spot_img
Friday, October 18, 2024
spot_img

Harmoni Pembangunan: Desa Berdaya, Iklim Tak Merajalela

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Dhanny S. Sutopo
Staf Pengajar FISIP
Universitas Brawijaya

          “Perubahan iklim bukan hanya masalah lingkungan; ini adalah masalah desa, masalah komunitas, masalah kemanusiaan,” (The Guardian, 20/3/2023). Sementara itu dalam laporan terbaru, The New York Times melaporkan, “Saat ancaman iklim mengintai, daerah pedesaan menghadapi perjuangan berat untuk bertahan hidup. “( The New York Times, 8/10/2024).

- Advertisement -

          Bayang-bayang ancaman iklim kian pekat menyelimuti pelosok dunia, tak terkecuali desa-desa di negeri kita. Namun, di balik kelamnya ramalan cuaca ekstrem, terbit secercah harapan dari kearifan lokal dan semangat gotong royong yang mengakar kuat di pedesaan Indonesia.

          Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik bukit, menyapukan sinarnya yang hangat ke hamparan sawah yang menguning. Embun pagi masih bergelayut di ujung-ujung daun padi, berkilauan bagai permata kecil yang bertaburan. Di kejauhan, terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan, memecah keheningan desa yang masih terlelap. Pemandangan ini, yang telah menjadi penanda kehidupan pedesaan Indonesia selama berabad-abad, kini menghadapi ancaman yang tak kasat mata namun nyata: perubahan iklim.

          Desa, dengan segala kesederhanaannya, selalu menjadi potret harmoni antara manusia dan alam. Namun, dalam pusaran globalisasi dan modernisasi yang kian deras, desa-desa kita kini terombang-ambing mencari arah. Di satu sisi, ada hasrat yang menggebu untuk membangun dan maju.

          Di sisi lain, ada kewajiban moral untuk menjaga warisan leluhur dan kelestarian lingkungan. Dilema ini menuntut kebijaksanaan yang dalam, bukan penolakan buta terhadap perubahan atau penerimaan tanpa syarat atas modernisasi.

          Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, dari 83.813 desa di Indonesia, masih ada 11.090 desa yang tergolong tertinggal (BPS, 2021). Angka ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di desa memang telah menjadi keniscayaan.

          Jalan-jalan mulus kini membelah perbukitan, listrik menerangi hingga pelosok terjauh, dan internet mengalir deras membawa informasi dari seluruh penjuru dunia. Namun, di balik kemajuan ini, tersembunyi ancaman yang tak kalah nyata: erosi budaya dan eksploitasi alam yang tak terkendali.

          Sementara itu, perubahan iklim mengintai bagai macan belang, siap menerkam kapan saja. Kemarau panjang dan banjir kini silih berganti tanpa dapat diprediksi. Para petani, yang selama ini mengandalkan kearifan lokal dalam membaca tanda-tanda alam, kini kebingungan menghadapi musim yang seolah tak lagi beraturan. Hasil panen terancam, dan dengan demikian, ekonomi desa pun ikut terguncang.

Menemukan Jalan Tengah

          Lantas, bagaimana kita menyikapi dilema ini? Haruskah desa membatu dalam tradisi usang, menolak segala bentuk perubahan? Atau justru berlari mengejar modernitas tanpa henti, mengabaikan kearifan lokal yang telah teruji waktu? Jawabannya, tentu saja, terletak pada kebijaksanaan untuk menemukan jalan tengah.

          Mari kita lihat kearifan lokal sebagai kompas dalam memandu arah pembangunan berkelanjutan. Sistem subak di Bali, misalnya, telah membuktikan diri sebagai contoh harmoni yang pas antara kebutuhan manusia, pelestarian alam, dan penghormatan terhadap dimensi spiritual. Inilah model pembangunan desa berwawasan lingkungan yang bukan sekadar slogan kosong, melainkan praktik nyata yang telah bertahan berabad-abad.

          Dalam konteks modern, pembangunan desa yang berkelanjutan dapat diwujudkan melalui berbagai inisiatif. Pemanfaatan energi terbarukan, seperti panel surya dan kincir angin, dapat menjadi solusi untuk elektrifikasi desa tanpa merusak lingkungan.

          Pertanian organik bukanlah langkah mundur, melainkan lompatan jauh ke masa depan yang menjamin kesuburan tanah dan kualitas pangan. Ekowisata membuka mata dunia akan keindahan desa yang tersembunyi, sekaligus membuka aliran devisa bagi warga desa.

          Studi yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2023 menunjukkan bahwa desa-desa yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan memiliki tingkat ketahanan terhadap dampak perubahan iklim yang lebih tinggi dibandingkan desa-desa yang tidak (KLHK, 2023). Ini menegaskan bahwa pendekatan holistik dalam pembangunan desa bukan hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi dan sosial.

          Pendidikan lingkungan sejak dini menjadi kunci untuk menanamkan cinta alam dalam sanubari generasi muda. Mereka harus paham bahwa mereka bukan hanya pewaris, tapi juga penjaga bumi pertiwi. Bank sampah dan pengolahan limbah mandiri dapat mengubah masalah menjadi berkah, menciptakan lingkungan yang bersih sekaligus membuka peluang ekonomi kreatif.

          Yang tak kalah penting, semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat desa harus ditransformasikan menjadi gerakan kolektif dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Dengan bersatu padu, tak ada yang mustahil untuk diwujudkan.

          Pembangunan desa dan adaptasi terhadap perubahan iklim ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan demi masa depan yang lebih cerah dan berkesinambungan. Kita harus membangun desa dengan bijaksana, memadukan tradisi dan inovasi, menjaga keseimbangan alam semesta, agar generasi mendatang dapat mewarisi bumi yang lestari.

          Bayangkan sebuah desa di masa depan, di mana panel surya berjajar rapi di atap-atap rumah, menghasilkan listrik bersih untuk kebutuhan warga. Di sawah-sawah, petani menggunakan teknik pertanian presisi yang ramah lingkungan, menghasilkan panen melimpah tanpa merusak tanah.

          Anak-anak belajar di sekolah yang dikelilingi kebun sayur dan pohon buah, memahami sejak dini pentingnya menjaga keseimbangan alam. Sementara itu, di balai desa, warga berkumpul untuk mendiskusikan proyek-proyek pembangunan berkelanjutan, memadukan kearifan lokal dengan teknologi modern.

          Matahari kini mulai terbenam di ufuk barat, meninggalkan jejak jingga yang memukau di langit desa. Namun, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini ada secercah harapan yang lebih terang di mata para penduduk desa. Mereka telah memahami bahwa dengan kearifan lokal yang dipadukan dengan teknologi modern, desa mereka akan terus bersinar, menjadi mercusuar harapan di tengah ancaman perubahan iklim yang mengglobal.

          Inilah warisan terindah yang dapat kita berikan kepada anak cucu di masa depan: desa yang berdaya, di mana iklim tak lagi merajalela. Sebuah desa yang tidak hanya bertahan, tetapi berkembang dan maju, menjadi contoh nyata bagaimana manusia dan alam dapat hidup berdampingan dalam harmoni yang sempurna.(*)

- Advertisement -
spot_img
spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img