spot_img
Friday, October 18, 2024
spot_img

Tiga Tahun Merantau di Eropa, Nyaman, Pikiran Tenang dan Damai

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Kasihan tuh anaknya lagi tantrum, lebih baik segera digendong dan ditanyai maunya apa. Dilihat banyak orang tuh, gak malu apa anaknya nangis-nangis terus. Justru di fase tersebut mereka sedang belajar meluapkan dan mengatur emosi. Baik orang tua dan anak sama-sama melalui proses belajar memahami satu sama lain. Sama halnya dengan pulang sajalah, balik saja ke Indonesia, merantau itu stres dan capek lho. Emang gak cinta sama tanah air? Pasti bikin emosi setiap hari mengurus toddler yang sering tantrum sendirian lho. Tapi apakah benar merantau itu menderita??

Hati tetap Indonesia meskipun jadi warga lokal Portugal

Kepindahan ke Portugal artinya kami bersedia menjadi warga lokal. Yes, warga lokal yang tinggal dalam waktu lama. Bukan hanya 1 atau 2 tahun. Papi Fariz menjadi karyawan tetap Philip Morris International (PMI) Portugal, bukan lagi karyawan Indonesia yang ditugaskan di Portugal. Perasaan senang dan antusias untuk explore negara baru sedang membara, namun jangan lupa fase stres dan tantrum akan hadir dalam proses adaptasi.

- Advertisement -
Merantau
Pergi ke mall bukan untuk shopping, hanya main playground gratis

Merantau di Eropa membuat kami banyak belajar tentang kehidupan. Kerjasama sepasang suami istri yang tidak hanya tinggal bersama melainkan hidup bersama-sama. Mulai memberikan tanggung jawab kecil kepada anak-anak karena kelak mereka akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Hidup simple, sederhana, dan berkecukupan. Tidak mempedulikan kehidupan orang lain apalagi sampai timbul iri. Tidak mempedulikan omongan orang lain terhadap kita. Tidak selalu say yes kepada anak saat mereka meminta sesuatu karena kami mulai mengajari makna budgeting pengeluaran.

Hidup kami di Indonesia dahulu kala cenderung terlalu foya-foya. Hahahaha. Gimana tidak foya-foya, gaji bulanan dihabiskan untuk beli bensin dan bayar tol dimana cukup banyak karena jarak kantor dan rumah yang jauh. Belum lagi setiap weekend selalu makan di mall dan check out toko oren yang setiap hari datang “pakeeeeeeeet”.

Sepertinya hidup di Eropa kok jadi susah dan ngirit gitu yaaa? Apa betah selama 3 tahun merantau nih?

Alhamdulillah selama hidup 3 tahun merantau di Eropa kami merasakan pikiran yang tenang dan damai. Kami selalu menciptakan energi dan pikiran positif supaya hari-hari dilewati dengan begitu banyak cinta. Daripada selalu memikirkan kapan bisa pulang, kapan bisa makan di resto favorit di Indonesia, kapan bisa bertemu keluarga. Bahkan ada pula sebagian wanita karir yang begitu resign mungkin dilanda stres dan uring-uringan. Dari tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah sekarang harus memulai dari awal.

Kebalikannya justru saat merantau ini saya begitu nyaman dan menikmati sekali. Bukan berarti tidak suka dengan pekerjaan yang dulu. Saya merupakan wanita workaholic lho. Pernah ada di posisi lebih mementingkan pekerjaan daripada mendatangi event anak di sekolahannya. Bahkan Zirco berkata “mami sudah gak pernah marah-marah lagi sekarang”. hahaha. Polosnya anak yang punya Ibu dengan kesabaran setipis tisu. Maklum bukan turunan Nikita Willy nih.

DoubleZ yang sudah mulai bisa diajak kerjasama untuk membantu bersih-bersih rumah

Rutinitas mengantar jemput anak juga sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Bahkan sudah ditambah menjemput suami di kantor juga. Dari yang awalnya takut menyetir karena pakai setir kiri, sekarang sudah mulai terbiasa. Bahkan sudah bisa memparkir paralel juga di pinggir jalan dengan area parkir yang terbatas. Habis ini masih ada PR untuk mengambil kursus mengemudi yang nantinya bisa dapat SIM Portugal.

Breakfast bersama teman saat anak-anak di sekolah

Hidup di Portugal tidak lagi mendapat support penuh dari kantor PMI. Sudah selayaknya warga lokal yang harus pusing tujuh keliling untuk bisa hidup di Eropa. Mulai dari cari apartemen yang nyaman, sekolah yang bisa dekat rumah, bayar listrik, air, gas, menyetir, beli bensin, cari parkir, bayar parkir, mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan bayar pajak yang besar. Apartemen dan sekolah anak tidak gratis lagi. Tidak ada cleaning service mingguan. Yang mengikuti cerita saya hidup di Portugal pasti tahu bagaimana jungkir baliknya kami mencari apartemen hingga visit 12 tempat.

Menikmati momen datang ke sekolah Zirco di perayaan Hari Ibu

Social life juga berpengaruh untuk menciptakan hari-hari yang berkesan. Bisa dibilang saat di Indonesia saya hanya punya kolega di kantor, kenalan sesama orangtua di sekolah anak, dan classmate saat menempuh pendidikan. Sehari-hari kesibukan saya pasti berangkat ke kantor, pulang malam, weekend ke mall. Ditambah pandemi maka bisa dipastikan 24 jam dirumah. Setelah tiba di Eropa mulai berkenalan dan bertemu dengan teman-teman baru. Sesama Indonesia dan juga bule.

Wanita perlu mengeluarkan 20.000 kata setiap harinya supaya tidak memendam stres. Selain mengobrol dengan suami dan anak-anak, saya mulai rutin bertemu dengan teman-teman terdekat. Saling berbagi pengalaman bagaimana cara survive hidup di perantauan. Kadang breakfast bersama di cafe, playdate dengan teman indonesia yang umur anak sepantaran, makan bersama di rumah salah satu teman, pergi piknik di taman, dkk.

Salah satu yang buat betah tinggal merantau adalah kualitas kehidupan yang dirasakan. Seperti apakah itu life quality di Eropa? Simak flashback cerita Mami DoubleZ edisi yang sudah 3 tahun hidup merantau. OPP. Bersambung……

- Advertisement -
spot_img
spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img