Oleh : drh. Puguh Wiji Pamungkas, MM
Hari buruh di Indonesia dirayakan pertama kali pada tanggal 1 Mei 1920, di mana serikat-serikat buruh dan pekerja melakukan aksi demonstrasi dan mogok kerja untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Sejarah hari buruh di Indonesia bermula saat negara ini masih berada di bawah kekuasaan Belanda, dan kondisi kerja para pekerja di sektor perkebunan dan industri sangatlah buruk. Selama dijajah oleh Belanda, para pekerja dan serikat buruh sering mengalami eksploitasi dan penindasan oleh majikan Belanda.
Pasca ditetapkannya hari buruh sebagai hari libur nasional pada era pemerintahan Presiden SBY, regulasi pemerintah terkait hak-hak buruhpun semakin dijaga dan diperhatikan secara serius. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan pemerintah melalui kemenaker RI yang hampir sebagaian besar implementasinya sudah menjadi bagian yang terintegrasi dalam tata kelola industri dan perusahaan.
Namun yang terpenting dari itu adalah kemampuan buruh Indonesia untuk beradaptasi pada era VUCA dan distruption yang hari ini terjadi. Globalisasi, kemajuan teknologi dan perubahan zaman yang begitu cepat mau tidak mau telah mengubah landscape industri di Indonesia.
Banjirnya tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia juga harus menjadi kewaspadaan, karena bagaimanapun mereka memiliki standar kinerja yang berbeda dengan standar konierja buruh di Indonesia, terlebih tuntutan industri akan efektifitas dan kualitas produk semakin tinggi. Bahan baku yang tidak stabil, pasar yang terus berubah, teknologi yang terus berganti turut memberikan tekanan kepada industri agar mereka bisa lebih efektif dan efisien dalam menjalankan industrinya.
Selain itu banjirnya arus teknologi yang hari ini terjadi seiring dengan terbukanya kompetisi global semakin mendistrupsi keberadaan tenaga kerja yang ada di Indonesia. Kita tahu bersama di era industri 4.0 ini mekanisasi, digitalisasi dan automatisasi merupakan fakta brutal yang harus di hadapi oleh buruh di Indonesia. Tuntutan industri untuk beroperasi lebih efektif dan efisien menuntut mereka untuk menerapkan makanisasi, digitalisasi dan automatisasi dalam industrinya, yang secara otomatis hal ini akan berdampak kepada berkurangnya kebutuhan tenaga kerja yang ada dilapangan.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), pada paruh pertama atau semester I 2023 terdapat 73.011 tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia dimana Tiongkok mendominasi asal muasal tenaga kerja asing ini.
Disatu sisi pengangguran di Indonesia juga masih menjadi masalah yang serius. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada November 2023, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 5,32% atau setara dengan 7,86 juta pengangguran. Mayoritas pengangguran di Indonesia berusia di kisaran 15-24 tahun, artinya, Gen Z menjadi penyumbang terbesarnya.
Indeks ketersediaan lapangan kerja mengalami sedikit penurunan pada Desember 2023. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) menunjukkan, indeks ketersediaan lapangan kerja memang relatif stabil, namun sedikit mengalami penurunan sebesar 0,4 poin menjadi 112,7 pada Desember 2023. Menurut banyak pengamat penurunan ini sejalan dengan adanya mekanisme, digitalisasi dan automatisasi dalam dunia usaha yang mulai mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan.
Jika kita kembali mengkaji sebuah teori yang disampaikan oleh Michael Porter tentang five force competitive analysis, maka sebenarnya tidak heran jika perubahan dan nilai tawar sumber daya manusia itu akan semakin tinggi seiring dengan kemajuan teknologi dan kemajuan zaman. Ancaman pendatang baru, daya tawar pemasok, daya tawar konsumen, ancaman produk subtitusi dan persaingan yang tidak ada habisnya diantara sesama sumber daya manusia merupakan dalil yang jelas bagi buruh di Indonesia untuk memiliki kewaspadaan dan kesadaran agar terus meningkatkan kompetensi, skill, knowledge dan etos kerjanya.
Selain tugas pemerintah untuk tetap berupaya dalam menyediakan lapangan kerja, tenaga kerja Indonesia harus menyiapkan dirinya agar memiliki daya saing yang tinggi seiring perubahan zaman. Berdaya saing ini merupakan kata kunci agar tenaga kerja Indonesia tetap memiliki relevansi dalam perubahan zaman dan situasi apapun.
Berdaya saingnya tenaga kerja Indonesia dalam hal etos kerja, kompetensi, skill, knowledge dan attitude ini seyogyanya sudah dirancang sejak pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Sebagaimana bangsa-bangsa maju lainnya dimana mereka telah sukses menyiapkan iron stock tenaga kerja terampilnya sejak dini.
Mentalitas berdaya saing yang sudah tertanam sejak usia dini akan menjadi karakter dan habbit bagi setiap orang yang ada di Indonesia, dan kalau sudah seperti itu maka kemajuan zaman seperti apapun, perubahan peta industri seekstrem apapun dan pergeseran teknologi secanggih apapun tenaga kerja Indonesia akan tetap relevan dan diperhitungkan, karena mereka memiliki kecukupan kompetensi dalam perannya sebagai tenaga kerja.
Peringatan hari buruh yang dilakukan setiap 1 mei ini adalah momentum bagi bangsa untuk menyiapkan pilihan terbaik bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama kaum tenaga kerja dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)