.
Sunday, December 15, 2024

Kota Malang Tua Rumah The Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2023

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media- Kota Malang menjadi tuan rumah untuk event sastra dan kebudayaan yang bergengsi, The Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2023, berlangsung dari 23 hingga 25 November. Festival ini, yang memasuki tahun ke-12, mengundang masyarakat umum untuk menghadiri serangkaian acara yang kaya dan beragam tanpa biaya pendaftaran atau tiket masuk.

Kegiatan pada 24 November mencakup simposium tentang “Ganeśa di Jawa dan Bali”, workshop tari oleh Helly Minarti, Ph.D, serta dialog sastra dan ceramah umum tentang topik-topik seperti teknologi dan budaya. Pertunjukan malam tari oleh I Ketut Rina dan bincang-bincang kopi malam dengan Nia Dinata akan menjadi penutup hari yang penuh inspirasi.

Nia Dinata dikenal sebagai sutradara sekaligus produser film Indonesia. Kiprahnya dikancah perfilman tanah air dimulai sejak era 2000-an. Film-film yang telah dirilisnya mulai dari Ca-bau-kan, Biola Tak Berdawai, JanjI Joni, Arisan 1 & 2, Berbagi Suami, Ini Kisah Tiga Dara, Perempuan Punya Cerita dan lainnya.  Keunikan dari karya-karya film Nia Dinata adalah menonjolkan karakter wanita. Bagaimana mereka dihadapkan dengan situasi yang membuatnya terpojok hanya karena terlahir sebagai wanita. Isu-isu yang diangkatnya pun cukup berani seperti poligami, perkawinan paksa, perselingkuhan dan lainnya.

“Ini adalah representasi yang tanpa aku sadari ternyata karakter wanita yang menonjol dari film aku,”  kata Nia Dianta, dalam sesi Bincang Kopi Malam lanjutan kegiatan BWCF 2023.

Lebih lanjut dia memaparkan, melalui film-filmnya, dia ingin merangkul dan bukan memojokkan kaum pria, sehingga mereka bisa tetap nyaman saat menontonnya. Menurutnya, patriarki sudah terlalu lama menguasai dunia ini, inilah saatnya untuk menciptakan kesetaraan gender.

“Saya enggak bilang wanita is better, kita ini sama dan setara punya hati, punya hasrat, mimpi, kesedihan dan trauma,” ujarnya.

Tak hanya dalam filmnya, Nia Dinata selalu berusaha untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman untuk wanita. Orang-orang yang bekerja dengannya pun memiliki pandangan yang sama mengenai isu-isu terkait kesetaraan gender.

“Kita punya kaleng denda atau bully jar, siapa pun yang melakukan cat calling harus membayar  50 ribu,” katanya.

Dia berpikir, mungkin memang ada orang-orang yang belum tahu bagaimana caranya berperilaku dan menghargai sesamanya. Oleh karena itu dia selalu berusaha untuk membuat perubahan sekecil mungkin, di mulai dari diri sendiri dan lingkungan kerjanya. Adapun secara genre, karya film yang digarap oleh Nia Dinata tak jauh-jauh dari percintaan dan drama. Namun, topik yang dihadirkan sangat beragam. Sebut saja film Arisan 1 & Arisan 2 seta Berbagi Suami yang mengangkat isu-isu tabu bagi masyarakat Indonesia, seperti poligami dan LGBT.

“Proses produksinya justru tidak ada tantangan karena aku nulis skrip sendiri dan diskusi dengan tim yang sudah kenal lama,” ujar Nia.

Namun, setelah filmnya selesai dan masuk ke lembaga sensor, itulah yang membuatnya waswas. Bukan sekali dua kali karyanya dinyatakan belum lulus sensor. Biasanya ada pemberitahuan bagian mana yang harus dipotong supaya layak untuk tayang.

“Akhirnya aku dipanggil dan harus presentasi untuk menjelaskan makna dari adegan-adegan yang menurut mereka belum lulus sensor,” katanya. 

Terkadang film-filmnya yang sudah selesai digarap butuh waktu yang lama sekali untuk bisa tayang di bioskop karena melewati proses sensor yang ketat. Untuk film berjudul Ini Kisah Tiga Dara, membutuhkan waktu 4 minggu sampai akhirnya film tersebut dinyatakan lulus sensor.

“Ketika aku menyensor filmku yang ini lolosnya lama sekali, karena kita bingung bagaimana mau motongnya,” kata Nia.

Dia berujar, menurut lembaga sensor, filmnya berjudul Arisan yang rilis pada 2003 lalu saat ini mungkin tidak bisa lulus sensor sama sekali. Nia Dinata mempertanyakan lebih lanjut terkait keberagaman di industri perfilman Indonesia. Apakah variasi hanya boleh dari genrenya saja, sementara topik-topiknya dan karakternya tetap sama.

“Biasanya dalam film karakternya kebanyakan orang jawa saja, kita belum ada representasi chinese Indonesia, Papua dan lainnya,” jelasnya.

Sebagai upaya untuk mewujudkan industri film Indonesia yang makin variatif, hal yang bisa dia lakukan adalah terus keliling nusantara untuk mencari tahu dan mengenal lebih dekat orang-orang Indonesia dan budaya mereka.(jon/adv)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img