Malang Posco Media – Kita tak bisa memandang perempuan hanya sebagai “konco wingking” (perempuan selalu di belakang laki-laki). Kehadiran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tak bisa dianggap enteng. Dalam dunia politik misalnya. Tak bisa lagi kaum perempuan termarginalkan secara politik. Para perempuan perlu melek politik dan aktif berpartisipasi dalam kancah politik. Perjuangan kaum perempuan lewat politik sangat penting demi masa depan kaum Hawa ini.
Dalam dialog Rumah Demokrasi yang disiarkan TVRI Jawa Timur kemarin, Rabu, (12/7/2023), penulis mendapat kesempatan menjadi salah satu narasumbernya. Dalam diskusi yang berlangsung tak kurang dari satu jam itu membincangkan bagaimana cara memikat hati pemilih perempuan. Tema ini tentu terkait dengan kontestasi politik, pemilu 2024 mendatang.
Realitas politik memang menunjukkan bahwa dalam pemilu keterlibatan perempuan masih tak sepadan dengan kaum laki-laki. Dunia politik sepertinya masih dianggap sebagai medan yang cukup keras bagi sekelompok perempuan.
Adanya ungkapan bahwa politik itu kejam dan menghalalkan segala cara, sangat bertolak belakang dengan sosok kebanyakan perempuan yang lebih mengedepankan hati dan perasaan. Kesan bahwa politik itu kotor menjadikan sejumlah kaum Hama alergi dan emoh berpolitik. Keengganan berpolitik di kalangan perempuan ini tentu tak bagus bagi kehidupan berdemokrasi.
Realitas teks dan sosiologis masih menempatkan perempuan pada posisi diskriminatif. Ada stereotipe bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah karena ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Kualitas perempuan, terutama dalam ruang politik juga masih banyak yang meragukan. Masih adanya anggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin politik karena dinilai tidak cakap dalam mengurusi masalah-masalah sosial yang berat dan pelik.
Partisipasi Perempuan
Suara perempuan dalam pemilu sesungguhnya sangat berarti dalam pelaksanaan proses demokrasi. Dari segi kuantitatif, perempuan merupakan basis pemilih terbesar yang dapat mendulang suara yang menguntungkan bagi salah satu partai politik (parpol). Karena itu tidak mengherankan apabila pada pemilu banyak partai yang berupaya mengusung tema bahwa partainya peduli akan hak-hak perempuan.
Mengutip data dari laman Kpu.go.id, Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebagai bahan penyusunan daftar pemilih untuk pemilu tahun 2024 mendatang berjumlah 204.656.053 jiwa. Terdiri dari laki-laki sebanyak 102.181.591 jiwa (49,92 persen) dan perempuan sebanyak 102.474.462 jiwa (50,08 persen) meliputi 38 provinsi. Jumlah yang potensial ini tentu diharapkan tak hanya dijadikan sebagai obyek dalam setiap kontestasi politik lima tahunan.
Merujuk pada tiga komponen pembentuk Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 2021, posisi terendah adalah persentase keterlibatan perempuan di parlemen, yakni di kisaran angka 21,89. Pada tataran global, nilai Global Gender Gap Index (GGGI) tahun 2021, pada subindeks pemberdayaan politik, Indonesia berada pada peringkat ke-92 dari 156 negara. Melihat kondisi ini, kesetaraan jender dalam bidang politik masih perlu terus diperjuangkan di Indonesia.
Sebuah survei nasional yang pernah dilakukan Kompas pada Januari 2023 memotret orientasi politik 600 responden perempuan di 38 provinsi. Hasil survei menunjukkan sebanyak 85,7 persen mengaku akan menggunakan hak suaranya dalam pemilu 2024 mendatang. Angka ini tidak berbeda jauh dengan pemilih laki-laki, yang 88,7 persen akan menggunakan hak pilihnya. Antusiasme pemilih perempuan ini tentu saja menjadi modal sosial bagi partai untuk menaikkan elektabilitasnya.
Hasil survei lain yang dilakukan Kompas periode Mei 2023 menunjukkan bahwa pemilih perempuan di usia yang sudah matang (usia 41-60 tahun) paling tinggi persentasenya yang masih bimbang dengan pilihan parpol ataupun capresnya, yaitu sekitar 43 persen. Diikuti oleh kategori usia 24-40 tahun dengan persentase 40 persen.
Kegamangan juga terjadi pada pemilih perempuan generasi Y (milenial), generasi madya (usia 34-41 tahun) hingga generasi baby boomers (usia 56-74 tahun) tampak lebih banyak yang masih belum menentukan preferensi politiknya (undecided voters).
Untuk itu parpol harus mempunyai strategi yang pas dalam menjaring suara perempuan ini. Mengoptimalkan organisasi perempuan menjadi salah satu cara untuk membuka pengetahuan politik kaum perempuan. Kemandirian berpolitik menjadi bagian kehidupan berpolitik kaum perempuan yang masih perlu ditingkatkan. Selama ini keputusan politik perempuan dalam pemilu masih dipengaruhi oleh lingkungan sosial sekitarnya seperti orang tua, pasangan, tokoh masyarakat, tokoh organisasi, dan tokoh agama.
Bukan Konco Wingking
Pandangan bahwa perempuan dianggap sebagai “konco wingking” laki-laki atau sebagai pendukung laki-laki dalam politik dapat berasal dari faktor budaya, sosial, dan sejarah yang kompleks. Stereotip gender telah mengakar dalam masyarakat selama berabad-abad dan menciptakan pandangan yang merendahkan perempuan dalam banyak bidang, termasuk politik.
Muncul anggapan bahwa perempuan itu lemah, tidak kompeten, emosional, atau kurang mampu mengambil keputusan politik. Pandangan ini perlu diubah. Saat ini perempuan bukan lagi “konco wingking” karena mereka bisa berkarya bahkan mampu melebihi laki-laki.
Tradisi patriarki yang melibatkan dominasi laki-laki dalam politik telah berlangsung selama berabad-abad. Struktur kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki telah menciptakan hambatan yang menghalangi perempuan untuk terlibat secara penuh dalam politik.
Sebagai akibatnya, perempuan sering kali dipersepsikan hanya sebagai pendukung atau pengikut laki-laki. Ketidakadilan struktural dalam sistem politik dan lembaga-lembaga pemerintahan juga dapat berkontribusi pada persepsi ini.
Sejatinya perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam politik dengan kemampuan, pengetahuan, dan pengalamannya. Mengatasi stereotip dan hambatan struktural serta mempromosikan kesetaraan gender dalam politik adalah langkah penting untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Kini memang telah terjadi peningkatan partisipasi perempuan dalam politik di banyak negara, perubahan budaya dan sosial ini membutuhkan waktu yang tak singkat.
Kehadiran perempuan dalam politik sangat penting untuk memastikan inklusi, representasi yang adil, dan pengambilan keputusan yang seimbang dalam masyarakat. Keterlibatan perempuan dalam politik memengaruhi berbagai aspek kehidupan dan kebijakan publik. Partisipasi perempuan dalam politik penting untuk mencapai representasi yang adil di lembaga-lembaga politik.
Dengan terlibat secara aktif dalam politik, perempuan dapat memastikan bahwa suara mereka didengar dan kepentingan mereka dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Hal ini juga berkontribusi pada pemerintahan yang lebih inklusif dan representatif masyarakat secara keseluruhan.(*)