MALANG POSCO MEDIA – Satu tahun sudah tragedi memilukan dikenang dan dibicarakan tidak ada ujungnya. Peristiwa 1 Oktober 2022 yang bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila tersebut menjadi tragedi kemanusiaan yang tidak bisa dilupakan.
Hari itu bukan hanya menjadi peristiwa bersejarah bagi sepak bola Indonesia, bahkan seluruh dunia melontarkan kutukannya. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang di saat pertandingan derby Jatim Arema Malang melawan Persebaya Surabaya ini harus berakhir dengan kericuhan dan menyebabkan ratusan orang meregang nyawa dan ratusan yang lainnya luka-luka ringan sampai berat.
Cerita-cerita pilu memang tidak bisa dihindari dari para korban meninggal dunia ataupun luka-luka berat yang ada. Bahkan tidak sedikit dari kalangan anak-anak, remaja, remaja putri yang menjadi korban, suami istri menjadi korban, bapak dan anak menjadi korban, saudara sekandung menjadi korban, sahabat dekat dan karib menjadi korban meninggal dunia.
Pilu memang, karena mereka yang berangkat dari rumah dengan kondisi riang gembira bersama keluarga, anak, istri, keluarga dan sahabat, tiba-tiba pulang ke rumah diantar oleh ambulance dalam keranda mayat. Tentu ini menjadi situasi yang “memukul” dan menyesakkan dada. Bukan saja bagi keluarga yang ditinggalkan, akan tetapi bagi seluruh warga Malang dan para Aremania yang selama ini memberikan perhatian dan dukungan terbaiknya kepada team Arema.
Sampai hari ini genap satu tahun tragedi Kanjuruhan, seolah tidak ada kepastian dan keputusan, keluarga yang ditinggalkan tentu “menangis” mempertanyakan keadilan, karena nyawa yang melayang itu tidak sepadan jika hanya dikonversi dengan sejumlah uang. Tentu menjadi sebuah kewajaran jika keluarga korban menuntut keadilan, karena trauma atas peristiwa tersebut akan terus membekas dan menggores batin selamanya.
Peristiwa Kanjuruhan bukan hanya telah membuat lesu “Aremania” dalam memberikan suport kepada Arema FC team kebanggaan “Arek Malang”, namun juga telah membuat ekosistem dan mata rantai ekonomi dari setiap pertandingan Arema di Stadion Kanjuruhan, bahkan Malang Raya secara umum. Para penjual kaos, stiker, syal, topi, boneka, makanan, kehilangan “revenue” atas muramnya peristiwa ini.
Tragedi Kanjuruhan yang akhirnya menambah daftar 10 tragedi sepak bola dengan jumlah korban jiwa terbanyak di dunia sejak tragedi Lima di Peru 1964 ini menjadi catatan sejarah yang tidak boleh terulang kembali. Peristiwa ini di samping memilukan bagi keluarga korban dan Aremania secara umum, juga membawa ancaman bagi Indonesia di kacamata FIFA sebagai organisasi dunia yang membawahi sepak bola.
Mulai ancaman dibekukannya pertandingan di Indonesia selama 8 tahun, dicabutnya keanggotaan Indonesia di FIFA dicabut, pembatalan piala dunia U-20 di Indonesia dibatalkan, larangan Timnas Indonesia untuk bertanding di Piala Asia 2023 dan piala Asia U-20.
Duka sepak bola Kanjuruhan yang bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober ini membawa pesan tersendiri bagi kita semua, bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang mengikat seluruh kepentingan dan kehidupan masyarakat Indonesia diuji dengan tragedi yang menjadi sorotan mata seluruh dunia ini.
Korban jiwa yang begitu banyak, tata kelola penyelenggaraan pertandingan dan pengamanan selama pertandingan yang dilakukan oleh aparat menjadi bagian yang akan terus menjadi sorotan bagi masyarakat dan dunia. Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan tiga sila yang terkait erat dengan peristiwa memilukan ini.
Negara sebagai representasi implementasi Kesaktian Pancasila hendaknya benar-benar memberikan arahan dan teladan yang jelas serta transparan terkait peristiwa ini. Tentu tidak ada satu pun Aremania yang hadir di tribun stadion Kanjuruhan saat memberikan dukungannya kepada team kebanggaanya ini berharap musibah dan celaka yang terjadi.
Namun “nasi sudah menjadi bubur”, ratusan korban jiwa telah melayang, ratusan korban luka-luka telah berjatuhan, terlepas dari siapapun yang memicu terjadinya kerusuhan, nilai-nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab” saat ini benar-benar harus ditunjukkan oleh negara dan semua pihak yang terkait.
Keadilan atas peristiwa kemanusiaan yang menjadi perhatian seluruh jagad ini sekaligus ujian bagi kita semua sebagai bangsa dan negara. Atas peristiwa ini “persatuan kita sebagai anak bangsa juga dipertaruhkan.” Kita tahu bersama bahwa sepak bola yang selama ini menjadi olahraga primadona bagi banyak masyarakat di belahan Indonesia ini telah memicu munculnya kelompok-kelompok supporter fanatik dari masing-masing team sepak bola.
Di atas fanatisme kelompok dan daerah inilah rasa persatuan kita diuji. Ikatan kita sebagai sesama anak bangsa Indonesia dipertaruhkan. Pancasila sebagai dasar negara yang menyatukan kita juga selayaknya menjadi bahasa pemersatu antar seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, aparat penegak hukum, Aremania, manajemen Arema, NGO, media dan siapa saja yang berkepentingan atas peristiwa tragis ini.
Peristiwa Kanjuruhan yang terjadi bertepatan dengan diperingatinya hari kesaktian Pancasila ini sekaligus menguji “seberapa sakti” Pancasila sebagai falsafah dasar negara yang membingkai seluruh elemen bangsa baik pemerintah, masyarakat atupun swasta.
Ujian Pancasila sakti ini akan menentukan arah dan kestabilan bangsa. Penyelesaian peristiwa kemanusiaan yang memilukan dan menelan banyak korban ini sekaligus akan menjadi penanda apakah Pancasila yang kita sepakati sebagai dasar bernegara masih “sakti” atau justru sebaliknya.
1 tahun tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober hari kesaktian Pancasila adalah peristiwa yang tidak kebetulan terjadi. Bisa jadi ini merupakan isyarat dari Tuhan yang Maha Kuasa, bahwa kita semua sebagai umat manusia, seluruh elemen bangsa sedang diuji atas falsafah dasar yang kita sepakati.(*)