.
Sunday, December 15, 2024

Lebaran Bukan Ajang Flexing

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Idul Fitri merupakan hari raya umat Islam yang penuh dengan kegembiraan setelah berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadan. Idul Fitri yang kita kenal juga sebagai hari lebaran identik dengan tradisi mudik dan momentum silaturahmi bagi sanak famili, terutama bagi mereka para perantau. Sayangnya, silaturahmi di hari lebaran acapkali menjadi ajang memamerkan (flexing) dan membanggakan pencapaian yang diraih atau harta benda yang dimiliki. 

Fenomena flexing atau pamer kekayaan dan pencapaian ini tidak hanya mengubah cara kita merayakan Idul Fitri, tetapi juga merusak esensi dari silaturahmi yang seharusnya menjadi inti dari Idul Fitri. Akibatnya, ajang silaturahmi ini menjadi nirempati karena kehilangan makna substansial. Silaturahmi bertransformasi menjadi arena persaingan sosial dan material semata, dari perayaan yang seharusnya bersifat spiritual.

Flexing dalam konteks lebaran bisa berupa berbagai hal, baik disadari maupun tidak. Mulai dari pamer pakaian baru yang mahal, perhiasan mewah, hingga kendaraan terbaru. Termasuk pula pencapaian diri dan keluarga, seperti pamer kenaikan jabatan, kesuksesan bisnis, atau keberhasilan karier.

Harus diakui pula, sebagian masyarakat kita masih beranggapan bahwa momen lebaran adalah kesempatan untuk menunjukkan keberhasilan finansial atau status sosial yang telah diraih, terutama bagi mereka yang menggapai sukses di tanah rantau.

Fenomena ini diperparah dengan kehadiran media sosial melalui berbagai platform, di mana orang tidak hanya flexing secara fisik, tapi juga secara virtual dengan membagikannya kepada khalayak yang lebih luas pada akun-akun media sosial yang dimiliki.

Media sosial memainkan peran signifikan dalam mengakselerasi fenomena flexing. Platform seperti Instagram, Facebook, X (Twitter), dan TikTok menjadi etalase digital yang memudahkan setiap orang untuk memamerkan status ekonomi dan status sosial mereka di momen lebaran.

Secara psikologis, keinginan untuk berbagi kebahagiaan dan pencapaian dengan orang lain adalah hal yang manusiawi. Bahkan hal itu merupakan sebuah kebutuhan manusia, berkaitan dengan kebutuhan akan eksistensi diri. Sikap ini menunjukkan bahwa orang tersebut punya kebutuhan untuk diakui, dihormati, dan diperhatikan orang lain.

Namun, sering kali keinginan ini berubah menjadi kompetisi dan adu cerita tentang siapa yang paling sukses atau paling mapan secara finansial. Akibatnya esensi hari lebaran sebagai momen untuk merenung dan berbagi empati dengan sesama menjadi terlupakan.

Lebih dari itu, di balik kilau flexing terdapat konsekuensi sosial yang mendalam. Fenomena ini sering kali menciptakan tekanan sosial bagi mereka yang mungkin tidak memiliki kecukupan finansial untuk bersaing dalam pamer kekayaan.

Situasi ini dapat memicu perasaan inferioritas, tumbuhnya kecemburuan sosial, dan bahkan dapat mendorong perilaku finansial yang tidak sehat, seperti berutang atau pengeluaran berlebih. Bagi mereka yang mungkin tidak memiliki kapasitas finansial atau kisah kesuksesan karier untuk berpartisipasi dalam “perlombaan” ini, pada akhirnya dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, iri, dengki, atau perasaan terasingkan.

Di sinilah silaturahmi yang seharusnya menjadi pusat dari perayaan kebahagiaan Idul Fitri menjadi transaksional dan nirempati. Padahal, sebagaimana dipahami bersama, silaturahmi sejati tidak mengenal strata sosial dan status ekonomi. Silaturahmi sebagai esensi Idul Fitri adalah tentang merajut kembali hubungan sosial, memaafkan kesalahan masa lalu, dan berbagi kebahagiaan juga kesulitan.

Fenomena flexing ini adalah cerminan dari kompleksitas interaksi sosial dan ekonomi modern yang membutuhkan pendekatan holistik untuk memahami dan mengatasinya. Dengan kembali pada esensi lebaran, masyarakat dapat merayakan hari raya dengan lebih otentik dan bermakna. Sebab lebaran bukan ajang flexing, maka perlu kesadaran kolektif untuk kembali menyadari makna esensial Hari Raya Idul Fitri.

Dalam Islam, fenomena flexing ini merupakan salah satu bentuk riya’ yang tidak sesuai dengan akhlak dalam ajaran Islam. Riya’ adalah perbuatan memperlihatkan sesuatu dengan maksud dan tujuan agar dilihat orang lain dan mendapat pujian. Padahal kekayaan atau kesenangan yang kita miliki dan alami saat ini hanyalah anugerah dari Tuhan. Kita dituntut untuk menempatkan harta dan posisi yang kita miliki sebagai sarana beribadah.

Masyarakat harus menyadari bahwa momen lebaran bukan tentang siapa yang paling banyak memiliki apa atau menguasai apa, tetapi tentang seberapa besar kita dapat berbagi dan bersyukur atas pencapaian yang telah diraih. Diperlukan usaha bersama untuk membangun kembali norma sosial di masyarakat, bahwa silaturahmi adalah sesuatu yang inklusif, bukan eksklusif, yang tidak hanya fokus pada materi, tetapi lebih dari itu sarat dengan pada nilai-nilai spiritual, emosional, dan empati.

Untuk mengatasinya, kita semua punya tanggung jawab untuk kembali kepada nilai-nilai sesungguhnya dari hari lebaran. Diperlukan edukasi keluarga dan sosialisasi masyarakat tentang pentingnya kesederhanaan, kepuasan diri, dan nilai spiritual. Juga dibutuhkan adanya literasi finansial dan digital untuk mengelola pengaruh media sosial dan tekanan sosial yang ditimbulkannya.

Pada akhirnya, perayaan Idul Fitri seharusnya menjadi kesempatan untuk melakukan refleksi diri, bukan semata refleksi sosial. Kesempatan untuk menata ulang hubungan kekeluargaan, membangun empati dan kepekaan sosial, dan berkontribusi pada kesejahteraan bersama. Sebab Idul Fitri mengajarkan tentang kesederhanaan, kebersamaan, dan kesalehan sosial sebagai buah dari kesabaran berpuasa di bulan Ramadan.

Jangan sampai cita-cita Ramadan untuk mewujudkan insan yang bertakwa menjadi jauh panggang dari api karena dorongan godaan duniawi untuk bersikap pamer. Semoga.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img