spot_img
spot_img
Saturday, September 28, 2024
spot_img
spot_img

Dunia Nyata dan Fiksi Hukum

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Hassanalwildan Ahmad Zain
Humas UMM dan Alumnus Twinning FH-FAI

Mendekam di penjara karena melanggar hukum adalah hal yang sewajarnya. Tapi, bagaimana rasanya jika kita tiba-tiba dipidana penjara, padahal tidak tahu aturannya? Mungkin itu yang dirasakan Nyoman Sukena, pria Bali yang dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena memelihara landak Jawa yang merupakan binatang dilindungi. Ia sama sekali tidak tahu menahu perihal regulasi yang mengatur binatang dan hewan, tapi tiba-tiba ditangkap oleh direktorat reserse kriminal.

Hal serupa juga dirasakan Piono, seorang kakek asal Malang yang juga diganjar hukuman karena memelihara ikan aligator gar, spesies yang dilarang untuk dipelihara menurut Undang-Undang. Padahal ia sudah merawat hewan tersebut sejak 2008 dan sama sekali tidak memahami adanya aturan terkait.

Kejadian tak jauh berbeda juga bisa ditemui pada kasus nenek Asiyani di Situbondo pada 2015 dan nenek Saulina di Sumatera Utara pada 2016 lalu. Mereka diberi sederet hukuman yang memberatkan padahal tidak tahu adanya regulasi yang mengatur. Kejadian-kejadian tersebut tentu mengguncang nurani banyak orang.

Fenomena ini terjadi karena Indonesia memang menerapkan asas fiksi hukum yakni prinsip yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum sejak aturan hukum terkait diundangkan. Dengan begitu, warga negara tidak bisa beralasan tidak tahu aturannya ketika melanggar hukum.

Tanpa adanya asas ini, orang-orang bisa saja mengklaim bahwa mereka tidak tahu hukum agar bisa menghindar dari tanggungjawab. Asas ini juga membantu menciptakan kepastian hukum. Tetapi satu pertanyaan menggelitik muncul di kepala penulis, apakah asas fiksi hukum patut diterapkan secara kaku di Indonesia?

Hukum Harus Ditegakkan

Sebagian orang dan ahli yang menilai bahwa asas fiksi hukum dianggap tidak realistis dan tidak adil dalam beberapa situasi. Termasuk pada kasus Nyoman Sukena, Piono, nenek Saulina dan lainnya. Mereka yang tinggal di daerah tentu merasakan timpangnya akses hukum. Bayangkan saja, Indonesia memiliki lebih dari 120 Undang-Undang yang beragam. Seorang praktisi hukum mungkin saja tidak tahu dan hafal semua aturan tersebut, apalagi para masyarakat biasa. Terutama mereka yang menjalani hidup di pedesaan.

Maka peran pemerintah sangat vital, tidak hanya dalam upaya preventif tapi juga secara represif agar asas fiksi hukum bisa benar-benar berjalan. Kenyataannya, pemerintah Indonesia belum begitu maksimal dalam implementasinya. Sosialisasi hukum tidak berjalan dengan masif, begitupun dengan solusi di pengadilan yang dinilai kurang adil. Terbukti dari munculnya berbagai kasus seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan.

Dalam aspek preventif, pemerintah seharusnya tidak hanya memberikan sosialisasi hukum sebagai ‘penggugur kewajiban’ saja, tapi benar-benar menjalankannya. Misalnya dengan membedakan pendekatan pemahaman hukum untuk masyarakat perkotaan dan pedesaan. Warga di perkotaan bisa diberi sosialisasi melalui media sosial, video menarik, ataupun kampanye digital. Sementara di pedesaan bisa memanfaatkan tokoh masyarakat, perangkat desa, ataupun kegiatan masjid.

Khusus di pedesaan, penyederhanaan bahasa hukum juga diperlukan. Seringkali masyarakat sukar memahami atau bahkan tidak peduli karena rumitnya bahasa hukum yang digunakan. Maka, penyederhanaan bahasa dibutuhkan demi meningkatkan kesadaran dan pemahaman hukum.

Selain itu, sosialisasi berdasarkan lokasi dan kondisi juga bisa digalakkan. Misalnya memberi penjelasan tentang regulasi perlindungan binatang dilakukan di lokasi-lokasi yang dekat dengan pasar hewan atau daerah yang sering terjadi perburuan ilegal.

Contoh lain yakni dengan menyelenggarakan sosialisasi peraturan pangan khusus produsen makanan dan lainnya. Dengan begitu, masyarakat yang berada di lokasi dengan risiko tinggi dapat memiliki pemahaman hukum yang lebih mendalam dan sesuai kebutuhan.

Hal lain yang bisa dicoba adalah dengan menyediakan klinik hukum. Pemerintah bisa menggaet LSM atau kampus-kampus untuk mendirikan klinik hukum di desa-desa atau kecamatan. Harapannya, warga bisa dengan mudah mendapatkan akses hukum, memahami informasi hukum dan memperoleh konsultasi hukum secara gratis. Apalagi jika para pengacara turut meluangkan waktu untuk bergabung dalam program tersebut.

Di samping upaya preventif, usaha-usaha represif juga harus dilaksanakan. Misalnya terkait bagaimana hakim menjatuhkan putusan di pengadilan, khususnya bagi mereka yang tidak mengetahui adanya aturan-aturan tertentu. Asas fiksi hukum memang harus ditegakkan agar hukum tidak terkesan lemah, namun pelaksanaannya bisa dilakukan lebih fleksibel tergantung kondisi.

Hakim juga harus memperhatikan asas-asas hukum yang lain seperti kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Pada aspek kepastian hukum, tentu hakim harus tetap menjatuhkan hukuman karena pemerintah telah mengatur secara jelas mengenai kasus terkait. Pelanggaran sudah terjadi, maka hukum harus ditegakkan. Namun tidak berhenti pada aspek ini saja, harus dilanjutkan ke dua aspek selanjutnya.

Pada aspek keadilan, hakim juga harus memeriksa apakah terdakwa memiliki niat jahat (mens rea) dalam tindakannya. Jika tidak, hakim mungkin dapat memberikan hukuman yang lebih ringan dan sesuai. Sementara pada sudut pandang kemanfaatan, hakim juga bisa mempertimbangkan alternatif hukuman yang lebih bermanfaat.

Misalnya dengan memberikan sanksi edukatif yang berdampak, tidak hanya untuk terdakwa tapi juga untuk masyarakat luas. Jika mampu melaksanakan upaya-upaya di atas, harapannya asas fiksi hukum tetap bisa berjalan namun dengan keluwesan yang tepat.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img