Oleh: Erinda Dwimagistri Sukmana
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, Indonesia merupakan Negara dalam kondisi darurat pornografi anak. Ketua KPAI menyebutkan bahwa berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2022 lalu ditemukan jumlah transaksi TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) dan pornografi anak yang mencapai sekitar Rp 114 miliar.(DetikNews, 31/5/2024)
Anak adalah anugerah dari Tuhan. Anak adalah individu yang masih muda dan masih akan mengalami fase perkembangan kehidupnya. Mengacu kepada pandangan Santrock, (2012) bahwa periode perkembangan kehidupan manusia meliputi masa prakelahiran, masa bayi, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, masa remaja, masa dewasa awal, masa menengah, dan masa dewasa akhir.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dewasa ini, hampir semua anak-anak dan remaja memiliki gadget yang sangat mudah untuk mengakses berbagai konten termasuk pornografi. Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dijelaskan bahwa Ponografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum, yang membuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam Masyarakat.
Diliris dari sumber berita Suara Surabaya, 30 November 2021, terungkap 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia pernah menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media daring (online).
Pada masa remaja, adalah masa mereka melakukan eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, dan masa mengintegrasikan seksualitas ke dalam identitas seksual. Gairah seksual timbul sebagai fenomena yang baru bagi remaja dan penting untuk memandang bahwa seksualitas adalah perkembangan yang normal bagi mereka (Santrock, 2012).
Dari rasa ingin tahu tersebut, mereka cenderung mencari informasi sendiri dengan mengakses konten pornografi. Bahkan hal yang lebih mengejutkan lagi adalah, konten tersebut sudah pernah diakses oleh anak-anak yang masih berada di bangku sekolah dasar (SD).
Lalu, apa dampak ketika anak-anak mengakses konten pornografi? Hasil penelitian yang dilakukan oleh Luthfiyatin et al., (2020) terdapat tiga informan yang menunjukkan perilaku seksual dan ketiganya adalah seorang anak yang masih berada di bangku SD. Informan pertama menjelaskan bahwa ia mulai mengakses konten ponografi sejak kelas 3 dengan durasi terpapar tersering di kelas 4 SD.
Terjadi pengaruh bentuk perilaku yang terjadi pada informan pertama. Yaitu ia terbayang-bayang atau berimajinasi tentang konten yang ia lihat, menyentuh bagian tubuh yang sensitif. Seperti menyentuh bagian dada teman lawan jenisnya dan melakukan onani hingga mengeluarkan sperma.
Kemudian, informan kedua menjelaskan bahwa ia terpapar konten ponografi sejak kelas 2 SD. Bentuk perubahan yang terjadi sama dengan informan pertama, hanya saja ia pernah melakukan onani Bersama dengan teman-temannya dan juga menyentuh daerah sensitif temannya yaitu bagian paha.
Sedangkan informan yang ketiga menjelaskan bahwa ia terpapar hanya sekali dan terjadi saat di kelas 4 SD. Bentuk perilaku yang terjadi adalah ia menirukan gaya atau adegan dalam video tersebut dan ia merasakan kemaluannya tegang saat melihat videonya. Tidak hanya sebagai pelaku seksual saja, anak-anak juga dapat menjadi korban dari ponografi.
Dilansir dari sumber berita Media Indonesia, terdapat 5,5 juta anak menjadi korban ponografi di Inodnesia. Ditemukan adanya konten pornografi pada anak di Inonesia sebanyak 5,5 juta kasus dalam kurun waktu 4 tahun.
Kemudian, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan menyelamatkan generasi penerus bangsa dari konten pornografi? Tentunya banyak pihak yang dapat terlibat dalam hal ini. Pertama, peran orang tua sangat penting karena lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama untuk anak. Penting untuk kita memberikan pendidikan seksual pada anak sejak dini.
Hasil penelitian Hasiana, (2020) orang tua yang menjadi subjek penelitiannya telah memahami dan memiliki pengetahuan tentang pendidikan seks. Cara yang bisa diaplikasikan ialah edukasi sesuai tingkat pemahaman anak, salah satunya dengan nyanyian. Kemudian, penyuluhan dengan memberikan edukasi kepada orang tua juga sangat penting dilakukan.
Hasil penelitian dari Casman et al., (2023) menjelaskan bahwa sebelum diberikan edukasi pengenai Pendidikan seksual (kesehatan reproduksi) terbukti dapat meningkatkan pengetahuan orang tua yang sebelumnya hanya 20,8 persen orang tua saja yang memiliki pengetahuan mengenai perilaku pelecehan seksual pada anak. Dari penyuluhan tersebut, pemahaman orang tua meningkat menjadi 66,7 persen.
Peran guru juga sangat penting. Guru dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Upaya yang telah dilakukan oleh sekolah pada kasus paparan ponografi pada muridnya ialah memberikan konseling. Penanganan guru dalam konseling terhadap muridnya yang telah terpapar konten ponorgrafi sangat penting karena guru memiliki tanggung-jawab untuk membimbing muridnya.
Banyak pihak yang harus bekerja sama dalam memberikan pemahaman pada anak agar anak dapat mengerti bahwa perkembangan seksualitas adalah hal yang normal namun tetap harus diberi pemahaman yang bijak agar tidak menimbulkan dampak yang negatif pada anak tersebut. Pendidikan seksual tidak lagi menjadi hal yang tabu.(*)