Guyonan, berkelakar, atau berhumor itu tak gampang. Bila tak hati-hati, diksi yang diniatkan guyonan bisa bermakna menghina. Siapa penyampai humor, di forum apa, di mana, dan kapan humor itu dilempar berkorelasi pada bagaimana orang memaknai sebuah humor. Humor di panggung komedi dengan di panggung dakwah itu tak sama. Namun di mana pun itu, humor tak boleh digunakan untuk menghina.
Antara komika (stand up comedian), pelawak, dan pendakwah itu tak sama. Semuanya memang boleh sama-sama melucu, berkelakar, atau melempar humor, namun area panggungnya berbeda. Panggung komedian itu full hiburan, sementara panggung pendakwah itu arena yang sakral. Meminjam bahasa Emile Durkheim, panggung dakwah itu arena yang hanya bisa “dimainkan” oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi sebagai agamawan dan pendakwah.
Panggung hiburan itu hanya diikat oleh nilai-nilai hiburan, tentu dengan tetap tak melanggar SARA (suku, agama, ras, antar golongan). Sementara panggung dakwah sangat sarat dengan nilai-nilai etika dan agama. Kedua sifat panggung yang berbeda inilah yang menjadikan sebuah pesan komunikasi yang sama namun bisa punya makna berbeda. Faktor siapa penyampai pesan dan arena di mana pesan itu dilontarkan turut berpengaruh.
Sebuah diksi yang terlontar dari mulut sang pelawak dengan pendakwah bisa punya makna berbeda. Kata “goblok” misalnya. Kata ini akan punya makna yang berbeda di dua panggung yang memang berbeda itu. Di sinilah salah satu akar persoalan mencuatnya kasus Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah yang “dirujak” netizen akibat diksi “goblok” yang dilontarkannya kepada seorang pedagang es teh bernama Sunhaji yang viral itu.
Pertanyaannya apakah seorang pendakwah tak boleh berhumor atau seorang kemedian tak boleh menyampaikan pesan-pesan dakwah? Jawabnya tentu saja boleh. Bahkan sebuah panggung ceramah akan menjadi menarik dan gayeng saat dibumbui humor. Demikian halnya dengan penampilan seorang komika akan lebih bermakna karena diselipi pesan-pesan tentang kebaikan seperti yang biasa dilakukan oleh para pendakwah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berhumor. Seorang penyampai humor, komika, atau pendakwah, ketika mereka menggunakan humor sebagai pendekatan dalam menyampaikan pesan-pesan komunikasinya maka mereka harus tahu umpan papan. Sebuah humor akan pas ketika berada di waktu, situasi, tempat, dan panggung yang tepat.
Menertawakan Diri Sendiri
Kata salah satu begawan humor Indonesia, Kiai Abdurahman Wahid alias Gus Dur, bahwa humor tertinggi adalah ketika kita mampu menertawakan diri sendiri. Sementara humor terburuk adalah ketika kita menertawakan orang yang lemah. Inilah sulitnya berhumor. Tak semua orang mampu menertawakan dirinya sendiri. Tak semua orang rela menguliti aibnya sendiri untuk bahan guyonan. Dengan kita mampu menertawakan diri sendiri di situlah esensi humor terlihat.
Seorang komika difabel pertama di Indonesia asal kota Malang bernama Dani Aditya bisa menjadi contoh. Lihat saja dalam setiap penampilan Dani di atas panggung. Dani berhasil memanen tawa dengan memanfaatkan kekurangan tubuhnya. Jalan yang tidak sempurna, tampil di atas kursi roda, bicara yang terbatah-bata, dan wajah yang tidak tampan, telah menjadi bahan lelucon Dani yang mengundang tawa banyak orang.
Segala sisi kekurangan Dani akan menjadi lucu saat yang membawakan adalah Dani sendiri, bukan komika lain. Karena kalau sampai komika lain yang menjadikan ketidaksempurnaan Dani menjadi bahan lawakan, maka bisa berarti komika itu menghina Dani. Sang komika berarti telah mengejek kekurangan fisik Dani. Seperti ungkapan Gus Dur bahwa humor yang buruk adalah humor yang merendahkan kaum lemah.
Dalam kaitan ini, kelakar yang disampaikan Miftah Maulana dengan menyebut pedagang es teh dengan kata “goblok” bisa bermakna sebagai cara menertawakan kelemahan orang lain. Jadilah kata tersebut tak bisa dianggap sebuah kelakar tetapi justru jadi hinaan. Apalagi forumnya adalah arena dakwah yang mestinya menjunjung sopan santun, etika, dan adab. Sepertinya sang pendakwah sedang menunjukkan superioritasnya dengan merendahkan kaum lemah.
Situasi ini semakin buruk karena kata “goblok” itu disampaikan di depan publik, di hadapan massa yang jumlahnya sangat besar. Apalagi yang menyampaikan mengaku sebagai Gus atau ulama besar yang tentu perilakunya akan menjadi contoh bagi jamaahnya. Tentu tak pantas seorang pendakwah yang menjadikan orang lemah jadi bahan tertawaan di panggung dakwah.
Serius
Melempar humor atau guyonan memang tak gampang. Apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang lucu belum tentu bermakna demikian di benak orang lain. Apalagi kalau orang yang menilai humor atau guyonan kita itu berseberangan secara ideologi, politik, dan beragam perbedaan latar belakang. Bisa jadi guyonan yang diniatkan seseorang justru dikonstruksikan orang lain sebagai sebuah hinaan.
Arwah Setiawan (2021) dalam bukunya bertajuk “Humor itu Serius” menegaskan bahwa humor itu sesuatu yang serius. Mencipta humor itu butuh keseriusan, demikian halnya dengan efeknya. Maka, jangan main-main dengan humor. Efek yang ditimbulkan dari humor bisa super dahsyat. Seorang komika misalnya, perlu serius riset dan berangkat dari keresahan untuk menemukan materi kelucuan.
Humor sejatinya boleh dimainkan oleh siapa saja. Humor bukan hanya dominasi para pelawak dan komika. Seorang pendakwah juga boleh berhumor dan memang tak diharamkan untuk itu. Tetapi mengingat humor itu adalah sesuatu yang serius, baik proses mencipta maupun efeknya, maka siapapun yang berhumor perlu berhati-hati dan tetap mengedepankan etika, sopan santun, dan adab. Kalau tidak, maka humor yang sejatinya dibuat untuk menghibur dan mengundang tawa justru bisa jadi bencana.
Jangan asal guyon atau waton njeplak. Ingat, mulutmu adalah harimaumu. Sampaikan humor yang berkelas, cerdas, beretika, dan beradab. Mencuatnya kasus Miftah Maulana ini bisa jadi pelajaran berharga bagi para pejabat publik, politisi, pemimpin umat, dan orang-orang yang punya banyak pengaruh (influencer) agar berhati-hati saat melakukan komunikasi publik. (*)