Oleh: Oman Sukmana
Guru Besar FISIP dan Ketua Program Doktor Sosiologi,
Universitas Muhammadiyah Malang
Semua menyadari guru memiliki peran sangat penting dalam membangun bangsa. Besarnya peran dan jasa guru bagi bangsa, maka guru diberi penghargaan yang sangat mulai, yakni sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Guru Diibaratkan sebagai pahlawan karena mereka berjuang untuk mendidik dan membimbing siswa, meskipun seringkali tidak mendapatkan penghargaan yang setimpan atas usaha dan dedikasi mereka.
Dalam konteks sistem pendidikan nasional, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Secara umum, ruang pendidikan adalah lingkungan di mana proses belajar mengajar berlangsung, mencakup segala aspek fisik, sosial, dan psikologis yang memengaruhi interaksi antara siswa, guru, dan materi pelajaran. Ruang pendidikan berperan krusial dalam membentuk pengalaman belajar yang efektif dan menyenangkan, membantu siswa untuk tumbuh secara akademis dan sosial.
Proses pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan, suatu masa yang tidak mesti sama bahkan cenderung berbeda dengan masa kini. Peserta didik yang berada di bangku sekolah, dewasa ini dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan bermanfaat baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya.
Namun dewasa ini, guru sang ‘’Pahlawan Tapa Tanda Jasa’’ ini sedang dihantam ancaman badai krisis pendidikan yang menyebabkan gugur menjadi ‘’Pahlawan Tanpa Daya.’’ Salah satu bentuk ketidakberayaan guru ditandai oleh bergesernya persoalan yang terjadi di ruang (ranah) pendidikan ke ruang (ranah) pengadilan. Apa yang dilakukan oleh guru untuk tujuan mendidikan anak kemudian menjadi persoalan ancaman hukuman di ruang pengadilan. Guru menjadi pesaikitan di ruang pengadilan. Dewasa ini banyak sekali kasus guru pendidik yang menjadi pesakita di ruang pengadilan karena dianggap melakukan tindakan kekerasan kepada anak. Salah satu contoh adalah kasus guru Supriyani. Dilansir dari SetikSulsel (Detik.Com/23/10/2024), Supriyani guru honorer di Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara menjadi tersangka penganiayaan terhadap seorang siswa yang merupakan anak polisi. Supriyani dengan tegas membantah menganiaya muridnya dan menganggap tuduhan penganiayaan tersebut sebagai tuduhan yang tidak berdasar.
Dalam melaksanakan tugas profesionalnya, guru mendapat jaminan perlindungan secara formal yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor: 10 tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jaminan perlindungan ini merupakan upaya melindungi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas, yang meliputi perlindungan: hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, dan/ atau hak atas kekayaan intelektual. Perlindungan hukum mencakup perlindungan terhadap: tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan/ atau perlakuan tidak adil, dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/ atau pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Namun demikian, seorang guru perlu memahami terkait kewajiban dalam memberikan perlindungan kepada anak. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/ atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Maka sangat penting literasi guru dalam memahami bentuk tindakan kekerasan pada anak di ruang pendidikan. Seorang guru memiliki peran sentral dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung perkembangan siswa. Melalui literasi yang baik, guru dapat mengenali berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, verbal, maupun emosional, yang mungkin terjadi di dalam kelas atau lingkungan sekolah.
Pemahaman ini memungkinkan mereka untuk menghindari melakukan bentuk tindakan kekersan dan segera mengambil tindakan yang tepat dan cepat, baik dalam mencegah kekerasan maupun menangani kasus yang sudah terjadi di lingkungan pendidikan. Selain itu, dengan memahami dampak kekerasan terhadap perkembangan anak, guru dapat lebih peka terhadap kebutuhan emosional dan psikologis siswa, serta membangun hubungan yang lebih baik dengan mereka.
Urgensi literasi guru bukan hanya meningkatkan kesadaran, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya iklim pendidikan yang positif dan inklusif. Kita berharap guru sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” tidak terancam menjadi “Pahlawan Tanpa Daya.”(*)