Oleh: Ali Roziqin
Dosen Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Malang
Pelaksanaan Pilkada semakin dekat dan tiga calon wali kota Malang telah resmi akan maju dalam kontestasi merebutkan kursi Walikota dan Wakil Walikota. Sebagai kota yang terus berkembang dan modern, tuntutan layanan publik termasuk transportasi publik yang nyaman menjadi tuntutan utama bagi sebagian besar masyarakat di Kota Malang. Sebagai kota yang terkenal dengan pariwisata dan pelajar, setiap tahunnya ada ratusan ribu warga pendatang yang bermukim, baik itu untuk selamanya atau sementara beberapa tahun ke depan. Arus urbanisasi dan migrasi yang terjadi berdampak pada meningkatnya volume kendaraan pribadi baik motor atau mobil, hal itu dikarenakan kebutuhan mobilitas.
Belum lagi permasalahan parkir liar dan kondisi mikrolet kota malang yang jauh dari kata layak. Hal ini mengakibatkan permasalahan kemacetan bertahun-tahun di Kota Malang tampaknya belum menemukan titik terang. Berdasarkan laporan Global Traffic Scorecard tahun 2022 menyebutkan Kota Malang salah satu kota termacet di Indonesia setelah Denpasar atau nomor 4 se-Indonesia. Kemacetan tersebut rata-rata telah menyebabkan waktu yang terbuang hingga mencapai 18 jam baik motor/mobil. Sementara itu, laporan Dinas Perhubungan Kota Malang tahun 2023 menyebutkan bahwa kemacetan di Kota Malang telah mengalami titik jenuh (0,88).
Selama ini, berbagai strategi telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Malang, seperti misalnya manajemen lalu lintas melalui rekayasa lalu lintas, stretagi pengembangan jalan, dan pengembangan transportasi umum. Dari tiga hal pokok tersebut, pengembangan transportasi umumlah yang tampaknya belum digarap secara serius.
Berbagai kota besar di Indonesia telah memiliki moda transportasi publik yang memadai. Misalnya saja Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Bali, Semarang, Palembang, dan Yogyakarta. Bahkan yang terbaru adalah Trans Pakuan Bogor dan Balikpapan City Trans.
Integratif
Kebutuhan moda transportasi publik yang terhubung antar sudut kota bahkan daerah penyangga adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Konektivitas dan intergasi antara moda transportasi satu dengan yang lainnya akan memudahkan penumpang untuk berpindah secara efisien dan murah.
Bayangkan saja jika Kota Malang memiliki moda transportasi publik yang bisa menghubungkan daerah sekitar seperti Kabupaten Malang, Pasuruan, dan Kota Batu tentu akan berdampak pada perputaran ekonomi yang cukup menjanjikan. Apalagi dengan karakteristik daerah yang sama-sama mengandalkan sektor pariwisata tentu ini jadi peluang yang bisa dimanfaatkan
Berdasarkan laporan BPS Kota Malang jumlah kendaraan mobil mencapai 78.136 dan kendaraan bermotor mencapai 270.379. Jumlah ini tentu bisa jadi jika dikroscek langsung di lapangan. Sebagai sebuah entitas modern dan terus berkembang, kebutuhan transportasi publik yang integratif di sebuah Kota akan menegaskan aspek inklusifitas.
Jika transportasi publik layak dan efisien dari sisi waktu, bukan tidak mungkin masyarakat yang menggunakan kendaaraan pribadi akan beralih ke transportasi publik. Namun sayang, dari kacamata penulis isu kemacetan dan terwujudnya transportasi publik yang integratif belum menjadi isu major menjelang Pilkada akhir tahun ini.
Komitmen politik
Tiga calon yang saat ini akan berkontestasi tampaknya belum menyatakan janji-janji politiknya secara solutif. Gagasan untuk pembenahan transportasi publik yang nyaman belum menjadi isu utama dari para pasangan calon. Akhirnya muncul pertanyaan akankah kemacetan di Kota Malang akan justru semakin parah dan tidak terurai?
Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian lebih bagi siapapun yang nanti memenangkan kontestasi Pilkada Kota Malang. Apalagi Malang telah didapuk sebagai kota kreatif dunia tahun 2025.
Secara regulatif, pemerintah Kota Malang telah memiliki payung hukum yang jelas, misalnya saja yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Malang Tahun 2011 pasal 21 Tentang Rencana Sistem Prasarana Wilayah Kota, termasuk adalah transportasi publik.
Namun, sekali lagi komitmen politik akan menjadi titik awal dalam upaya melakukan transformasi transportasi publik yang ada. Singkatnya, penulis tidak menafikan peran mikrolet yang selama ini telah menemani warga dalam menjalankan aktivitasnya. Namun, hal ini perlu dikaji kembali mengingat kendala-kendala yang selama ini terjadi mengenai efisiensi waktu, kenyamanan dan kemudahan penumpang.
Kota Malang perlu mencontoh kota-kota lain dalam menyediakan akses transportasi publik bagi warganya. Jangan sampai karena kemacetan dan buruknya transportasi publik yang ada justru menghilangkan citra baik Kota Malang, khususnya para wisatawan.
Harapanya para, calon pemimpin Kota Malang memiliki komitmen yang tinggi dan menjadikan hal ini sebagai momentum untuk perbaikan sistem transportasi kota yang memadai. Hal itu bisa dibuktikan melalui program dan rencana aksi yang konkrit dalam rangka mewujudkan Kota Malang yang tertib, maju, adil, dan sejahtera.(*)