.
Saturday, November 9, 2024

Pena de Portugal

Profesional Mengelola Makan Anak di Sekolah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Para mama muda sedang sibuk-sibuknya. Apalagi  sudah sepekan tahun ajaran baru. Berbagai kesibukan, di antaranya menyiapkan bekal untuk anak.  Lantas bagaimana cara mama – mama Eropa mengatasi perbekalan anak sekolah? Yuuuk, ikut cerita ini.

=========

- Advertisement -

Di  Portugal tidak ada program makan siang gratis. Namun memberikan fasilitas makan dari sekolah. Sekolah publik di Portugal tidak ditarik biaya sama sekali. Tidak ada uang gedung atau iuran bulanan. Semua free untuk segala kalangan baik bawah, menengah, atau atas. Orang tua hanya membayar uang untuk makan. Berapa harganya? Sekitar 100 – 200 Euros (Rp 1.800.000 – 3.600.000), tergantung sekolah masing-masing. Siswa mendapatkan snack pagi, makan siang, dan snack sore.

Contoh snack biasanya roti isi mentega/keju/selai/coklat, susu, buah, jelly, biskuit, yogurt, dan cereal. Menu makan siang lebih variasi lagi, ada nasi/pasta/kentang, ayam/daging/ikan/telur, tahu/kacang-kacangan, sop, dan sayur.

Tidak ada menu daging babi untuk anak sekolah. Ada menu vegan juga untuk alternatif anak yang tidak makan daging. Ortu akan mendapatkan email atau pengumuman untuk menu selama seminggu kedepan. Setiap hari menunya ganti jadi anak tidak akan bosan.

Membeli makan dari sekolah ini tidaklah wajib. Ortu diperbolehkan tidak berlangganan makanan dari sekolah, jadi bisa membawa snack dan lunch dari rumah. Harus wajib bawa karena sekolah sudah memiliki jadwal tersendiri untuk makan bersama-sama. Tidak ada warung atau jajan di depan sekolah yang menjual bakso, siomay, batagor, pentol, dkk. Hahahaha. Kantin di sekolah juga hanya menyediakan makanan yang sama pada hari tersebut. Kalau mendadak ingin beli soto ayam atau gado-gado ya jelas tidak ada.

Bagaimana kalau mendadak tidak bisa membawa bekal dari rumah?  Bisa membeli harian dari sekolah. Pihak kantin akan mencatat nama murid, kemudian akan menagih ke orang tuanya untuk membayar.

Anak kami, Zirco pernah tidak sengaja makan siangnya terjatuh, pihak sekolah menelepon apakah boleh diberikan menu sekolah. Saat ortu memberikan izin, maka pihak sekolah langsung action. Rata-rata tidak banyak orang tua yang ingin repot membawakan bekal ke anaknya. Semua ingin simple dan sederhana. Ortu juga tidak perlu khawatir karena menu di sekolah sudah pasti penuh nutrisi.

Bagaimana dengan DoubleZ? Apakah makan di sekolah atau bawa bekal dari rumah? Zirco hanya langganan snack sekolah, sedangkan makan siang membawa dari rumah. Khawatir tidak cocok dengan menu portugis terus akhirnya kelaperan. Sebulan membayar 70 Euros (Rp  1.260.000) hanya untuk bayar dua kali  snack. Sedangkan kalau tidak beli sama sekali tetap dikenakan biaya 40 Euros (Rp 720.000) sebagai biaya service di kantin. Nunut duduk makan di kantin sekolah sendiri saja juga bayar lho.

Putra kedua kami, Zygmund di sekolah yang lama hanya cukup membawa snack. Karena sekolahnya hanya dari pukul 09.00 sampai 12.00 .  Hampir selalu membawa buah. Favoritnya adalah anggur dan blueberry. Karena bentuk buahnya bulat dan simple makannya. Tidak perlu bawa garpu atau dipotong-potong. Ini sebenernya karena ibuknya tidak mau ribet saja sih, hahhaha. Namun di sekolah barunya nanti dia akan full makan di sekolah. Per bulan kena 180 Euros (Rp 3.240.000) untuk snack dua kali  dan lunch.

