Apa persamaan antara guru dan perempuan? Tidak semua guru adalah perempuan, juga tidak semua perempuan berprofesi sebagai guru. Meski keduanya jelas berbeda dan tidak sepadan untuk diperbandingkan, keduanya sejatinya memiliki kesamaan. Persamaan keduanya adalah sama-sama masih cenderung menjadi objek ketidakadilan, penindasan, dan hak-haknya yang terabaikan.
Peringatan Hari Guru Nasional dan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati setiap tanggal 25 November lalu menjadi momentum untuk merenungkan peran dan sekaligus memperjuangkan hak-hak kedua kelompok ini. Sebab, harus diakui, keduanya, guru dan perempuan, adalah garda terdepan dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak-anak generasi penerus bangsa.
“Al ummu madrasatul ula,” perempuan (ibu) adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. “Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.” Demikian bunyi istilah Bahasa Arab yang cukup populer untuk menggambarkan peran penting perempuan.
Perempuan adalah “sekolah” sekaligus guru pertama bagi setiap anak. Dan, guru di sekolah adalah orang tua anak di sekolah. Peran keduanya menentukan masa depan peradaban sebuah bangsa. Sayangnya, guru dan perempuan masih sering kali terabaikan hak-haknya dan mendapatkan perlindungan yang minim.
Jamak kita saksikan, guru sebagai pilar utama pendidikan di sekolah sering kali masih harus berjuang dengan kondisi yang tidak memadai. Gaji yang tidak sebanding dengan besar tanggung jawabnya, serta minimnya dukungan psikososial menjadi tantangan yang tak terelakkan.
Sebagai akibatnya, guru kerap merasakan ketidakadilan dalam mendapatkan hak-hak dasar mereka. Saban hari kita mendengar keluh kesah guru yang mengajar puluhan tahun tetapi tak kunjung mendapatkan kepastian pengangkatan sebagai aparatur sipil negara. Atau, dengan gaji yang sangat minim dituntut untuk memberikan pelayanan dan pengajaran yang maksimal.
Belum lagi, hampir setiap hari kita menyaksikan berita tentang guru yang harus berhadapan dengan hukum gara-gara melakukan perlakuan kekerasan terhadap siswanya, yang padahal itu dilakukan sebagai bagian dari mendidik.
Atau guru yang kemudian menjadi korban kekerasan oleh siswa sendiri, hanya karena siswa tidak terima mendapat teguran dari guru. Pada akhirnya, dalam mendidik siswa, guru dihadapkan pada posisi dilematis dan serba salah yang berakibat pada kualitas pengajaran dan masa depan karir mereka.
Hal yang senada dialami perempuan, meskipun kita hidup di era di mana tuntutan kesetaraan gender selalu digaungkan, faktanya dalam banyak hal perempuan masih terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan masih menjadi korban utama kekerasan dalam berbagai bentuknya. Data kekerasan terhadap perempuan, termasuk pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, tetap menunjukkan angka tertinggi.
Sayangnya, dalam banyak kasus, kekerasan ini tidak dilaporkan karena perempuan takut untuk berbicara (speak up) atau tidak memiliki akses ke perlindungan hukum yang memadai. Jikalau pun perempuan speak up, dalam banyak contoh, yang terjadi justru perempuan semakin dipojokkan.
Dalam kasus pelecehan seksual misalnya, perempuan seringkali masih diposisikan sebagai penyebab atas terjadinya pelecehan atas dirinya. Hal itu diperparah oleh narasi-narasi di media yang menempatkan pemberitaan tidak adil gender.
Jika kasus pelecehan seksual dibawa ke ranah hukum, logika hukum meminta bukti dan saksi. Padahal pelecehan seksual sering terjadi di ruang privat dalam relasi personal yang tidak tampak oleh publik, sehingga tidak ada saksi selain pelaku dan korban. Demikian pula, pelecehan seksual tidak selalu bisa dibuktikan karena bersifat perlakuan tidak senonoh yang tidak meninggalkan bekas fisik, selain dampak beban psikologis.
Lebih jauh, dalam relasi sosio-kultural masyarakat, perempuan masih diletakkan pada posisi subordinat di atas dominasi laki-laki. Akibatnya, suara perempuan akan selalu tenggelam oleh kultur patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai the first. Dalam relasi pekerjaan, perempuan juga acapkali diletakkan bukan sebagai prioritas sehingga hak-hak mereka cenderung dinomorduakan, untuk tidak mengatakan terpinggirkan atau dilupakan.
Oleh karena itu, guru dan perempuan setidaknya memiliki atau merasakan hal yang sama: hak-haknya masih terabaikan dan suaranya seringkali tak terdengar. Melalui momentum Hari Guru Nasional dan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, penting bagi kita, semua pihak, untuk terus menyuarakan hak-hak guru dan perempuan.
Pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan investasi di sektor pendidikan, termasuk peningkatan gaji guru dan peningkatan fasilitas pendidikan. Guru yang terhormat dan dihargai akan lebih termotivasi untuk memberikan pengajaran berkualitas.
Pengajaran berkualitas akan menentukan mutu pendidikan. Mutu pendidikan menjamin kualitas anak didik yang pada muaranya menjadi generasi penerus kepemimpinan bangsa. Tidak ada bangsa yang besar dan maju, tanpa perhatian terhadap guru dan sektor pendidikan.
Sementara itu, kesetaraan gender perlu diwujudkan melalui kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak perempuan dan melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan. Penguatan aturan hukum dan implementasinya menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan di mana perempuan merasa aman, nyaman, bebas, dihargai dan dihormati.
Juga tidak kalah pentingnya, masyarakat memiliki peran besar dalam memberikan dukungan kepada guru dan perempuan. Penghargaan terhadap profesi guru dan pengakuan terhadap kontribusi perempuan dalam berbagai bidang dapat menjadi langkah awal menuju kesetaraan yang sebenarnya.
Guru dan perempuan harus dihargai dan diberikan penghargaan tertinggi sebagai pahlawan meski tanpa tanda jasa. Keduanya adalah penentu masa depan bangsa. Karena itu, dalam agenda suksesi kepemimpinan nasional mendatang, guru dan perempuan adalah kata kunci yang tidak boleh diabaikan oleh para kandidat.
Siapa yang pantas menjadi pemimpin adalah mereka yang meletakkan perhatian terhadap guru dan perempuan sebagai prioritas pertama dan utama.(*)