Oleh: Nissa Melinda, S.Psi
Guru BK SD Islam Sabilillah Malang
Di era digital ini, istilah “hustle culture” semakin sering kita dengar. Budaya yang memuja kerja keras tanpa henti, seringkali dengan mengorbankan waktu pribadi dan kesehatan mental, seolah menjadi standar yang harus diikuti. Meskipun ambisi dan kerja keras adalah kunci kesuksesan, apakah kita benar-benar perlu merelakan kesejahteraan mental kita demi mencapai tujuan tersebut?
Hustle culture merupakan fenomena sosial yang berkembang pesat belakangan ini, terutama di kalangan generasi muda yang aktif di dunia digital. Budaya ini menekankan pada nilai kerja keras tanpa henti, di mana individu didorong untuk selalu produktif dan mencapai tujuan dengan cara yang intensif.
Konsep ini seringkali disebarkan melalui media sosial, di mana orang-orang berbagi pengalaman dan pencapaian mereka, menciptakan standar yang tinggi dan seringkali tidak realistis tentang apa yang dianggap sebagai kesuksesan. Hustle culture mempromosikan ide bahwa untuk mencapai kesuksesan, kita harus terus-menerus bekerja, bahkan jika itu berarti mengabaikan kebutuhan dasar seperti tidur dan istirahat.
Di media sosial, kita sering melihat orang-orang yang membanggakan diri karena bekerja lembur, mengorbankan akhir pekan, dan tidak punya waktu untuk bersantai dengan keluarga. Namun, yang harus kita tanyakan adalah apakah itu benar-benar cara yang sehat untuk mencapai impian kita?
Satu sisi positif dari hustle culture adalah motivasi yang bisa diberikan. Melihat orang lain yang berhasil berkat kerja keras mereka dapat memicu semangat yang lainnya untuk berjuang. Namun, jika kita tidak hati-hati, hal ini dapat berujung pada munculnya tekanan berlebihan pada diri sendiri. Banyak orang merasa terjebak dalam perlombaan tanpa akhir, di mana mereka merasa tidak cukup baik jika tidak terus bekerja.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak individu yang terjebak dalam budaya ini akan mengalami kelelahan mental dan fisik, yang dikenal sebagai burnout. Maraknya dampak dari fenomena ini menjadi perhatian yang serius, terutama di kalangan pekerja muda yang merasa harus terus-menerus bersaing di era global ini. Bahkan, Jepang sampai memiliki kata khusus untuk mendeskripsikan fenomena ini, yaitu “Karoshi” yang artinya death from overwork.
Kritik terhadap hustle culture semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Banyak ahli yang berpendapat bahwa budaya ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga dapat berdampak negatif pada produktivitas jangka panjang. Ketika seseorang merasa tertekan untuk selalu bekerja, kualitas kerja mereka bisa menurun, sehingga akan mengarah pada hasil yang tidak memuaskan.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional merupakan kunci untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan. Seringkali, keberhasilan diukur melalui pencapaian materi dan status, sementara kebahagiaan sering kali terabaikan.
Banyak orang yang meraih kesuksesan masih merasa tidak puas atau kehilangan makna dalam hidup mereka, karena mereka terjebak dalam siklus kerja yang tidak berujung. Banyak orang yang bekerja berlebihan hingga kelelahan, yang pada akhirnya justru mengurangi efisiensi dan kinerja mereka.
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa sukses bukan hanya tentang kerja keras. Namun kualitas kerja, mindset, kreativitas, dan inovasi juga tak kalah penting. Mengambil waktu untuk istirahat dan mengisi ulang energi bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil kerja kita. Dengan mengombinasikan berbagai elemen tersebut, kita dapat menemukan keseimbangan dalam bekerja dengan cara yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Sebagai alternatif, beberapa konsep baru mulai muncul. Seperti “slow living” dan pendekatan yang lebih berkelanjutan terhadap kerja. Pendekatan ini menekankan pentingnya istirahat, refleksi, dan waktu untuk diri sendiri sebagai bagian dari proses kreatif dan produktif.
Dengan mengadopsi pola pikir ini, individu dapat meraih kesuksesan tanpa harus mengorbankan kesehatan mental dan fisik mereka. Ini menjadi tantangan bagi masyarakat untuk menemukan makna sukses dan produktivitas dalam konteks bekerja yang lebih sehat.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan agar tidak terjebak dalam budaya “hustle” ini? Pertama, kita perlu meredefinisi apa arti sukses bagi diri kita sendiri. Apakah itu sekadar pencapaian materi, ataukah juga mencakup kebahagiaan dan kesehatan mental diri sendiri. Kedua, mari kita bangun budaya yang lebih positif, di mana istirahat dan waktu untuk diri sendiri dihargai, bukan dianggap sebagai tanda kelemahan.
Dalam dunia yang semakin kompetitif, penting untuk mengingat bahwa kita bukan sekadar mesin kerja. Kita adalah individu dengan kebutuhan, impian, dan batasan. Mari kita gali potensi kita tanpa harus terjebak dalam hustle culture yang merugikan. Karena pada akhirnya, kesuksesan sejati adalah ketika kita bisa menjalani hidup dengan penuh makna, bukan sekadar mengejar target yang tak ada habisnya.
Menghargai kerja keras itu penting, tetapi kita juga harus menghargai waktu untuk diri sendiri. Menciptakan budaya kerja yang sehat berarti memberikan ruang bagi kreativitas, beristirahat, dan melakukan interaksi sosial. Mari kita ingat bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar target, tetapi juga tentang menikmati perjalanan yang kita tempuh.
Kesimpulannya, hustle culture menawarkan motivasi dan inspirasi, tetapi juga membawa dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental individu. Penting bagi kita untuk mengenali kedua sisi ini dan mencari keseimbangan yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami dan mengadopsi pendekatan yang lebih berkelanjutan, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan individu, sambil tetap mencapai tujuan dan impian kita.(*)