Sutradara Film Dirty Vote Buka-Bukaan di Malang
MALANG POSCO MEDIA-Berbagai pertanyaan muncul tentang Film Dokumenter “Dirty Vote”. Berbagai pertanyaan itu mulai dari mengapa tayang di masa tenang, isu tak netral dengan mengangkat simbol Empat Jari, dianggap berat sebelah lantaran mengupas hanya satu pasangan calon presiden-wakil presiden, hingga latar belakang tiga aktor dalam film itu.
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari kalangan mahasiswa Kota Malang. Semua pertanyaan itu pun dijawab langsung oleh sang sutradara film, Dandhy Laksono, Rabu (21/2/24) di Universitas Widya Gama Malang. Dandhy hadir dalam Diskusi Bersama Cast dan Sutradara Dirty Vote “Setelah Dirty Vote”.
Dandhy yang hadir ditemani salah satu aktor film, Feri Amsari, menjelaskan apa-apa saja isu yang melekat pada seluruh kru Dirty Vote usai film dokumenter ini meledak dan viral belum lama ini.
“Kenapa kami tayangkan saat masa tenang? Pertanyaannya kan seperti itu, jadi dianggap seperti film ‘black campaign’. Jawaban saya ya kenapa tidak? Masa tenang hanya berlaku bagi kontenstan pemilu, kami masyarakat kan tidak. Apa iya mau keluarkan buku tunggu masa tenang dulu. Ya kan ndak,” tegas Dandhy menjelaskan apa yang dipertanyakan publik selama ini.
Tidak itu saja isu bahwa seluruh kru yang terlibat dibiayai institusi atau kelompok asing pun gencar terdengar. Dengan tujuan politis untuk tidak memenangkan salah satu paslon. Dandhy mengatakan bahwa tidak ada satupun kru yang mendapat bayaran.
Seluruhnya bekerja dengan sukarela dan tanpa bayaran apapun. Atau murni bergerak, lanjut dia, atas dasar nurani sebagai respons dinamika yang terjadi di masa-masa Pemilu 2024 lalu.
“Film ini dibuat sebagai edukasi politik bagi publik. Kami menyajikan informasi dengan data dan fakta-fakta hukum yang ada. Bahwa ada kecurangan sistematis yang dijalankan elite politik untuk melanggengkan kekuasannya,” beber Dandhy.
Sementara itu jawaban lebih tegas disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari, yang juga aktor dalam Film Dokumenter Dirty Vote. Feri mengatakan ada tujuan tersendiri mengapa ia mau terlibat dalam pembuatan film dokumenter tersebut.
Ditegaskannya yang ingin ia dan seluruh kru terlibat dalam Dirty Vote sampaikan kepada publik hanya dua poin.
Pertama adanya kecurangan pemilu. Kedua publik wajib tahu siapa yang diduga pelaku kecurangan tersebut, yang tidak lain pelaku utamanya diduga Presiden RI sendiri.
Feri menegaskan apa yang disampaikan baik oleh dirinya dan dua kawan Pakar Tata Hukum Negara lainnya yakni Zainal Arifin Muhtar dan Bivitri Susantri dalam dokumenter tersebut adalah fakta-fakta hukum.
Dan, lanjut dia, hingga saat ini pun tidak ada satu pihak pun yang dapat membantah substansi dari isi film dokumenter Dirty Vote. Malah hal-hal personal atau tidak substansiallah yang muncul. Seperti latar belakang para kru film dan aktor, hingga isu fitnah.
“Jika memang ada yang secara substansial dalam film Dirty Vote bisa dibantah monggo datanya dan buktikan kami salah. Silakan. Tapi sampai detik ini tidak pernah ada. Yang kami bahas adalah fakta-fakta hukum, fakta persidangan. Seperti Ketua MK (Mahkamah Konsititusi) adalah Paman Gibran, kemudian Almas adalah Fans berat Gibran dan sebagainya,” jelas Feri.
Maka dari itulah dirinya dan dua kawan pakar tata hukum lainnya tidak gentar hingga saat ini. Meskipun diakuinya ada tindakan dan sikap-sikap intimidasi yang diterimanya usai Dirty Vote menjadi viral dan dibicarakan dimana-mana.
“Power Tends To Corrupt” atau Kekuasaan Akan Cenderung Korup. Hal ini menjadi bayangan sistem politik dan pemerintahan Indonesia kedepan. Ini yang diupayakan dirinya bersama kru Dirty Vote cegah.
“Dan kami tahu, setelah Dirty Vote keluar dilihat jutaan orang itu juga tidak mempengaruhi pandangan publik. Karena memang tujuan kami bukan untuk mengubah pilihan publik. Tapi ini adalah edukasi, bahwa kecurangan itu ada. Power tends to corrupt, makanya ada batasan dua periode, tapi tiba-tiba anak dilantik mengganti seorang raja,” tegas Feri.
Dandhy dan Feri pun sama-sama menegaskan bahwa mereka tidak akan berhenti menyuarakan apa yang diyakini. Bahwa sistem pemerintahan Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Untuk itu pula dalam diskusi kemarin, kaum intelek dan mahasiswa-mahasiswi Kota Malang diajak untuk semakin kritis dan bergerak. (ica/van)