Oleh : drh. Puguh Wiji Pamungkas, MM
Hiruk pikuk jelang Pemilu 2024 semakin hari tidak bisa dipungkiri semakin hangat dan banyak di perbincangkan. Terlebih hadirnya tiga pasangan calon presiden dengan berbagai manuver politiknya, ditambah ribuan calon anggota legislatif baik di level pusat, provinsi atapun daerah, turut menyemarakan proses kampanye di hari-hari ini.
Prediksi dari banyak pengamat setidaknya tidak ingkar, bahwa ada domino efek yang dihasilkan dari perhelatan Pemilu 2024 ini, yakni terdokraknya kembali iklim ekonomi bangsa, pesta demokrasi bukan hanya sebagai simbol ritualisme suksesi lima tahunan, namun roda perekonomian juga turut tergerak dan menggeliat.
Namun ada hal yang cukup serius dan menjadi perbincangan publik, terkait dengan sehat dan tidaknya demokrasi di bangsa ini. 25 tahun perjalanan reformasi di bangsa ini pasca tragedi reformasi 1998, dikatakan belum seutuhnya menjawab atas harapan yang digantungkan pada saat peristiwa reformasi itu terjadi. Bahkan tidak bisa dipungkiri perhelatan pemilu seperti ini telah tanpa sengaja menimbulkan kelompok-kelompok fanatisme baru terhadap tokoh politik dan partai politik yang mereka dukung.
Kebencian kaum reformis terhadap “status quo” yang berbuah tumbangnya rezim orde baru atas kekuasaannya selama 32 tahun di Republik ini, ternyata hari ini seolah peristiwa itu terulang kembali. Upaya status quo untuk melanggengkan kekuasaannya dengan segala upaya terus dilakukan. Jika dulu salah satu narasi yang digunakan untuk menumbangkan rezim orde baru adalah tentang KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), faktanya hari ini KKN ini masih terjadi, dan semakin menyemarak dari level terendah di desa-desa hingga level negara.
Film “The Edge Of Democracy” adalah film dokumenter karya Petra Costa yang sempat menarik perhatian publik, karena film ini menceritakan sebuah fakta erosi demokrasi yang terjadi di Brazil. Jika dihubung-hubungkan film ini memang hampir mirip dengan isi dari sebuah buku karya ilmuwan politik dari Harvard University Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yang berjudul “How democracies die”.
Cerita Hugo Cavez di Veneuzela, Mursi di Mesir, termasuk perjalanan politik Donald Trump di AS menjadi bahan baku pembahasan dibuku ini. Demokrasi mati bukan lagi karena kudeta militer, namun demokrasi dilemahkan dan mati dengan regulasi yang di ”design” sedemikian rupa sehingga sesuatu yang dulunya dianggap tabu menjadi lumrah dan dianggap wajar menjadi norma baru dalam kehidupan bernegara, dalam keberlangsungan demokrasi.
Ancaman terhadap matinya demokrasi ini telah menimbulkan situasi “distrust” ditengah-tengah masyarakat, belum terwujudnya harapan besar masyarakat akan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan baginya, pada akhirnya menimbulkan “fanatisme-fanatisme” baru di tengah masyarakat.
Pemilu 2019 cukup menjadi bukti terhadap situasi ini, terbelahnya anak bangsa menjadi “kubu fanatis” yang saling berseteru terjadi, bahkan perseteruan itu terus berlanjut di dunia maya, bahkan jauh setelah proses pemilu berlangsung, saling hujat dan produksi “hoaks” untuk menjatuhkan kelompok yang lain terus terjadi.
Terlebih dalam era kemudahan teknologi seperti ini, para “kubu fanatis” terus memproduksi kebencian dan berita bohong baru demi menjatuhkan dan menggiring opini publik untuk tujuan kemenangan kandidat atau partai politik yang didukungnya.
Ada 191,4 juta orang di Indonesia yang menggunakan media sosial atau setara 68,9% dari total populasi Indonesia, dan menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi ada 800.000 situs berita yang terindikasi menyebarkan berita bohong.
Tidak terlepas pada proses pemilu kali ini, munculnya para kubu fanatisme terhadap kelompok mereka masing-masing tidak bisa terelakan. Pasca debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden beberapa waktu yang lalu, akhirnya diteruskan dengan saling debat, saling menjelekan dan menjatuhkan di media sosial. Tidak semua orang bisa secara dewasa menerima perbedaan. Bila para pendukung itu tidak menerima perbedaan secara bijaksana, maka perbedaan sikap politik tersebut bisa berpotensi konflik.
Dalam konteks pemilu, fanatisme seperti ini biasanya meletakkan kepercayaan yang berlebihan terhadap figur, kelompok, partai atau kepada sebuah kesepakatan yang seolah-olah menjadi sakral yang harus diikuti bagaimanapun situasinya.
Fanatisme buta bisa tumbuh subur di sebuah negara yang demokrasinya hampir mati. Fanatisme buta mengalahkan akal sehat. Peta politik saat ini masih kental dengan fanatisme figur dan sikap fanatik terhadap figur tertentu akan berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.
Ancaman terberat bagi bangsa Indonesia yang dibangun diatas keberagaman, perbedaan dan heterogenitas ini adalah perpecahan dan disintegritas bangsa. Pesta demokrasi yang hari sedang berjalan sekaligus menjadi pertaruhan akan kedewasaan kita dalam berbangsa dan bernegera. Kesadaran masyarakat yang tinggi dan kepercayaan serta reputasi yang dibangun oleh pemerintah dalam menjaga demokrasi dengan mewujudkan keadilan dan kemakmuran di tengah masyarakat, akan membantu menghilangkan fanatisme golongan.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt juga menegaskan bahwa kunci utama menangkal kematian demokrasi adalah dengan menjunjung tinggi toleransi dan adanya kesabaran dalam mengendalikan diri. Lembaga negara bukan hanya menjadi wadah formalitas, tetapi merupakan sarana mewujudkan visi demokrasi, yakni kesetaraan, kesatuan, rasa kebebasan, dan tujuan bersama, demi terwujudnya kemakmuran, kedaulatan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. (***)