MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Guru agama harus adaptif terhadap perkembangan zaman. Termasuk Guru Agama Katolik. Teknologi informasi yang kian masih menuntut setiap orang untuk terampil. Terutama sebagai seorang pendidik. Tak terkecuali guru agama.
Kurikulum Merdeka Belajar merupakan satu konsep pendidikan yang memberikan ruang gerak lebih luas bagi peserta didik. Pun bagi pendidik. Maka keterampilan abad 21 menjadi keharusan. Kreatif, kolaboratif, kritis dan komunikatif.
Jika itu menjadi goal dari sebuah pendidikan, maka pendidik sebagai ujung tombak harus menguasai konsep tersebut lebih dulu. Itu keharusan. Tidak boleh tidak.
Hal itulah yang disampaikan Rektor Universitas Katolik Widya Karya Malang, Fr. Dr. Klemens Mere, S.E., M.Pd., M.M., M.H., M.A.P., M.Ak. Gagasan itu disampaikan saat ditemui Malang Posco Media, Kamis (27/7).
Sebelumnya, pria ramah yang akrab disapa Frater Monfoort ini menjadi pembicara dalam sebuah kegiatan Pembinaan Peningkatan Kompetensi Guru Agama Katolik Tingkat Sekolah Menengah Provinsi Jawa Timur Tahun Ajaran 2023-2024. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katolik Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Bertempat di Primebiz Hotel Surabaya, Senin (24/7) lalu.
Frater Monfoort membawakan materi tentang Kebijakan Gereja dalam Pendidikan Agama Katolik terkait dengan Kurikulum Merdeka. “Lembaga Pendidikan Katolik perlu berubah sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman. Perubahan itu membutuhkan pembaharuan pola pikir,” katanya.
Pria yang kembali dipercaya menjabat sebagai Ketua Komisi Pendidikan Katolik Keuskupan Malang ini mengatakan, perubahan terjadi begitu cepat. Teknologi informasi berperan besar dalam setiap perubahan yang begitu disruptif. Hitungannya tidak lagi bulan, minggu atau hari. Tetapi menit, bahkan detik.
Maka kata dia, perubahan itu harus disikapi positif. Dengan kemampuan dan keterampilan diri sebagai guru. Meskipun guru agama lahir dari generasi ‘kolonial’ namun tetap harus berpikir millenial. Pun dengan keterampilannya. “Maka guru harus adaptif. Bergaul dan membimbing siswa sebagai generasi milenial atau generasi Z, kita harus bisa masuk melalui pintu mereka (siswa) dan keluar lewat pintu kita,” tuturnya.
Menurutnya, pendidikan karakter tidak hanya teori. Tetapi harus juga aplikatif. Siswa tidak cukup hanya diberi arahan tetapi juga teladan. Tutur sapa dan perhatian kecil pun menjadi kesan yang membekas dalam diri siswa.
“Yang kecil itu menjadi kekuatan besar untuk membangun karakter siswa. Karena pendidikan karakter harus dengan implementasi. Dan penguatan nilai-nilai karakter harus bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman,” terang pria yang juga Ketua Majelis Pendidikan Katolik (MPK) Keuskupan Malang ini.
Saat ini tengah digencarkan pendidikan Profil Pelajar Pancasila. Atau dikenal dengan Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Pengembangan dari Kurikulum Merdeka.
Frater Monfoort menegaskan, Guru Agama Katolik harus mengambil peran dalam project tersebut. “Karena di dalam Pancasila terkandung banyak sekali nilai-nilai religi yang menjadi pondasi pendidikan karakter,” tandasnya.
Fr. Dr. Klemens Mere, S.E., M.Pd., M.M., M.H., M.A.P., M.Ak, merupakan salah satu pakar, praktisi dan trainer pendidikan di Kota Malang. Terutama di lingkungan Lembaga Pendidikan Katolik Kota Malang. Gagasan dan pemikirannya telah banyak mewarnai perkembangan pendidikan di Kota Malang khususnya.
Sejak Bulan April 2023 lalu, Frater Monfoort kembali dipercaya memimpin Komdik Keuskupan Malang. Kepemimpinan organisasi ini seharusnya dua periode. Namun pria asal Flores ini dipercaya memimpin untuk tiga periode. Demikian juga dengan MPK.
“Kita semua saling belajar. Banyak yang punya potensi untuk menjadi pemimpin. Namun tidak hanya itu, tetapi juga butuh komitmen yang besar dalam memajukan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan ini,” pungkasnya. (imm)