Pemkab Malang sudah gerak cepat agar Program Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID) segera diaktifkan. Setidaknya September nanti sudah aktif lagi. Agar tak terjadi lagi, harus dicari akar masalahnya agar layanan kesehatan gratis ini terus berkelanjutan.
======
Diskusi publik Malang Posco Media bertema, ‘PBID Dicabut, Rakyat Bisa Apa?’ di Rumah Kita Jumat (11/8) lalu untuk mencari solusi.
Forum diskusi yang dimoderatori Pemred Malang Posco Media Abdul Halim ini dihadiri berbagai kalangan. Yakni anggota Komisi I DPRD Kabupaten Malang Unggul Nugroho, LSM Prodesa Khusairi dan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Negeri Malang (UM) Dr Nuruddin Hady.
Ini mencari solusi agar PBID segera diaktifkan kembali dengan tepat sasaran. Namun sebelum kembali direalisasi, cikal bakal masalah penonaktifan PBID harus dipahami. Agar masalahnya tak terjadi lagi.
Anggota Komisi I DPRD Unggul Nugroho menjabarkan beberapa hal jauh sebelum permasalahan PBID. Yakni adanya upaya Pemkab Malang dalam mencapai status Ultra Healthy Coverage (UHC).
Diutarakan Unggul, upaya Kabupaten Malang untuk mencapai UHC disokong anggaran Rp194 miliar pada tahun 2023. Ini tertuang dalam pakta integritas yang ditandatangani Bupati Malang HM Sanusi. Data yang tercatat BPJS Kesehatan pada 1 Februari 2023 untuk PBID yang bersumber APBD adalah 181.921 jiwa.
“Mengenai penganggaran awal untuk menuju UHC, dalam hal ini PBID tidak dianggarkan di APBD tahun ini. Saat pencanangan awal DPRD khususnya tidak mengetahui langsung. Terlebih bagaimana kesiapan datanya dari 2,6 juta jiwa penduduk,” kata Unggul.
Ia melanjutkan, hal tersebut yang kemudian disorot. Yakni kesiapan data yang diambil dari data penduduk miskin di Kabupaten Malang. Baginya data tersebut harus benar-benar tervalidasi sebelum diprogramkan, terlebih penggunaan anggaran yang tidak kecil. Hingga pada awal Maret 2023, didapati penggelembungan peserta PBID hingga mencapai 671.120 jiwa.
“Menjadi meningkat beberapa kali lipat, yang jadi pertanyaan apakah valid? Dan kenapa bisa seperti itu. Dinas Kesehatan yang sebelumnya memasukkan data tersebut melalui input eDABU PD Pemda. Validasi dan sentral datanya yang perlu diperbaiki,” kata dia.
Lebih lanjut, setelah penggemukan data tersebut dicari tahu. Banyak di antaranya Unggul menduga masyarakat yang antusias dengan program UHC yang digemborkan dapat berobat gratis hanya dengan KTP Kabupaten Malang. Sehingga kerancuan terlanjur tak bisa dihindarkan.
“Perubahan mendadak, mungkin karena antusiasme masyarakat terhadap UHC, mereka berbondong-bondong memanfaatkan KTP. Ini yang dibiarkan berjalan, lalu PBID per 31 juli diketahui anggarannya jebol setiap bulan Rp25 Miliar,” sesalnya.
Sementara itu, Khusairi dari Prodesa juga menyoroti nasib masyarakat kurang mampu di tengah dinamika bantuan anggaran untuk iuran BPJS yang disebut tak tepat sasaran. “Disebutkan ada yang mampu dapat bantuan iuran, ada yang meninggal dunia. Masyarakat tidak mengetahui itu tetapi akhirnya harus terdampak dihentikan bantuan iurannya. Sedangkan dari dewan perwakilan rakyat tidak tahu, rakyat lebih bingung lagi dan pasti mempertanyakan,” kata Khusairi.
Baginya, publik tetap harus terlayani dengan bantuan iuran. Ia cukup menyayangkan kebijakan penonaktifan yang cukup mendadak disampaikan oleh pemerintah daerah. Sehingga masyarakat bertanya-tanya bagaimana jika ada kendala kesehatan, sedangkan tak mampu bayar iuran mandiri atau berobat di jalur umum. “Meski akhirnya disampaikan harus mengurus beberapa dokumen pengantar, tapi tidak selalu berlaku bagi mereka yang dalam kondisi darurat. Jangan sampai jadinya ada istilah orang miskin tidak boleh sakit,” tambahnya.
Pengamat Kebijakan Publik Dr Nuruddin Hady menyoroti penonaktifan yang dilakukan. Menurut dia, untuk menjamin layanan terbaik kesehatan masyarakat tak perlu harus ada pemberhentian. Sehingga upaya perbaikan data sasaran PBID harusnya dilakukan beriringan.
Ia juga menyampaikan bahwa masyarakat yang tergolong kurang mampu di Kabupaten Malang masih dianggap cukup besar secara jumlah. Meski secara persentase relatif kecil yakni 9,5-10 persen. Hal ini yang mengharuskan pelayanan kesehatan dapat tersentuh siapa saja di masing-masing fasilitas kesehatan utamanya puskesmas.
“Jika data penerima (PBID, red) segitu banyak hari ini, maka menjadi tiga kali lipat data kemiskinan. Yang harus dipastikan apakah ini tepat sasaran,” kata Nurudin.
Ia mengusulkan Dinas Sosial selaku yang mencatat warga miskin juga harus bertanggung jawab untuk pekerjaan rumah penanganan kesiapan data. Sehingga menjadi acuan kebijakan publik yang tepat dan bermanfaat.
“Diverifikasi dan divalidasi, kemudian di perbup bisa dibuat dasarnya siapa yang berhak, sehingga pemda bisa merencanakan anggaran dengan baik,” ujarnya.(tyo/van/bersambung)