Tensi Politik Tanah Air Panas, Digoyang Unjuk Rasa Berbagai Kalangan
MALANG POSCO MEDIA-Tensi politik Indonesia meninggi sepanjang, Kamis (22/8) kemarin. Aksi unjuk rasa terjadi di berbagai daerah menolak pengesahan RUU Pilkada versi DPR RI. Termasuk di Kota Malang. DPR RI pun akhirnya batal sahkan RUU Pilkada. Keputusan MK yang akhirnya digunakan.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memastikan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) pilkada batal dilaksanakan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pilkada akan berlaku.
Untuk itu, dia memastikan pada saat pendaftaran calon kepala daerah untuk pilkada pada 27 Agustus 2024 bakal menerapkan putusan dari MK.
“Yang akan berlaku adalah keputusan JR (judicial review) MK yang mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora,” kata Dasco dalam akun resmi media sosial X yang diunggah pada Kamis petang kemarin.
Sebelumnya RUU Pilkada menuai pro dan kontra karena dinilai dibahas secara singkat pada Rabu (21/8) oleh Badan Legislasi DPR RI. Pasalnya pembahasan itu dinilai tak sesuai dengan Putusan MK yang diputuskan pada Selasa (20/8) tentang syarat pencalonan pada pilkada.
Kemudian Rapat Paripurna Ke-3 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023—2024 dengan agenda pengesahan RUU Pilkada yang rencananya digelar pada Kamis pagi ini, batal digelar dan dijadwal ulang karena jumlah peserta rapat tidak memenuhi kuorum.
Walaupun demikian, massa dari berbagai pihak menggelar aksi unjuk rasa di area komplek parlemen itu sejak siang hingga petang. Situasi unjuk rasa pun sempat memanas karena gerbang depan maupun belakang kompleks parlemen pun telah jebol.
Polisi pun sebelumnya telah menyiapkan sebanyak 2.975 personel untuk mengantisipasi pengamanan unjuk rasa di dua kawasan itu yakni Gedung MK dan MPR/DPR RI. Jumlah personel tersebut terdiri dari satuan tugas daerah (Satgasda) sebanyak 1.881 personel, satuan tugas resor (Satgasres) sebanyak 210 personel, bawah kendali operasi (BKO) TNI dan pemerintah daerah sebanyak 884 personel.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengatakan bahwa Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada yang tidak jadi disahkan oleh DPR merupakan hasil dari gerakan massa yang turun ke jalan menyatakan penolakan.
“Saya pikir tertundanya pengesahan revisi UU Pilkada memang buah dari gerakan massa, baik dari dunia maya yang tereskalasi besar di dunia nyata,” kata Wasisto.
Menurut dia, gerakan massa yang lantang menolak RUU itu disahkan membuat para wakil rakyat di parlemen berpikir ulang untuk melakukan pengesahan.
“Para politisi tentu berpikir dan menimbang untung ruginya dengan respons publik saat ini,” ujarnya.
Namun demikian, Wasisto mengimbau masyarakat agar tidak lengah dalam mengawasi kelanjutan dari polemik tersebut. “Masyarakat sipil jangan abai dan tetap waspada supaya kontinu mengawal ini,” ucapnya.
Di Kota Malang kemarin juga terjadi aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Revisi UU Pilkada oleh DPR RI.
Sejumlah kelompok massa, seperti mahasiswa, aktivis dan masyarakat berdemonstrasi di depan Gedung DPRD Kota Malang, kemarin. Massa aksi membawa sejumlah poster dengan beragam tulisan. Misalnya seperti ‘Indonesia Not for Sale’, ‘DPR RI Membajak Konstitusi’, ‘Kawal Putusan MK’ dan banyak lainnya.
“DPR RI telah menunjukkan tabiatnya untuk menjegal segala bentuk konstitusi dan mencabik -cabik demokrasi yang telah ada di Indonesia,” tegas Rambo salah satu korlap massa aksi.
Ratusan massa yang menggelar demonstrasi ini kompak mengenakan baju serba hitam. Diungkapkan, aksi ini tidak akan berhenti pada kemarin saja. Namun aksi selanjutnya dikatakan bakal lebih besar. “Perlawanan di Malang tidak akan pernah mati, besok akan ada gelombang lebih besar lagi,” tambahnya.
Aksi demonstrasi ini, kemudian ditemui oleh Ketua DPRD Kota Malang I Made Riandiana Kartika SE MM dan beberapa anggota DPRD lainnya. Made mengaku siap menampung aspirasi dari massa aksi dan bakal mengawalnya.
“Kami siap sebagai perwakilan masyarakat Kota Malang. Apapun yang menjadi tuntutan masyarakat Kota Malang, kami siap mengawal. Kami sepakat MK adalah di atas segalanya untuk hukum dan perundangan,” tegasnya.
Menyikapi adanya rencana aksi yang lebih besar, Made menyampaikan pihaknya tidak bisa mencegah atau melarangnya. Ia menerima apapun aspirasi dari masyarakat, namun ia juga meminta agar pelantikan pada 24 Agustus supaya tidak sampai terganggu.
“Setengah hari saja, mulai jam sembilan sampai jam 11 sudah selesai. Setelah itu, kami sah lagi untuk menerima (aksi). Kalau tidak ada pelantikan, tidak sah DPRD (menerima aksi). Oleh karena itu, jika menyampaikan aspirasi kami siap, tapi hormati juga agenda penting kenegaraan,” tutupnya. (ntr/ian/van)