MALANG – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Malang dipastikan akan mengaktifkan kembali 260.000 peserta BPJS PBID Kabupaten Malang, per 1 September. Langkah strategis ini dilakukan semata-mata untuk menghindarkan keterpurukan keuangan daerah.

Hal di atas diungkapkan drg Wiyanto Widjoyo, Kepala Dinkes Kabupaten kepada Malang Posco Media (MPM) melalui saluran ponselnya, Kamis pagi.
‘’Kemampuan keuangan kita (APBD Kabupaten Malang) hanya cukup untuk mengkaver sekian itu (sekitar 260.000 peserta). Tidak bisa semuanya, seperti yang ditulis di surat BPJS Kesehatan Malang,’’ tandas Wiyanto.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemkab Malang melalui Dinkes Kabupaten Malang telah menonaktifkan 679.721 peserta BPJS PBID (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Penerima Bantuan Iuran Daerah), Kabupaten Malang, per 1 Agustus 2023.
Dikatakan dia, Pemkab Malang tidak mungkin terus menerus mengkaver keuangan 679.721 peserta BPJS PBID. Apalagi, posisi per hari ini, Pemkab Malang masih memiliki hutang sekitar Rp 84 miliar ke BPJS Kesehatan.
Akumulasi hutang itu, lanjut mantan Kepala Puskesmas Kecamatan Pakis ini, karena Pemkab Malang harus membayar klaim BPJS Kesehatan dikisaran Rp 25 miliar per bulan. Padahal kekuatan riil APBD Kabupaten Malang tidak lebih dari angka Rp 5 miliar per bulan.
‘’Lho, kalau terus menerus begini, bisa jebol kita. Segera dibenahi,’’ ucap Wiyanto menirukan perintah sekaligus teguran keras Bupati Malang HM Sanusi.
Menurut Wiyanto, pihaknya minta masyarakat Kabupaten Malang yang sebelumnya menerima BPJS PBID agar berbesar hati. Andaikan kondisi keuangan Pemkab Malang masih memungkinkan, pihaknya tidak perlu mengurangi jumlah kaveran BPJS PBID dari 679.721 menjadi hanya 260 ribu saja.
‘’Selebihnya sekitar 419 ribu jiwa kami sarankan ikut BPJS Mandiri. Sebulan iuran BPJS hanya Rp 38.700 saja,’’ ungkap Wiyanto dengan belum merinci 260 ribu BPJS PBID yang akan diaktifkan 1 September 2023 itu untuk kategori pasien apa saja.
Ditambahkan dia, pihaknya cukup meyayangkan surat penonaktifan peserta BPJS Kesehatan PBID yang beredar luas dengan menyebutkan angka secara vulgar. Sebab, penyebutan angka secara terang-terang memberikan kesan kurang bagus di mata masyarakat.
‘’Mestinya tidak perlu disebutkan angkanya. Sebab, memberi kesan kurang baik terhadap kami,’’ keluh Wiyanto dengan nada kalem. (has)