spot_img
Sunday, December 22, 2024
spot_img

Politikus Esuk Tempe Sore Dhele

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Tak banyak politikus yang bisa dipegang ucapannya. Tak jarang di antara mereka bicaranya plin-plan. Dulu pernah ngomong apa, sekarang jadi berbeda. Banyak di antara mereka yang tak bisa dipercaya kata-katanya. Sikap tak konsisten itu dalam pepatah Jawa biasa disebut “esuk tempe sore dhele” (pagi tempe, sore kedelai) yang artinya selalu berubah-ubah. Jelang pemilu saat ini perilaku inkonsistensi itu bermunculan.

Seperti ramai diberitakan sejumlah media dan perbincangan di ruang maya, sejumlah politikus ketahuan menjadi orang yang “esuk tempe sore dhele.” Misalnya ada politikus yang dulu mengatakan bahwa ia harus netral dan tak boleh berkampanye politik, ternyata sekarang ia mengeluarkan fatwa membolehkan. Apa yang pernah disampaikan dulu bertolak belakang dengan sekarang. Lain dulu, lain sekarang.

Ada juga seorang ustadz pendukung salah satu pasangan capres-cawapres yang pernah ceramah dan mengharamkan money politic, namun sekarang tertangkap kamera dan viral di media sosial ia sedang membagi-bagikan uang pada sekelompok orang. Sang ustadz sepertinya amnesia atas apa yang pernah ia katakan dulu. Jejak digital di dunia maya dan unggahan para netizen yang menyandingkan video plin-plan sang ustadz menjadi bukti inkonsistensi.

Contoh lain sebenarnya sangat banyak peristiwa yang menunjukkan pernyataan sejumlah politikus yang tak konsisten. Jejak digital dunia maya banyak menyimpan pernyataan sejumlah politikus yang lain dulu lain sekarang. Sekarang dengan gampang orang bisa membongkar dokumen lama dan menyandingkannya dengan fakta-fakta baru. Tak ada yang bisa ditutupi di era keterbukaan informasi saat ini.

Demi Kekuasaan

Dalam pengertian yang paling sederhana, politik dapat diartikan sebagai segala cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan. Karena “segala cara,” maka bisa jadi di antara cara-cara itu adalah cara-cara bohong. Politik “esuk tempe sore dhele” adalah salah satu contoh politik kebohongan. Bagi sang politikus, seperti tak merasa bersalah ketika mereka tak konsisten dengan ucapan yang pernah disampaikannya sendiri.

Demi kekuasaan tak jarang sang politikus rela berbohong. Demi kekuasaan pula tak jarang cerita bisa dikarang, keburukan bisa ditutupi, atau peristiwa bisa direkayasa. Tak soal kalau harus menjilat ludah sendiri. Logika bisa saja dicari guna membenarkan ucapan lama yang digantinya dengan pernyataan baru. Ambisi demi kuasa itu telah membutakan mata banyak politikus tentang pentingnya menjaga konsistensi.

Dalam politik memang tak ada yang abadi. Tak hanya soal pernyataan, dalam pertemanan pun tak akan langgeng. Teman atau lawan dalam politik bisa sangat dinamis. Bisa jadi dulu teman yang tak terpisahkan namun sekarang justru jadi musuh bebuyutan. Bisa mungkin dulu lawan politik sekarang jadi teman koalisi. Kata “teman” dan “lawan” dalam politik bisa sangat tergantung pada kata “demi kekuasaan.”

Kalau politik dimaknai lebih ke soal “demi kekuasaan,” maka yang terjadi adalah saat kekuasaan itu telah didapat biasanya rakyat terus dilupakan. Saat kampanye rakyat dibujuk dan dirayu demi mendapat dukungan dan perolehan suara. Rakyat dilihat tak lebih sebagai pendulang suara yang mengantarkan pada kemenangan. Selanjutnya, dengan kekuasaan yang dimilikinya, tak jarang rakyat justru jadi korban permainan politik sang penguasa.

Politikus dan Pesulap

Seorang novelis asal Nigeria, Ben Okri pernah mengatakan bahwa antara seorang politikus dan pesulap itu punya banyak kemiripan. Mereka sama-sama punya keahlian dapat mengalihkan perhatian orang-orang dari yang mereka kerjakan sebenarnya. Ungkapan Ben Okri ini sepertinya tepat dengan konteks masa kampanye politik saat ini dimana banyak politikus yang sedang berusaha mengalihkan perhatian publik dari sesuatu yang penting dengan permainan gimik.

Jika seorang pesulap dituntut piawai memainkan trik agar upaya mengelabui penonton dapat berlangsung mulus tanpa cacat. Demikian halnya dengan sejumlah politikus yang siapkan strategi dengan rapi agar segala sisi buruk mereka tertutupi. Para politikus yang tahu cacat dan kekurangan dirinya berusaha menutupinya lewat aneka permainan gimik receh yang tak substantif.

Seorang pesulap tujuan penampilannya adalah sepenuhnya untuk menghibur. Tak soal dalam mencapai tujuan itu sang pesulap harus tipu-tipu. Tak masalah jika seorang pesulap harus gunakan aneka trik manipulatif. Yang penting para pesulap itu mampu membuat penonton senang. Penonton pun juga tak menyoal walau mereka sebenarnya juga sadar bahwa mereka itu sedang ditipu oleh sang pesulap.

Sementara seorang pesulap memang sah-sah saja menipu penontonnya. Namun jika sang politikus melakukan hal yang sama maka rakyat pasti akan marah. Tak semua rakyat bisa dibujuk rayu dengan muslihat dan tipu daya. Kalau kualitas sang politikus hanya piawai tipu-tipu dan tonjolkan gimik maka rakyat akan menjauhinya. Tak semua rakyat itu bodoh dan bisa gampang dikelabui.

Politikus yang terbiasa dengan sikap plin-plan tentu tak punya komitmen yang kuat dengan janji-janjinya yang pernah disampaikan saat kampanye. Sang politikus “esuk tempe sore dhele” tak bisa dipegang lidahnya. Mereka pasti punya beribu alasan untuk pembenaran saat mereka terbukti inkonsisten. Politikus yang inkonsisten sejatinya perusak demokrasi.(*)               

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img