Juli tahun ini telah memecahkan rekor sebagai bulan Juli terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah. Data dari riset yang dilakukan seorang ilmuwan dari Universitas Leipzig di Jerman, Dr. Karsten Haustein, mengungkapkan bahwa suhu global bulan Juli 2023 mencapai 17 derajat celcius.
Angka tersebut merupakan lonjakan yang signifikan dari suhu global bulan Juli biasanya, yaitu 16 derajat celcius. Rekor ini ditanggapi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan pernyataan bahwa bumi telah beralih fase, dari pemanasan global ke pendidihan global (global boiling).
Sebelum tahun ini, tercatat, Juli 2019 sebagai pemegang rekor suhu bulan Juli terpanas. Namun, fakta bahwa suhu bulan Juli tahun ini mengalami kenaikan sekitar 0,2 derajat celcius, telah menggeser posisi tersebut. Meskipun terlihat sebagai perbedaan yang kecil dalam angka, dampaknya dapat menjadi jauh lebih besar dan kompleks: kerusakan lingkungan, perubahan iklim ekstrem, gangguan ketahanan pangan, ketidakpastian ekonomi, dan yang tak kalah penting kesehatan manusia.
Pemanasan global menjadi tantangan terbesar yang dihadapi manusia abad ini dan telah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi anak muda. Akibatnya bukan hanya sekadar perubahan cuaca yang kita rasakan dalam periode singkat, melainkan juga akibat jangka panjang yang akan mengoyak kesejahteraan manusia lintas generasi mendatang.
Sebagai contoh, pemanasan global adalah faktor utama yang memengaruhi frekuensi, intensitas, dan pola bencana alam. Eskalasi pemanasan global membuat bencana alam lebih sering terjadi. Artinya, seiring banyaknya lahan yang rusak akibat bencana alam, kemungkinan beberapa wilayah tidak akan dapat dihuni lagi di masa mendatang.
Lebih jauh, kerusakan pasca bencana alam juga dapat mengganggu kesehatan manusia. Bahkan tidak hanya kesehatan fisik, melainkan juga kesehatan mental. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Planetary Health tahun 2022 mengungkapkan bahwa individu yang tinggal di daerah rawan bencana alam memiliki risiko masalah kesehatan mental yang lebih tinggi.
Polusi Udara
Polusi udara adalah salah satu kontributor besar terhadap pemanasan global. Kabar buruknya, akhir-akhir ini, fenomena polusi udara di Indonesia mengundang keprihatinan yang mendalam, terutama di Ibu Kota. Jakarta bahkan beberapa kali menduduki posisi pertama sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia.
Data ini didapatkan dari situs pemantau kualitas udara IQAir. Sebagai contoh, pada 13 Agustus 2023, indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 172 pada pukul 07.00 WIB. Angka ini jauh dari kategori kualitas udara sehat yang hanya 0-50.
Mirisnya, polusi udara yang buruk ini tidak hanya terjadi di Jakarta, namun di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Tangerang, Serang, Semarang, dan Pontianak.
Polusi udara yang buruk dalam jangka pendek dapat mengganggu kesehatan manusia, sedangkan dampak jangka panjangnya adalah percepatan laju pemanasan global. Dari segi kesehatan, polusi udara dapat menyebabkan gangguan pernapasan seperti asma dan ISPA, juga gangguan kesehatan lain yaitu iritasi mata, gangguan jantung, bahkan gangguan reproduksi.
Seketika, fenomena polusi udara di Indonesia menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Himbauan dan kampanye untuk kembali memakai masker pun mulai bertebaran di media sosial. Bukan tanpa alasan, hal ini dilakukan guna meminimalisir risiko serangan penyakit.
Di sisi lain, kita juga tidak boleh menutup mata akan dampak jangka panjang dari polusi udara. Polusi udara menjadi kontributor utama dalam mempercepat laju pemanasan global, keduanya memiliki hubungan yang kompleks dan saling terkait.
Peningkatan zat-zat polutan yang dilepaskan ke atmosfer akan memerangkap panas yang seharusnya dilepaskan ke luar angkasa. Ini menciptakan efek rumah kaca, yang secara berangsur-angsur dapat meningkatkan suhu bumi.
Kompleksitas masalah polusi udara dan pemanasan global ini perlu mendapat perhatian berbagai pihak, baik itu pemerintah, industri, juga masyarakat. Pemerintah memiliki peran kunci untuk menyelesaikan masalah dari hilir: mengatur dan mengawasi kebijakan lingkungan. Misalnya, penguatan regulasi emisi serta mendorong implementasi energi terbarukan. Pun demikian, industri di Indonesia harus secara perlahan mengadopsi praktik produksi yang lebih ramah lingkungan guna mengurangi peredaran partikel polutan.
Sedangkan, sebagai masyarakat, kita perlu ambil andil dengan membangun kesadaran untuk mencintai lingkungan, serta melakukan langkah-langkah sederhana untuk mengurangi polusi udara.
Tanpa sinergitas seluruh pihak, polusi udara tidak akan pernah menemukan solusi, melainkan hanya rasa frustasi. Akibatnya akan sangat mengkhawatirkan, terutama bagi generasi milenial dan generasi Z. Dua generasi ini akan menghadapi konsekuensi atas keputusan yang diambil hari ini. Jika keputusan yang diambil tepat, maka selamatlah. Sebaliknya, jika keputusan yang diambil keliru, maka generasi mendatang benar-benar menjadi korban ketidakadilan atas rusaknya alam.
Ketidakadilan bagi Generasi Muda
Ada banyak sekali konsekuensi yang harus dihadapi di masa mendatang akibat pemanasan global. Pertama, keterbatasan sumber daya alam seperti air bersih dan hasil pertanian. Akibat pemanasan global, persaingan untuk mendapatkan akses sumber daya alam akan lebih ketat. Hal ini dapat memicu berbagai konflik dan ketidaksetaraan.
Kedua, dampak ekonomi yang signifikan di masa depan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa di masa depan ekonomi akan semakin sulit akibat pemanasan global. Sebagai contoh, peningkatan suhu global dapat menurunkan hasil pertanian akibat perubahan pola cuaca, kekeringan, hujan lebat yang tidak teratur, atau musim panas yang lebih panjang. Fenomena alam ini secara tidak langsung juga menyebabkan peningkatan harga pangan, imbasnya peningkatan kasus kelaparan, dan ekonomi pun akan goyah.
Ketiga, penurunan kualitas kesehatan. Akibat perubahan pola cuaca yang semakin tidak menentu, tubuh manusia semakin rentan terkena berbagai penyakit. Bahkan, diprediksi berbagai penyakit baru akan muncul akibat meningkatnya suhu bumi.
Sebuah studi dalam jurnal Eco-Environment & Healthtahun 2022 mengungkapkan, pemanasan global dapat meningkatkan risiko penyebaran patogen, termasuk penyakit yang ditularkan oleh vektor hewan kepada manusia.
Keempat, tanggung jawab pemulihan kerusakan lingkungan. Generasi muda saat ini dibebani tugas pemulihan lingkungan yang sangat besar akibat kerusakan yang diakibatkan generasi sebelumnya. Sungguh berat menjadi generasi muda saat ini, berbagai problematika lingkungan membuat anak muda nelangsa, mempertanyakan masa depan yang penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, melihat kompleksitas dampak dari pemanasan global bagi generasi mendatang, maka penting untuk melibatkan dan mendengarkan suara anak muda dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan. Karena sekali lagi, berbagai isu lingkungan seperti polusi udara, pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan ekosistem, dan hilangnya keragaman hayati, adalah ancaman besar bagi generasi muda.(*)