spot_img
Friday, October 18, 2024
spot_img

Donald Trump

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : drh. Puguh Wiji Pamungkas, MM
Presiden Nusantara Gilang Gemilang
Founder RSU Wajak Husada

Dalam sekejap dunia dihebohkan dengan berita penembakan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump saat melakukan kampanye di Pennsylvania beberapa hari yang lalu. Penembakan yang terjadi saat Donald Trump berorasi diatas podium dan mengenai telinga kanannya serta mengakibatkan dua peserta kampanye terluka ini sontak menjadi sorotan dunia ditengah memanasnya politik global seperti invasi Israel yang tidak ada hentinya kepada Palestina dan isu-isu central lainnya.

- Advertisement -

Peristiwa singkat tersebut tentu semakin memanaskan kontestasi pilpres di Amerika Serikat diantara tiga kandidat kuat yang ada. Diantaranya petahana Joe Biden yang usianya sudah memasuki 82 tahun, Donald Trump dengan segala rekam jejaknya selama menjabat sebagai Presiden AS, serta Robert F Kennedy Jr keponakan mantan Presiden AS John F Kennedy dan Putra eks jaksa Agung Robert Kennedy.

Tidak hanya pendukung Donald Trump, hampir seluruh masyarakat Amerika Serikat bahkan kepala-kepala negara di seluruh dunia menyampaikan statement belasungkawa, keprihatinan, simpati dan kutukannya. Bahkan presdien Joe Biden melalui akun resminya juga menyapaikan simpati dan keprihatinanya atas peristiwa penembakan tersebut.

Jika kita memflashback jejak rekam Donald Trump sebelum menjadi Presiden AS sampai menjadi Presiden periode 2017 hingga 2021 dan kekalahannya melawan Joe Biden pada pilpres serta upayanya untuk menolak hasil pilpres dengan menyerbu gedung kongres AS pada 6 januari 2021 yang mengakibatkan banyak kematian dan mengganggu penghitungan pemilu tersebut, seolah peristiwa penembakan yang terjadi beberapa waktu yang lalu menjadi menarik jika dilihat dari sudut pandang upaya elektoral Trump dalam pencalonannya kali ini.

Dalil ini bukan tanpa dasar, metodologi pemenangannya pada saat pilpres AS tahun 2016 melawan Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan style kepemimpinannya selama menjabat sebagai Presdien AS sejak 2017-2021, seolah-olah mengingatkan kembali memori kita tentang sebuah konsepsi politik elektoral “post truth”.

Sepanjang tahun 2016, dimana Trump memenangkan perhelatan pilpres AS dan menjadi Presdien AS ke-45 kata “post truth” dinobatkan sebagai “2016’s word of the year” oleh Oxford Dictionaries. Jika dibandingkan tahun 2015 penggunaan kata “post truth” naik 2.000% pada 2016.

Menurut Oxford Dictionaries, post truth didefinisikan sebagai “relating to or denoting circumtance in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief”. Definisi ini menggaris bahawi lebih pentingnya emosi dan keyakinan personal daripada fakta objektif dalam membangun opini publik.

Setidaknya hal ini terlihat dari data yang dikelurkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang indeks demokrasi yang terjadi di AS sejak 2006 hingga 2016. Dalam kurun waktu 2006 hingga tahun 2015 indeks demokrasi AS berada diatas 8,0 yang berarti negara paman sam ini merupakan kelompok negara dengan julukan full democracy atau demokrasi penuh. Akan tetapi faktanya berkebalikan pada tahun 2016, ketika Trump berjuang dalam kampanye pilpres yang juga mempopulerkan istilah post truth, indeks demokrasi AS turun menjadi 7,9 dan AS terjerembab dalam flawed democracy atau demokrasi cacat.

Lebih lanjut EIU menyebutkan, Donal Trump memenangkan pemilihan Presiden AS tahun 2016 dengan cara mengeksploitasi secara masive menurunya kepercayan rakyat AS pada institusi pemerintahan sejak tahun 2001. Trump memposisikan dirinya sebagai Capres pemberontak, orang di luar sistem politik AS yang akan mengambil sistem politik dan pemerintahan AS kepada kebagusan dan kemakmuran serta keadilan.

Penegasan bahwa Donald Trump sebagai “Presiden Post Truth” terbukti dengan upayanya untuk menolak kekalahannya pada pilpres AS 2020 melawan Joe Biden. Hal ini dibuktikan dengan catatan yang disampaikan oleh Dave Gilson dari motherjones.com, Trump telah membuat 729 kali tweet dan rata-rata sebanyak 16 tweet. Tweet Donald Trump pasca pilpres 2020 tergambar dengan 69% tentang framingnya terkait kecurangan pemilu dan upayanya untuk menolak hasil pemilu dan hanya 2% saja yang terkait dengan wabah Covid-19, padahal AS merupakan salah satu negara dengan angka kejadian Covid-19 yang sangat banyak sekali.

Twitter sampai berulangkali mengingatkan akun trump dengan penjelasan “beberapa atau semua konten dalam tweet ini mengundang perdebatan dan mungkin menyesatkan tentang pemilu atau proses sipil lainnya”. Meski demikian Trump tetap sajatidak peduli, dia terus melontarkan tweet-tweet nya yang kontroversi tersebut hingga akhirnya terjadi tragedi Gedung Capitol pada 6 januari 2021.

Peristiwa penembakan Trump saat kampanyenya di Pennsylvania beberapa waktu yang lalu tentu bisa dimaknai dengan banyak tafsir. Perhelatan pilpres AS yang akan diikuti oleh dua lawan kuatnya yakni Joe Biden sang petahana dan Robert F Kennedy keponakan Presiden John F Kennedy memang bukan perkara gampang, terlebih hakim New York menyatakan sejak 2024 Trump mendapatkan 34 dakwaan kejahatan karena memalsukan dokumen catatan bisnis, dia juga menghadapi 54 dakwan kejahtan lainnya seperti tuduhan konspirasi dan pemerasan dibeberapa negara bagian AS seperti Florida, Washington DC dan Georgia.

Penembakan yang melukai telinga kanannya tersebut tentu bisa saja menimbulkan efek “elektoral” berupa simpati masyarakat AS akan dirinya. Apakah ini bagian dari skenario Trump untuk memuluskan langkahnya menuju gedung putih ? tentu waktulah yang akan bisa menjawabnya. Namun era banjir bandangnya demokrasi di ranah digital tentu harus disikapi secara arif dan bijaksana oleh seluruh umat manusia agar marwah demokrasi terus terjaga dan “politik post truth” bisa dijauhkan.

- Advertisement -
spot_img
spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img