KIAI Saad Ibrahim, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada suatu hari di bulan Ramadhan 1436 H bertepatan dengan tahun 2015, mengejutkan saya dengan sebuah pernyataan. Dalam sebuah sesi Kajian Ramadhan di Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, Kiai Saad menyatakan kurang lebih demikian.
“Saya kecewa melihat Saudara Pradana Boy pulang. Seharusnya jangan pulang, dengan bekal yang Anda miliki, mengajarlah di berbagai kampus di luar negeri. Berikanlah penjelasan yang memadai tentang Islam kepada khalayak internasional, agar Islam tidak disalahpahami.” Saat itu, saya baru saya merampungkan studi S-3 di National University of Singapore (NUS).
Kalimat Kiai Saad mungkin tidak persis seperti itu. Namun, secara garis besar, kira-kira begitulah isi pesannya. Tak lama setelah itu, pada tahun 2018, saya terlibat dalam sebuah konsorsium penelitian dengan berbagai universitas di Eropa dan Asia. Hanya tiga negara Asia yang terlibat, yaitu Indonesia, India dan Malaysia. Sementara lebih dari lima belas mitra penelitian berasal dari Eropa.
Pada sebuah sesi pertemuan di Florence, Italia, seorang peneliti dari Bulgaria bertanya banyak hal tentang Islam kepada saya. Semua pertanyaan itu bersumber dari satu hal, yaitu ketidakpahaman tentang Islam yang disebabkan oleh penggambaran yang kurang akurat tentang Islam, baik karena pembelajaran yang tidak objektif maupun karena prejudice (su’udhan).
Pertanyaan-pertanyaan itu saya tanggapi dengan santai di sela-sela makan malam dan melalui pendekatan akademik yang sebanding dengan level intelektual peneliti itu. Di tengah percakapan itu, peneliti lain yang berasal dari Albania, ikut bergabung. Ia bertanya banyak hal tentang posisi perempuan dalam Islam, bagaimana hakikat al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, apa sesungguhnya doktrin jihad, dan aneka pertanyaan lain.
Diskusi ini berakhir dengan ekspresi wajah lega dari kedua peneliti itu. Salah satu dari keduanya, lalu menyimpulkan: “Islam is so much misunderstood in our society.” Ketika mengatakan our society, dia merujuk kepada masyarakat Eropa.
Usai pertemuan itu, saya teringat dan merenungkan perkataan Kiai Saad di atas. Barangkali inilah maksudnya. Dari peristiwa inilah, saya memahami bahwa saat menyampaikan pesan kepada saya itu, Kiai Saad sedang menampilkan visi globalnya tentang Muhammadiyah, dan Islam. Kini, publik Muhammadiyah sedang diramaikan oleh rencana Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur untuk membeli sebuah bangunan gereja di Spanyol yang dijual oleh pemiliknya. Seketika saya kembali teringat pesan di atas.
Sebagian orang menilai rencana itu strategis. Karena belakangan ini, Muhammadiyah sangat getol dalam menjalankan program internasionalisasi. Membeli bangunan bekas gereja di Spanyol, tentu akan menjadi milestone bagi internasionalisasi Muhammadiyah yang lebih nyata dan substantif. Sementara sebagian yang lain menilai rencana pembelian itu terlalu tergesa-gesa.
Dalam rencana pembelian itu saya melihat ada tiga hal, yaitu: a) substansialisasi internasionalisasi Muhammadiyah, b) visi global tentang dakwah Islam, dan c) revitalisasi kejayaan Islam. Ketiganya jalin-menjalin, erat berkelindan, dan tak bisa dipisahkan, meskipun bisa ditempuh secara gradual.
Saya menyebut ada aspek substansialisasi internasionalisasi Muhammadiyah, karena internasionalisasi Muhammadiyah pada hari ini baru sampai pada tahap organizational existence. Keberadaan PCIM di berbagai negara adalah tonggaknya.
Namun kita menyadari, PCIM itu didirikan oleh mahasiswa Muhammadiyah yang sedang belajar di luar negeri. Maka kesinambungan menjadi hal yang perlu dipikirkan. Karena masa menjadi mahasiswa ada batasnya. Di samping itu, bisa jadi jangkauan dari internasionalisasi pada tahap ini masih bersifat “dari kita dan untuk orang kita.”
