Perjuangan Indra Slamet Santoso Setelah Indonesia Merdeka
Perjuangan Indra Slamet Santoso tidak hanya pada masa perang kemerdekaan saja. Ia juga tetap aktif membangun Indonesia setelah kemerdekaan dengan aktif menulis. Ia menjadi insan pers.
===
MALANG POSCO MEDIA– Anak tertua Indra Slamet Santoso, Drs Hariadi menceritakan perjalanan hidup sang ayah yang wafat pada 2013 lalu. Indra saat aktif di dunia pers.
“Setelah zaman kemerdekaan, ayah tekun di bidang jurnalisme. Sebagai wartawan kemudian dipercaya memegang bagian pemasaran dan iklan, di Jawa Pos. Itu tahun 1953,” jelas Hariadi saat ditemui Malang Posco Media pekan lalu.
Indra juga menjabat sebagai Kepala Departemen Penerangan Kota Malang. Artinya menjadi PNS dan juga seorang insan pers. Dulu, seseorang bisa memegang dua profesi seperti itu sekaligus.
Saat pensiun sebagai PNS di tahun 1977, Indra semakin bulat dan aktif di dunia media cetak. Yakni di Jawa Pos. Ia kemudian dipercaya mengembangkan Jawa Pos. Sehingga muncul anak-anak perusahaan Jawa Pos lainnya.
“Yang saya ingat sekali ayah dipercaya juga jadi bagian legal (hukum). Jadi ikut membangun jaringan Jawa Pos di daerah-daerah. Sampai akhirnya menjadi Komisaris Majalah Liberty, lalu Mingguan Gloria juga. Itu setia hari PP (pulang-pergi) dari Malang ke Surabaya itu,” kenang Hariadi.
Lalu dipercaya memegang koran di daerah termasuk di Malang. Saat itu Hariadi ingat, ayahnya diminta membeli lahan untuk Biro Jawa Pos di Kota Malang. Yang kemudian menjadi kantor Jawa Pos di Jalan Arjuno.
Saat itu, sang ayah membeli lahan di Jalan Arjuno seharga Rp 99 juta. Kini lokasinya di sebalah Bank Bukopin Jl Arjuno.
“Lalu lahir juga Malang Post. Karena saat itu bisnis koran mau dikembangkan lagi lebih spefisik dan lokal. Mulanya kantor Malang Post ya nempel di Jawa Pos di Jalan Arjuno. Kalau tak salah di garasi saat itu kecil. Itu Tahun 1999,” papar Hariad mengingat apa saja yang dilakukan ayahnya saat mendirikan koran lokal di Kota Malang.
Ada hal yang paling diingat Hariadi kala ayahnya saat aktif di dunia media massa saat itu. Sang ayah yang juga pejuang kemerdekaan tidak mau melakukan hal yang biasa. Ayahnya memiliki semangat juang membesarkan media cetak yang ia pegang agar lebih dikenal masyarakat saat itu.
Hariadi menceritakan bahwa sang ayah saat pulang-pergi dari Malang ke Surabaya setiap hari selalu menggunaan bus antar kota.
“Kan bisa saja saya yang antar. Tapi ayah itu tak mau. Beliau selalu naik bus saja. Dari rumah di sini (rumah di Jalan BS Riadi) naik mikrolet lalu baik bus ke Surabaya. Itu ada alasannya. Ayah selalu bawa koran Jawa Pos. Lalu dia bagikan ke sopir mikrolet dan orang-orang yang ditemui. Gratis,” cerita Hariadi.
Kebiasaan ini membuat sang ayah sangat dihargai saat itu. Bahkan oleh sopir mikrolet dan bus, sang ayah sampai tidak diperkenankan membayar ongkos bus. Sopir bus hanya meminta koran atau majalah gratis sebagai bayarannya.
Hal ini menjadikan koran atau produk jurnalistik Jawa Pos semakin dikenal oleh warga Malang dan sekitarnya.
“Ayah percaya dengan cara mengenalkan produk koran seperti itu akan lebih cepat. Dan memang betul. Orang-orang menunggu koran yang dibawa ayah mau dapat gratis. Langsung dibaca saat naik angkutan. Ya zaman itu orang memang senang baca koran, majalah,” jelas Hariadi lagi.
Dan hal itu dilakukan sang ayah, lanjut Hariadi hingga tahun 2012. Indra Slamet Santoso kemudian mengalami kejadian jatuh terpeleset. Sejak saat itu kesehatannaya semakin menurun. Pada Tahun 2013 Bulan Agustus ia wafat dan dimakamkan.
Jabatan terakhir Indra yang saat itu berusia 91 tahun adalah Komisaris Utama Malang Post. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Untung Suropati Jalan Veteran Malang.
“Ayah selalu bilang kepada saya. Apa yang bisa kamu berikan kepada negara mu? Kata-kata itu selalu terngiang. Saya memutuskan untuk berada di bidang kesehatan. Dan memenuhi apa yang diinginkan ayah. Untuk bisa berkontribusi kepada negara dan sesama. Saya sering beri pengobatan dan ketrampilan gratis. Itu yang saya bisa lakukan, pesan dari ayah,” pungkas Hariadi. (ica/van)