Kenapa kok tidak bawa bekal dari rumah seperti Zirco? Ibuknya males masak yaa? Di sekolah Zygmund tidak ada pilihan hanya membawa lunch dari rumah. Pilihannya hanya Yes or No. Sedangkan kalau pilih No, maka tetap membayar 80 Euros (Rp 1.440.000) untuk service kantin, menyiapkan makanan untuk anak kecil, serta menyuapi Zygmund. Sudah bayar mahal dan repot pula menyiapkan tiga kotak makan.

Kalau dulu Zirco sekolah di Swiss tidak ada program makan dari sekolah. Siswa membawa snack sendiri dari rumah. Pada jam makan siang semua siswa wajib pulang ke rumah masing-masing. Diberikan waktu istirahat di rumah dan kembali lagi ke sekolah sesuai jadwal. Kalau anaknya masih kecil maka yang repot adalah ortunya antar pagi, jemput siang, antar siang, jemput sore. Kalau ortunya bekerja, biasanya anak diajak ke day care. Nah guru day care lah yang bertugas menjemput dan mengantarkan kembali siswanya. Tantangannya untuk mendaftar daycare ini tidaklah mudah, waiting list-nya panjang. Jadi pilihannya antara si ibu tidak bekerja atau kakek/nenek ikut repot menjemput cucunya di sekolah.

Itulah kenapa sekolah publik di Eropa berdasarkan zonasi tempat tinggal. Supaya waktu tempuh yang dibutuhkan untuk PP sekolah –  rumah  terjangkau. Hanya hitungan menit saja. Singkat lah maksudnya. Dulu jarak dari apartemen ke sekolah cuma 650 meter. Jalan kaki 10 menit atau naik bus dua menit. Sekejap sampai rumah tanpa stress kena macet. Di Indonesia pun juga sekarang menerapkan sistem zonasi untuk sekolah publik.

Mengajak anak refreshing karena penatnya kegiatan di sekolah juga cukup simple. Di Portugal banyak playground gratis yang terawat. Cukup membawa DoubleZ piknik ke taman, bawa bekal sederhana seperti nasi, indomie, ayam, dan nugget, serta bebas main di playground. Mereka sudah supeeer happy. Semua energinya tersalurkan secara maksimal. Sering juga refreshing ke playground di dalam mall. Hanya main saja, tidak selalu makan di mall ataupun belanja. Apalagi selama di Swiss kami jarang beli makan diluar. Mending uangnya dibuat untuk beli tiket kereta keluar kota.

Begitulah kehidupan kami selama merantau tiga tahun di Eropa. Banyak suka, senang, adaptasi, dan stresnya. Hidup pindah negara itu tidaklah mudah, tapi bisa dilakukan. Kekayaan bukan hanya soal uang, kami percaya bahwa dengan perjuangan hidup merantau ini akan memberikan kekayaan pengalaman yang tak terlupakan buat dua putra kami, DoubleZ.

Suatu saat nanti mereka akan paham bahwa dunia itu sangaat besar nan luas. Banyak sekali yang bisa dipelajari daripada hanya diam di satu tempat. Semoga yang cita-citanya ingin hidup merantau bisa tercapai.

Terimakasih kepada seluruh kawan pembaca yang telah setia mengikuti perjalanan kami tiga tahun mulai dari Swiss dan Portugal. Tanpa support kalian semua “Buku Salam Dari Swiss, Jelajah Negeri Impian Sambil Bekerja” tidak mungkin bisa terbit di Indonesia. Masya Allah. Meskipun merantau, hati tetap selalu cinta Tanah air Indonesia. Begitulah edisi flashback tiga tahun merantau. (opp/van/habis)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img