Rangkaian kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam bentuk debat memasuki babak akhir. Kampanye debat yang disiarkan media elektronik dan beragam platform media sosial (medsos) itu menyita perhatian masyarakat, termasuk para warganet. Kumpulan video potongan debat Pilkada bermunculan di medsos. Ada penampilan debat yang bagus, ada pula yang lucu, konyol, dan penuh gimik. Mozaik video debat Pilkada oleh warganet dinamai Debat Pilkada Core.
Debat Pilkada Core merupakan fenomena yang menampilkan kompilasi momen-momen lucu bahkan kontroversial dalam forum terbuka atau debat calon kepala daerah. Aneka kekonyolan yang ditampilkan sejumlah calon kepala daerah itu viral di banyak platform medsos.
Ada kandidat yang berinovasi akan mengubah padi jadi beras, brambang jadi brambang goreng. Ada pula kandidat yang justru akan meningkatkan inflasi, ada yang tak bisa mengeja kata digitalisasi, bahkan ada yang menjamin pemilihnya masuk surga.
“… dan yang ketiga, saya akan membuat produk baru seperti brambang (bawang merah), kita buat brambang goreng dan sebagainya. Beras akan kita buat menjadi e.. padi akan kita buat menjadi beras. Saya kira itu,“ ucap Ita, calon Bupati Nganjuk nomor urut 2 pada forum debat Bupati Nganjuk. Ini adalah salah satu contoh cuplikan dari beberapa momen debat Pilkada yang viral di medsos dengan tajuk Debat Pilkada Core.
Munculnya konten debat Pilkada Core didominasi oleh eksposur kelemahan para kandidat. Mulai dari ketidaksiapan, kurangnya pemahaman, hingga berbagai kejanggalan yang tampak selama debat. Konten semacam ini juga sering menampilkan sisi buruk kandidat dalam forum publik. Fenomena ini bisa mengindikasikan lemahnya kemampuan berdebat dan rendahnya kualitas sang calon pemimpin.
Kualitas Kandidat
Ajang debat politik sejatinya bisa membuka topeng kapabilitas para calon kepala daerah. Debat politik sebenarnya merupakan sarana untuk menguji calon pemimpin. Melalui debat Pilkada diharapkan rakyat dapat menilai kapasitas para calon pemimpin mereka. Kualitas para kandidat akan tercermin di pangung debat bahwa ia merupakan calon pemimpin yang berkualitas dan kapabel atau hanya pemimpin lucu-lucuan belaka.
Pertarungan citra sang kandidat Pilkada sebenarnya dipertaruhkan saat tampil di ajang debat. Lewat debat akan terlihat siapa kandidat yang tenang dan yang mudah terpancing emosi, yang lentur dan yang kaku, yang cerdas dan tidak, yang wawasannya luas dan yang seperti katak dalam tempurung, program yang realistis dan yang utopia demi pencitraan belaka. Debat bisa jadi ajang untuk “menguliti” dan menilai calon pemimpin terbaik.
Para calon pemimpin memang harus diuji. Lewat acara debat Pilkada, para pasangan calon akan mempertaruhkan visi, misi, dan program kerjanya. Kualitas sang calon kepala daerah bisa terlihat dari pemaparan dan realisasi dari rumusan visi, misi, dan program kerja mereka. Aneka gagasan mereka akan terlihat di forum debat. Apakah kandidat seorang yang benar-benar menguasai permasalahan masyarakat dan menawarkan solusi yang tepat guna menjawab aneka permasalahan tersebut atau tidak.
Nelson Mandela pernah mengatakan bahwa seorang pemimpin yang baik itu seharusnya dapat berdebat dengan terus terang dan tidak setengah-setengah. Ia tahu akhirnya harus saling debat dengan lawannya. Dengan itulah ia akan muncul lebih baik. Untuk itu, ajang debat bukan sekadar panggung guyonan yang hanya penuh gimik politik, lelucon, dan ajang saling serang antar kandidat belaka.
Mendebat Kampanye Debat
Tak semua kampanye debat berjalan mulus. Di beberapa daerah debat kisruh hingga batal digelar. Di beberapa panggung debat juga ada yang terlihat hanya sekadar formalitas, bagian dari penyelenggaraan tahapan Pilkada. Tak jarang pula debat banyak mengumbar omong kosong, janji-janji politik, dan aneka gimik politik. Kalau ini yang terjadi maka ajang kampanye debat justru perlu untuk didebat.
Kampanye debat harusnya bisa dijadikan salah satu metode kampanye untuk meyakinkan pemilih. Di debat ini pemilih bisa menimbang apakah para kandidat mempunyai gagasan yang sesuai dengan aspirasi publik. Selain itu, di debat juga akan terlihat bagaimana gestur dan cara bicara sang calon kepala daerah. Bagaimana mereka merespon pertanyaan juga akan terlihat di debat. Di sinilah citra diri sang kandidat akan terlihat.
Para kandidat kepala daerah telah menggunakan beragam cara guna menarik simpati dan menaikkan elektabilitas. Namun sayang, karena kualitas yang buruk dari beberapa calon pemimpin daerah itu justru jadi cibiran dan cemoohan banyak orang. Panggung debat Pilkada yang idealnya bisa jadi ajang adu gagasan yang konstruktif justru hanya jadi serupa panggung dagelan yang mengundang gelak tawa bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Kampanye debat sejatinya bukan hanya ajang obral janji, omong kosong tak berdasar data, hanya sampaikan masalah bukan solusi, saling serang lawan, dan sejumlah hal buruk lain hanya akan membuat masyarakat muak. Kampanye debat idealnya ruang beradu gagasan yang konstuktif untuk kemajuan daerah. Dengan begitu ajang debat bisa jadi referensi masyarakat calon pemilih dalam menentukan calon pemimpin terbaik.
Debat Pilkada Core telah menjadi sarana kritik sosial masyarakat yang menginginkan hadirnya pemimpin terbaik. Performa kandidat ajang debat Pilkada dapat menjadi parameter kapabilitas mereka. Munculnya fenomena Debat Pilkada Core mengindikasikan pentingnya pembaharuan model kampanye debat yang tak sekadar memenuhi syarat administratif, tetapi juga harus mampu mengakomodasi harapan publik tentang kompetensi dan kualitas kepala daerah yang memadai.(*)