Greg Fealy, pembimbing saya sewaktu belajar di Australia dulu, menyebut dalam sebuah bukunya bahwa benih Islam apapun yang berasal dari dunia Arab dan sekitarnya, akan dengan mudah tumbuh di tanah Indonesia. Tetapi pertanyaan serupa perlu diajukan: Bagaimana dengan ide-ide Islam yang berasal dari Indonesia, apakah bisa tumbuh dengan mudah di belahan dunia lain? Jawabannya, “tidak.” Pada aspek inilah internasionalisasi perlu ditingkatkan pada aspek strategi.
Karena itulah, saya menangkap adanya visi dan strategi global dalam rencana itu. Visi itu dengan jelas bisa kita tangkap dalam pemikiran Kiai Saad tadi. Menyiapkan sarana untuk mencapai visi global itu dengan cara membeli gereja adalah sesuatu yang masuk akal. Tetapi, sarana akan berhenti sebagai sarana, manakala tidak ada yang menjalankannya. Dalam hal inilah, penyiapan aktor-aktor dakwah global itu menjadi penting. Namun, ini kerja besar, karena yang menjadi “wilayah dakwah” adalah Eropa, sebuah kawasan yang memiliki great history–nya sendiri. Sehingga tidak akan mudah “bermain” pada wilayah seperti ini, terlebih hal ini menyangkut identitas dan ideologi.
Kita semua mafhum, Spanyol adalah battle field bagi Islam dan Kristen. Ratusan tahun Islam menguasai Spanyol dan menorehkan sejarah gemilang, tentu tak mudah menghapus jejak kehadiran Islam di wilayah itu. Itu sama tidak mudahnya dengan menghilangkan visi atau romansa kejayaan kembali Islam di Eropa di benak sebagian umat Islam.
Atas kejayaan Islam di Andalusia, penguasa Kristen tak rela, sehingga muncullah usaha merebut kembali Spanyol, yang dikenal dengan reconquista. Usaha panjang itu pada akhirnya berhasil di tangan Ratu Isabella dari Kastila dan Raja Ferdinand dari Aragon pada abad ke-15 yang menandai lenyapnya Islam dari tanah Andalusia.
Saya meyakini, rencana pembelian bangunan bekas geraja itu pastilah hanya sebuah permulaan. Karena jika pada akhirnya pembelian itu terwujud, maka hal itu meniscayakan perumusan strategi-strategi lanjutan yang lebih rumit, agar misi yang hendak dicapai bisa terwujud.
Maka, seperti umat Islam yang butuh waktu ratusan tahun untuk membangun peradaban di Andalusia, dan umat Kristiani yang berabad-abad lamanya mengusahakan perebutan kembali Spanyol dari umat Islam; jika pembelian ini dimaknai sebagai awal bagi revitalisasi kejayaan Islam di Barat, maka selama itulah waktu yang diperlukan. Namun, waktu yang lama pastilah memerlukan permulaan. Inilah permulaan itu.
Dalam kaitannya dengan Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang bertemakan Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta,itu bermakna bahwa visi global dan pemecahan masalah lokal haruslah seimbang. Maka sekali lagi, di dalam rencana pembelian bangunan bekas gereja itu terdapat dengan tujuan dan landasan.
Sebelum “Mencerahkan Semesta”, “Memajukan Indonesia” adalah sebuah keniscayaan yang harus diusahakan lebih dulu. Aspirasi tentang kelokalan ini mestilah juga ditimbang dan difahami, oleh karena pada zaman seperti sekarang ini, perbedaan yang “lokal” dan “global” semakin tipis. Hal yang lokal bisa menjadi global, sementara sebaliknya, hal yang global itu sesungguhnya tidak pernah melepaskan tumpuannya dari yang lokal.
Apa yang menarik adalah, ikon-ikon peradaban Islam Andalusia, seperti Ibnu Khaldun, Ibn Rusyd, Ibn Zuhri, Ibn Firnas, meskipun meraih reputasi global, sesungguhnya mereka adalah locally born, atau tumbuh, berkembang dan besar secara lokal.
Inilah sisi pemadu yang mesti diusahakan, berpikir tentang sesuatu yang global, tetapi menjadikan kekuatan lokal sebagai basis penunjang visi global itu. Dengan begitu, ikhtiar merebut kembali Spanyol dari Ratu Isabella, bukanlah romantika.(*)