Oleh: Ahmad Fatoni
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
Malang Posco Media – Miris dan menyedihkan. Betapa seorang guru kini posisinya begitu lemah tak berdaya. Sungguh kurang adab ketika seorang siswa, atas kebohongannya, ingin memenjarakan gurunya sendiri. Publik pun marah saat menyimak kabar tentang nasib Supriyani, seorang guru honorer SDN Baito, Konawe Selatan, yang harus berurusan dengan polisi atas dasar tuduhan.
Celakanya, orangtua si anak terlalu arogan. Orangtua semacam ini tidak sadar jika perbuatannya kelak bisa mencelakakan masa depan si anak. Berita tentang Supriyani mengingatkan pada kisah dalam sejarah Islam tentang Khalifah Umar bin Khattab dengan seorang ayah yang putus asa atas kenakalan anaknya. Umar didatangi oleh seorang ayah beserta anaknya.
Sang ayah bercerita kepada Umar betapa dia sudah tidak sabar lagi mendidik anaknya. Si anak diceritakan sangat nakal. Sang ayah lalu meminta Sang Khalifah agar menasihati si anak. Umar kemudian bertanya kepada si anak. “Benarkah apa yang dikatakan ayahmu wahai pemuda? Dan jika benar, kenapa kau melakukannya?.”
Si anak rupanya sudah lama memendam pertanyaan bagi Khalifah Umar, lalu berkata “Wahai Khalifah, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, saya ingin bertanya, adakah kewajiban orang tua terhadap anaknya?” Sambil melihat si anak itu Umar menjawab “Ada 3 wahai pemuda. Pertama, memberikan ibu yang baik bagi anaknya, sebab ibu yang tidak baik akan membuat malu sang anak di kemudian hari. Kedua, memberikan nama yang baik. Ketiga, memberikan pendidikan agama.”
Lantas, si anak berkomentar. “Ketahuilah wahai baginda, ayahku ini tidak memberikan ibu yang baik bagiku, ayahku juga memberiku nama yang kurang baik (diriwayatkan anak tersebut diberi nama dalam bahasa Arab yang berarti Kelelawar Jantan) dan juga tidak pernah mengajariku satu pun ayat Al-Quran.” Menanggapi hal ini Khalifah Umar berkata kepada sang ayah tadi. “Ketahuliah wahai orang tua, engkau telah berbuat zhalim terhadap anakmu jauh sebelum dia berbuat nakal terhadapmu.”
Kisah Khalifah Umar tersebut mengajarkan bahwa orangtua wajib menanamkan nilai-nilai agama sejak dini kepada anak, tentang kejujuran misalnya. Bagaimanapun, tanggung jawab orangtua sangat besar dalam mengemban amanah berupa anak.
Keteladanan Orangtua
Berat benar menghadapi berbagai kasus yang menimpa anak-anak hari-hari ini seperti suka berbohong, membunuh, berzina, dan aneka perilaku kurang ajar lainnya. Kendati masih dalam kategori usia anak-anak, mereka telah mempertontonkan perilaku-perilaku tak pantas yang tidak lagi bisa dianggap sebagai bentuk “kenakalan” biasa, melainkan sudah menjurus pada perilaku kriminal.
Fenomena di atas menuntut perhatian serius sebab bukan suatu hal yang mustahil bila kasus-kasus seperti itu akan menjalar ke anak-anak yang lain. Orangtua, sebagai sosok pendidik di rumah, semestinya memberikan contoh kebaikan di hadapan anak-anaknya, agar kepribadian yang mereka miliki juga baik.
Keteladanan orangtua di rumah adalah suatu keniscayaan. Terlebih anak yang cenderung ingin meniru setiap perilaku yang terlihat. Jika orangtua atas nama kasih sayang cenderung membela keburukan anak, itu mencerminkan keburukan keluarga tersebut.
Intinya, pendidikan yang diterima anak dari orangtualah yang akan menjadi dasar kepribadian anak. Orangtua jangan sampai membiarkan pertumbuhan anak berjalan tanpa keteladanan di rumah, atau hanya diserahkan bulat-bulat kepada guru sekolah agar disulap menjadi anak yang baik. Sialnya, guru di sekolah malah dilarang untuk menegur atau menghukum anak yang kurang ajar. Inilah kesalahan fatal yang banyak menghinggapi pola pikir banyak orangtua.
Stop Kriminalisasi Guru
Memang, tak dapat dimungkiri terdapat sejumlah guru yang melampaui batas saat mendidik siswa di sekolah. Namun, banyak juga kasus guru yang kerap mendapat perlakuan buruk akibat profesi mereka. Tak jarang pula guru dijerat undang-undang perlindungan anak. Kenyataannya, terbukti banyak terjadi peristiwa yang menyebabkan guru betul-betul dalam posisi tidak berdaya dan menjadi korban.
Pertanyaannya, mengapa nasib guru semisal Supriyani harus duduk di kursi terdakwa? Padahal terdapat sejumlah regulasi yang melarang kriminalisasi terhadap guru. Dalam putusan bernomor 1554 K/PID/2013, Mahkamah Agung menyatakan guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswanya.
Perlindungan terhadap profesi guru juga tertuang dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Perlindungan ini mencakup perlindungan dari kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil. Para penegak hukum perlu mengingat kembali kredo besar penegakan hukum, yakni mewujudkan keadilan. Hukum wajib dipisahkan dengan kepentingan kekuasaan dalam tingkatan mana pun kekuasaan itu. Para penegak hukum harus membuktikan bahwa hukum memang untuk meringkus pelaku kriminal, bukan mengkriminalisasi seseorang yang tidak melakukan tindakan kriminal.
Kasus Supriyani menunjukkan intimidasi orangtua siswa yang berlebihan serta semangat kriminalisasi dari penegak hukum sendiri. Hal ini jusru dapat mengancam kondisi psikologis guru dalam menjalankan perannya sebagai ‘pembantu orangtua” dalam pendidikan anak.(*)