MALANG POSCO MEDIA – Kemampuan penilaian risiko (risk assesment) dalam konteks menangani klien eks narapidana terorisme (Napiter) dinilai penting dan perlu ditingkatkan bagi Pembimbing Kemasyarakatan (PK). Hal tersebut disadari Tim Doktor Mengabdi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) dengan menggelar Forum Group Discussion (FGD) bersama pihak Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas 1 Malang di Ruang Sidang 1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jumat (25/8) lalu.
FGD dipimpin oleh Ketua Tim Doktor Mengabdi (DM) Dr. Setiawan Noerdajasakti, S.H., M.H., beserta wakil ketua tim peneliti Milda Istiqomah, S.H., MTCP., Ph.D. dan Anggota Peneliti Dr. Ir. Agus Tjahjono, M.S. Dikatakan Setiawan, FGD dilakukan sebagai upaya mengevaluasi risk assessment yang sudah dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam penanganan klien eks-narapidana terorisme di Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang.
“Banyaknya kasus terorisme yang terjadi telah mengindikasikan bahwa eks napiter yang terdapat di Balai Pemasyarakatan (Bapas) juga ikut bertambah dari segi kuantitasnya. Sehingga pola pembimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap klien eks-narapidana terorisme tidak dapat disamakan dengan eks-narapidana lainnya,” papar Setiawan.
Diharapkan pola bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap eks napiter mengalami perubahan. “Penting untuk diperhatikan implementasi pelaksanaanya, diharapkan dapat memberikan bimbingan kemasyarakatan secara optimal,” kata dia.
Setiawan berujar, dari hasil FGD diketahui bahwa pembimbingan klien eks napiter di Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang dilakukan dengan pembinaan kepribadian dan kemandirian. Pembinaan kepribadian dilakukan melalui proses konseling, penyuluhan hukum, sosial dan agama, serta pasca rehab. Sedangkan pembinaan kemandirian sendiri dilakukan dengan cara pengembangan minat, bakat, serta potensi dari klien eks-narapidana.
Ada tiga narasumber yang memaparkan materi dalam FGD tersebut, yakni Leopold Sudaryono, S.H., LL.M. (The Asia Fondation), Makmun Rasyid, S.Ag., M.Ag. (Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia), serta Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang, yakni Suprianto, S.ST., beserta 20 Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang.
Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang menggunakan pendekatan yang dinamai “Mawas Mbois” untuk pola deradikalisasi terhadap klien eks-narapidana terorisme. Masih kata Setiawan, Pendekatan tersebut dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pribadi eks-narapidana, pemulihan hubungan dengan keluarga, peningkatan kapasitas kemandirian ekonomi, dan pemulihan hubungan masyarakat secara umum.
Sedangkan menurut Suprianto, S.ST, pelibatan pihak keluarga dalam proses konseling terhadap klien eks-narapidana terorisme menjadi sangat penting karena keluarga dapat menjadi support system yang baik bagi klien.
“Dalam usaha melakukan konseling dengan klien eks-narapidana terorisme, Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang juga bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti BNPT, Densus, Intelkam setempat, Pokmas, serta beberapa dinas-dinas terkait untuk mendukung kegiatan usaha klien eks-narapidana terorisme,” tuturnya.
Ia menambahkan, berdasarkan hasil temuan FGD, diketahui ada beberapa hambatan dalam pelaksanaan Risk Assesment penilaian risiko di Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang, seperti belum adanya asesmen Risiko Residivisme Indonesia (RRI) khusus untuk tindak pidana terorisme, pemahaman agama petugas yang kurang mendalam, karakter kepribadian narapidana masih terkesan anti NKRI, dan belum semua Pembimbing Kemasyarakatan telah memperoleh pelatihan mengenai Risk Assesment terhadap tindak pidana terorisme.
Makmun Rasyud, S.Ag., M.Ag. selaku Perwakilan Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia berpendapat, adanya motivasi moral dalam perjalanan kriminal eks napiter turut mempengaruhi kebutuhan pembinaan harus dilakukan berapa lama. “Dipertimbangkan sebagai salah satu tolak ukur di Indonesia, untuk menghadapi hal ini agar narapidana terorisme bisa dibina cara berpikirnya untuk jangka waktu yang panjang,” kata Makmun.
“Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Asesmen Risiko dan Kebutuhan Bagi Narapidana serta Klien Pemasyarakatan menjadi harapan baru. Yakni bagi Pembimbing Kemasyarakatan dalam membuat program perencanaan bimbingan yang tepat dan efektif terhadap klien eks narapidana terorisme sesuai dengan tingkat resikonya,” timpa Leopold Sudaryono, S.H., LL.M., selaku Perwakilan The Asia Foundation.(tyo/adv/bua)