Para akademisi yang terdiri dari para guru besar dan dosen di perguruan tinggi mulai bersuara menyikapi perkembangan politik dan demokrasi menjelang pemilihan presiden 2024. Mereka menyatakan sikap keprihatinannya dengan membuat deklarasi, petisi, dan manifesto yang ditujukan terhadap presiden Jokowi dan pemerintahannya. Mereka prihatin bahwa dalam kontestasi politik di pilpres kali ini banyak terjadi pelanggaran dan pengabaian nilai-nilai moral, etika, bahkan hukum.
Pelanggaran etika berat oleh ketua Mahkamah Konstitusi, cawe-cawe presiden, ketidaknetralan aparat penegak hukum, kontroversi ucapan presiden boleh kampanye, dan maraknya bagi-bagi bansos oleh Jokowi menjelang pemilihan presiden merupakan peristiwa dan isu-isu yang menjadi sorotan dan keprihatinan para akademisi perguruan tinggi.
Gerakan para akademisi ini dimulai dari kampus UGM yang dilakukan oleh para guru besar dan akademisi lainnya. Kemudian berlanjut di kampus UII Yogyakarta yang dipimpin oleh Rektornya sendiri pada hari Kamis tanggal 1 Februari 2024. Gerakan ini menginspirasi terhadap kampus-kampus lainnya untuk menyuarakan hal yang sama, sehingga sehari setelah itu, besoknya Jum’at tanggal 2 Februari 2024 muncul gerakan yang serupa di kampus UI, Unhas makasar, Unand, dan kampus lainnya.
Gerakan ini masih terus berlanjut dan akan diikuti oleh kampus-kampus lainnya di Indonesia. Gerakan ini bagaikan bola salju yang terus menggelinding dan membesar untuk menyuarakan nilai-nilai etika dalam menjaga marwah demokrasi.
Gerakan Moral untuk Demokrasi
Gerakan yang dilakukan di banyak kampus ini bisa dikatakan sebagai gerakan moral. Mereka para akademisi bersuara karena melihat ketidakadilan dan penyelewengan terhadap agenda reformasi yang sudah diperjuangkan selama ini. Mereka bersikap karena penguasa memaksakan kehendaknya untuk membangun dinasti politik.
Gara-gara ambisi membangun dinasti politik, penguasa menghalalkan segala cara. Merubah undang-undang, mengerahkan aparatur negara, menggunakan fasilitas negara, menjebak politisi pragmatis, dan mengancam pejabat yang terindikasi hukum agar jalan ambisi kekuasaan ini berjalan mulus. Ini semua dilakukan hanya untuk satu tujuan, yaitu melanggengkan kekuasaan.
Para akademisi ini memahami bahwa kekuasaan itu memabukkan, membuat orang tidak sadar diri dan terlena. Mereka akademisi juga mengerti bahwa power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (sifat kekuasaan selalu memiliki kecenderungan yang disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan).
Oleh karena itu, kekuasaan harus dibatasi oleh undang-undang agar tidak lagi terjadi penguasa tiran seperti Soeharto yang bisa berkuasa selama 32 tahun.
Jokowi memang tidak maju lagi untuk ketiga kalinya dalam pilpres 2024, namun dia berusaha mewariskan kekuasannya melalui anaknya Gibran sebagai cawapres Prabowo. Majunya Gibran sebagai cawapres ketika bapaknya masih menjabat presiden, mengindikasikan bahwa Jokowi sedang membangun dinasti politik. Ini merupakan strategi Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya. Setelah sebelumnya gagal bermanuver dengan wacana tiga periode dan penundaan pemilu.
Manuver-manuver politik demi kekuasaan inilah yang digugat dan dikritisi oleh para akademisi dari berbagai kampus. Mereka bersuara bukan untuk mendukung salah satu kontestan pilpres 2024. Mereka bersuara juga bukan digerakkan oleh kelompok tertentu apalagi mewakili partai politik dan ideologi tertentu.
Mereka bergerak dan bersuara karena hati hurani dan panggilan profesi sebagai pendidik yang peduli terhadap bangsa dan negaranya. Mereka bersuara untuk menjadi contoh dan teladan bagi mahasiswanya agar bertindak dan bersikap terhadap ketidakadilan dan penyimpangan kinstitusi.
Implikasi Elektoral terhadap Capres
Gerakan moral yang dilakukan oleh para akademisi dari berbagai perguruan tinggi ini tentunya mempunyai dampak elektoral terhadap masing-masing kandidat presiden. Seberapa besar dampak elektoralnya? Tentu tergantung seberapa besar dan sampai kapan gerakan ini berlangsung. Semakin besar dan lama gerakan moral ini berlangsung, semakin besar pula dampak elektoralnya.
Sebagaimana diketahui umum bahwa aksi akrobatik politik Jokowi dalam beberapa waktu terakhir ini merupakan bentuk dukungan terselubung terhadap pasangan Prabowo-Gibran. Oleh karena itu, jika ada gerakan moral para akademisi yang menggugat dan mengkritik presiden Jokowi, maka bisa berdampak terhadap turunnya elektoral pasangan 02. Begitu pula sebaliknya, pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud juga berpotensi mendapat dampak positif dari gerakan moral tersebut.
Kubu 02 menganggap bahwa Gerakan moral para akademisi di beberapa kampus ini merupakan upaya terselubung kubu lain untuk mendegradasi suara elektoral pasangan Prabowo-Gibran. Sedangkan kubu 01 dan 03 sendiri menyangkal asumsi tersebut di atas. Mereka kubu 01 dan kubu 03 beranggapan bahwa Gerakan moral para akademisi merupakan murni gerakan civil society yang prihatin terhadap perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia saat ini.
Gerakan moral para akademisi saat ini sudah menjadi wacana publik. Oleh karena itu, sebaiknya presiden Jokowi tidak mengabaikan wacana publik ini. Presiden perlu merespon secara konstruktif dengan cara menjaga netralitasnya dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan aparaturnya untuk memenangkan pasangan calon presiden tertentu.(*)