spot_img
Friday, October 18, 2024
spot_img

Menduga Bencana dari Toponim

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Farizky Hisyam
Alumni Program Studi Fisika
Universitas Brawijaya

          Setiap tahunnya, tanggal 13 Oktober diperingati sebagai Hari Internasional untuk Pengurangan Risiko Bencana. Menurut UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik, penyadaran, maupun peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, disebut sebagai mitigasi bencana.

- Advertisement -

          Mendengar kata mitigasi bencana, kita kerap membayangkan program yang menyedot anggaran triliunan rupiah. Padahal, apabila kita gali, mitigasi bencana telah diajarkan dan diwariskan leluhur kita dalam wujud kearifan lokal (local wisdom). Sering kali pesan leluhur tersebut disampaikan melalui tutur lisan secara turun-temurun. Akibatnya, sulit dibedakan antara fakta maupun legenda.

          Sebagai contoh, tradisi “smong” di masyarakat Pulau Simeulue, Aceh, menyelamatkan penduduk pulau itu dari tsunami Samudera Hindia 2004. Smong mengajarkan masyarakat Simeulue untuk menjauhi pantai begitu terjadi gempa besar. Tradisi lisan tersebut timbul berdasarkan pengalaman leluhur mereka dalam peristiwa tsunami 4 Januari 1907. Selain tradisi, sebagian kearifan lokal terekam dalam nama tempat atau toponim.

Toponim: Informasi Awal Bencana

          “Apalah arti sebuah nama?” Begitulah kutipan populer dalam tragedi “Romeo and Juliet” gubahan William Shakespeare. Walaupun terkesan sepele, dalam sudut pandang toponimi, nama tempat memiliki arti penting terkait peristiwa alam yang terjadi saat tempat tersebut diberi nama.

          Toponimi (bahasa Yunani “topos” artinya “tempat” dan “onoma” berarti “ilmu”) merupakan ilmu yang mempelajari asal-usul penamaan tempat. Sementara itu, nama tempat dikenal sebagai “toponim.” Penamaan tempat memberikan informasi ingatan kolektif masyarakat setempat.

          Toponim dapat berkaitan dengan bentang alam (contoh: Tlogomas), aktivitas manusia (Guyangan), nama tokoh (Batu), harapan (Sukoharjo), peristiwa sejarah (Kutobedah), bangunan (Klojen), flora (Tanjung), hingga fauna (Kedungbanteng) yang dijumpai di tempat tersebut. Menariknya, belakangan ini muncul kajian kaitan toponim dan potensi bencana di suatu wilayah.

          Lindu besar disertai tsunami dan likuifaksi yang melanda Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala), Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 menunjukkan, wilayah yang terdampak parah memiliki nama dalam bahasa Kaili yang berkaitan erat dengan bencana.

          Sebagai contoh, Jono Oge (banyak lumpur), Rogo (hancur), Duyu (tanah longsor), Tondo (pinggiran di atas tanah longsor), Beka (tanah terbelah), hingga Tanaruntu (tanah runtuh) merupakan daerah yang terimbas parah likuifaksi dan gempa. Daerah-daerah tersebut oleh suku Kaili dihindari sebagai tempat hunian. Seiring dengan pembangunan Palu, wilayah tersebut berganti menjadi pemukiman padat penduduk.

          Salah satu desa yang terdampak parah guncangan dahsyat gempa Cianjur, Jawa Barat, 21 November 2022 adalah Desa Cieundeur. Desa tersebut berada 7,5 kilometer dari pusat gempa. Dalam artikel “Toponym usage in response to the earthquake disaster in Cianjur Regency” (2023) disebutkan, “eundeur” dalam bahasa Sunda berarti “bergetar.” Masih di Jawa Barat, “Tasikmalaya” berarti “lautan bukit.” Dalam versi lain diartikan “pasir bertebaran.” Hal ini merupakan gambaran kedahsyatan letusan Galunggung 8-12 Oktober 1822.

          Terkait bencana erupsi Marapi dan banjir bandang awal tahun 2024 lalu, BRIN menemukan toponim yang berkaitan erat dengan bencana di Sumatera Barat. Toponim “Lidah Api” di Kabupaten Agam menandai wilayah tersebut pernah “dijilat” lahar Gunung Marapi. “Timbo Abu” di Kabupaten Pasaman dahulunya pernah tertimbun abu vulkanik Gunung Talamau. Sementara itu, Padang Timbalun, di Pasaman Barat berarti ilalang yang bergelombang akibat gempa bumi.

          Penulis juga merasakan pengalaman terdampak bencana banjir awal tahun 2020 di Jakarta. Pada saat itu penginapan penulis terkepung genangan air akibat hujan deras semalam. Penulis baru menyadari toponim penginapan tersebut, Rawamangun, berarti daerah itu dulunya merupakan rawa-rawa yang lembab dan berair.

Toponim dan Bencana di Malang Raya

          Toponim di Malang Raya juga menarik untuk dikaji. Beberapa toponim berkaitan dengan potensi banjir dan longsor ditemukan di Desa Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu. Kajian arkeologi menunjukkan, kawasan itu berulang kali terkena luapan banjir Sungai Brantas sehingga sempat “terpendam.”

          Kisah bencana banjir juga terabadikan dalam asal-usul nama Desa Dadaprejo. Dikisahkan pada saat pendirian desa tersebut, terdapat pohon dadap yang terdampar usai hanyut terbawa banjir bandang.

          Di Kota Malang, toponim Bareng berarti “jembar ereng-ereng” yang dimaknai kawasan luas dengan kondisi topografi berupa lereng. Berdasarkan peta multibencana BPBD Kota Malang, Bareng tergolong berpotensi sedang hingga tinggi bencana banjir dan longsor.

          Sebaliknya “Jenggrik” dan “Ngaglik” relatif aman dari banjir karena keduanya memiliki makna “tempat yang tinggi.” Sementara itu, kawasan padang rumput yang memanjang di tepi aliran Brantas dikenal sebagai “Oro-oro Dowo.” Saat ini “oro-oro” tersebut menjadi pemukiman.

          Menariknya, apabila kita melihat peta Kota Malang tahun 1923, tercantum sejumlah toponim “Ledok.” Tercatat toponim “Ledok”, “Ledok Wetan”, “Ledokkajoetangan”, “Ledokklodjen”, dan “Temenggoengan Ledok” yang sekarang menjadi kawasan Kampung Putih, Kampung Sekabrom, Kampung Kayutangan Heritage, dan Kampung Biru. Ledok berarti “tanah cekung.” Daerah “ledok” ini merupakan daerah rawan genangan air saat musim hujan.

          Sementara itu, toponim “Sumbermanjing” di Kabupaten Malang berarti mata air yang hilang atau meresap masuk ke dalam tanah. Hal ini merupakan ciri khas daerah dengan batuan berupa batugamping atau kapur. Oleh sebab itu, Sumbermanjing rentan terhadap bencana kekeringan pada musim kemarau.

          Dari hasil studi toponimi, sudah seharusnya kita mengkaji kembali kearifan lokal mengenai mitigasi bencana. Tantangan di masa mendatang adalah hilangnya memori mengenai toponim, khususnya di kalangan generasi muda. Tidak sedikit nama tempat dusun atau kampung telah diubah atau bahkan terlupakan. Tugas kita adalah merawat ingatan tersebut dengan cara menggali, menginvetarisasi, dan melestarikan toponim. Sebab, toponim terbukti mampu diandalkan dalam memitigasi bencana.(*)

- Advertisement -
spot_img
spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img