Juma’ali, seniman di Kepanjen Kabupaten Malang membuat kreasi wayang yang dinamai Wayang Wolak-walik. Ia mendedikasikan diri pada kesenian, khususnya menghibur anak-anak.
Juma’ali duduk bersimpuh di sanggarnya. Lokasinya di Jalan Sidomukti Gang I Kelurahan Ngadilangkung Kepanjen, Kamis (28/9) kemarin siang.
Ia sedang kedatangan tamu untuk kerja sama edukasi. Tamunya berasal dari kelompok belajar mahasiswa pendidikan luar sekolah Universitas Negeri Malang (UM).
Mengenakan kaus dan peci merah, Juma’ali memeragakan permainan wayang yang dibuatnya dari bahan plastik. Karakter wayang karyanya cenderung bebas. Tak merujuk pakem wayang umumnya. Ia menjadikan wayang metode edukasi. Juga menyalurkan kebebasan berkesenian agar dapat dinikmati anak-anak.
Beragam karakter dibuatnya dalam Wayang Wolak-walik. Mulai tokoh yang melegenda seperti tokoh dalam mitologi, babad, Wali Sanga, Kiai Haji Hasyim Asyari, Gus Dur, hingga Presiden Joko Widodo dibuat dan dimainkan Ki Juma’ali.
“Wolak walik secara fisik dimainkan satu layar bolak balik. Biasanya dimainkan dua orang depan dan belakang. Sekarang bisa melibatkan penonton untuk bermain bareng,” katanya.
“Secara filosofis Wayang Wolak-walik menggambarkan kondisi sekarang, manusia yang membolak-balikkan fakta atau keadaan karena banyak kepentingan. Maka wayang jadi sarana yang edukatif tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari,” cerita dia saat ditemui Malang Posco Media di sanggarnya.
Pria yang disapa Lek Jum itu beranggapan pendidikan karakter mudah disampaikan melalui permainan wayang. Mengenalkan kesenian sekaligus memicu anak-anak berekspresi dengan bebas.
“Karena setiap anak bagi saya adalah seniman. Dikenalkan karakter building, belajar berkreasi sendiri. Belajar memegang wayang, memainkan, berdialog dengan penuturan yang mereka mampu, mereka bisa merasakan bukan hanya sebagai penonton, tapi juga pemain,” katanya.
Kisah Lek Jum tak serta merta. Lulusan Fakultas Seni Pertunjukan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini melewati berbagai rintangan.
Ia kuliah di ISI Yogyakarta tahun 1988, lulus pada tahun 1998. Perjalanan keseniannya dimulai dari teater. Berlajar membuat dan memainkan wayang sejak mendapat ajakan dari seniman Belgia di masa ia kuliah.
“Tahun 1991 diajak orang Belgia membuat wayang boneka, cerita tentang kabayan dan main di kedutaan Belgia dan Fatahilah. Tahun 1994 bikin wayang legenda dengan cerita rakyat,” ceritanya.
Setelah lulus, sempat menjadi guru dan mengabdikan diri di sejumlah kegiatan kampus. Salah satunya di Universitas Muhammadyah Malang (UMM) ketika Malik Fajar masih menjadi Rektor UMM. Beberapa tahun berjalan, kisahnya berlanjut kembali merantau. Jakarta menjadi tanah selanjutnya ia berpijak dan mencari hidup serabutan. Juga sempat membangun usaha kuliner tapi bangkrut.
“Saya akhirnya bekerja jadi marketing perumahan sambil bikin wayang lagi,” kenang pria 56 tahun ini.
Ia kreasikan sendiri dari bahan plastik. Khususnya plastik botol minuman bekas. Dari plastik botol minuman yang dipotong, dipipihkan dan dipanaskan menjadi lempengan plastik, bahan itulah yang dikreasikan jadi cikal bakal Wayang Wolak-walik. Yakni wayang plastik dengan beragam karakter kehidupan sehari-hari.
“Tak ada cerita baku seperti wayang purwa. Lebih pada pelajaran kehidupan saya membuat cerita dan mengenalkan ke beberapa teman untuk bisa ditampilkan di beberapa kesempatan,” kata Lek Jum.
Karyanya dilirik beberapa pihak, bisa pentas pula. Ia merasa beruntung, terbantu dengan jaringan teman-temannya dulu di ISI. Juga beberapa rekan kesenian yang mengenalkan karyanya ke khalayak. Termasuk menjadi pengurus Lesbumi NU di Jakarta. Itu meluaskan aksesnya.
Wayang yang dibuat dengan sederhana menjadi tontonan yang menarik minat anak-anak. Tak hanya edukasi, tapi juga sarana membangun kesehatan mental.
Salah satunya Juma’ali diundang memberikan trauma healing bagi korban bencana di beberapa daerah. Seperti korban gempa di Lombok NTB, hingga korban erupsi Gunung Semeru beberapa waktu lalu.
Lambat laun ia menemukan ritmenya sebagai seniman yang mengabdikan diri di wilayah sosial. Memberikan dampak positif pada anak-anak yang menjadi audiensnya. “Saya bersyukur karena banyak yang suka, katanya anak-anak juga terhindar dari terlalu sering menggunakan HP. Sehingga anak-anak lebih bisa bebas ekspresi. Menyampaikan imajinasi dan emosinya lebih luwes dengan diajak main bareng,” tutur Lek Jum.
Ia sebenarnya kembali ke Malang sekitar tahun 2020. Ketika jaringan sesama seniman mengundang menghidupkan beragam kesenian di Kabupaten Malang.
Dia membangun sanggar di rumahnya. Semua orang bisa datang belajar. Dulu, ia bermain Wayang Wolak-walik dengan rekannya Ki Aziz. Dua dalang dalam satu pementasan memberikan tontonan unik, penonton berinteraksi dekat dan memainkan karakter adalah ciri khasnya. Meski kini Ki Aziz telah tiada, dia tetap memainkan wayang dengan konsisten. (tyo/van)