motif lebih baik dalam menjelaskan kondisi berbeda pada masa sekarang. Hal ini, bisa disebut politik kebencian. Elite politik/ elite Parpol/ Pemimpin politik menggerakkan pengikutnya (konstituen)/ para simpatisan menciptakan bahwa harkat dan martabat kelompoknya sudah dihina, diremehkan, diabaikan dan ditelantarkan.

Sering terjadi di Indonesia pada masa reformasi sampai sekarang dalam setiap Pemilu dan Pemilihan. Mari kita bersama berperang melawan politik identitas dan politik kebencian yang merugikan negara, bangsa, dan masyarakat. Kita bias! (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img