MALANG POSCO MEDIA – Kebijakan pemerintah pusat terhadap pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen bakal berdampak signifikan di daerah. Termasuk di Malang Raya.
Pemerintah daerah (pemda) di Malang Raya diminta menyiapkan strategi. Itu untuk menjaga daya beli masyarakat.
Pakar ekonomi Prof Dr Imam Mukhlis SE MSi menganalisa akan ada dampak jangka pendek dan panjang yang bisa terjadi akibat penerapan PPN 12 persen.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang (UM) ini menjelaskan penerapan PPN 12 persen secara langsung akan membebani konsumen terdampak pada kategori barang-barang yang dikenakan PPN 12 persen. Tentu akan menggerus pendapatan mereka sebagai individu karena ada tambahan pajak.
“Nantinya dampak pengenaan PPN ini tergantung dari kondisi daya beli masyarakat. Selama ini daya beli masyarakat masih terjaga dengan kondisi inflasi yang masih melandai di kisaran 1-3 persen per bulan,” tegas Imam.
Meski begitu, ditambahkan Imam, walaupun PPN ini dikenakan pada kelompok barang tertentu, namun dampaknya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat melalui proses contagion effect atau menularnya suatu pergerakan ekonomi.
Dalam jangka pendek, jelas Imam, akan terjadi penyesuaian harga barang oleh produsen dan penyesuaian daya beli konsumen. Kemudian dalam jangka panjang tambahan kenaikan PPN tersebut dapat memperkuat postur APBN yang ditopang dari penerimaan pajak pusat,
“Nah disinilah dibutuhkan strategi alokasi keuangan negara agar dapat memperbaiki daya beli masyarakat dan peningkatan kualitas layanan publik. Jika tidak dijaga ini bisa berdampak tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi,” beber akademisi yang fokus pada Bidang Ekonomi Pembangunan, Ekonomi Moneter dan Internasional ini.
Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah di daerah-daerah untuk menekan adanya gangguan daya beli masyarakat akibat PPN 12 persen? Imam menjelaskan pemerintah daerah (pemda) khususnya di Malang Raya memiliki keunggulannya tersendiri untuk menghandle kebijakan tersebut.
Diterangkannya upaya pemda pada domain kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi kewenangannya bisa dimaksimalkan.
Pada 2025 mendatang (saat kebijakan PPN 12 Persen diberlakukan) pemda di Malang Raya perlu menyesuaikan target penerimaan dan pengeluarannya dalam postur APBD masing-masing. Dalam kaitan turut mengevaluasi pertumbuhan ekonomi dalam masa kebijakan itu diterapkan.
Ia menegaskan kondisi Malang Raya yang ditopang oleh sektor pertanian, industri pengolahan dan perdagangan terbukti memliki resilience (ketangguhan) yang bagus dan sekaligus menjadi leading sektor pertumbuhan ekonomi daerah.
“Yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah adalah program inklusi pertumbuhan ekonomi sektoral dan spasial serta outward looking strategy (kebijakan berorientasi pada pasar global) melalui optimalisasi kegiatan ekspor komoditi non migas,” kata Imam.
Ia menambahkan hal ini sangat mampu dilakukan pemda di Malang Raya. Sebab Malang Raya memiliki potensi pendapatan ekonomi berorientasi pada pasar global. Yakni daya tarik daerah Malang Raya sebagai kota wisata, kota pendidikan dan kota ekonomi kreatif.
Hal yang berbeda disampaikan ekonom Universitas Brawijaya (UB) Dr Astri Warih Anjarwi. Menurutnya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen jelas berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi usaha di Kota Malang terutama pada sektor-sektor yang menjual barang dan jasa premium.
Pasalnya sebagai pajak tidak langsung PPN dibebankan pada konsumen akhir, yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa yang dikenakan pajak. Konsumen cenderung menjadi lebih berhati-hati dan selektif dalam membelanjakan uang dengan mencari alternatif produk dan layanan yang dikecualikan dari PPN atau memiliki harga yang lebih terjangkau.
“Sebagai contoh, pelanggan restoran mewah berpotensi beralih ke restoran kelas menengah atau usaha mikro yang tidak dikenakan PPN karena omzetnya belum mencapai ambang batas pengenaan pajak. Perubahan pola konsumsi ini akan mengakibatkan penurunan volume transaksi pada sektor-sektor yang bergantung pada daya beli kelas menengah ke atas ini,” ungkap Dosen Prodi Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB itu.
Untuk Kota Malang, lanjutnya, yang memiliki ketergantungan cukup besar pada sektor-sektor tersebut. Situasi ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi akibat melemahnya daya beli konsumen.
Penurunan aktivitas ekonomi akan merembet ke sektor-sektor terkait, seperti pemasok bahan baku lokal (misalnya, produsen makanan dan minuman), Tenaga kerja (pengurangan jam kerja atau PHK karena omzet menurun), dan penyedia jasa pendukung lainnya (transportasi, logistik, dan pemasaran).
“Penurunan pendapatan usaha dan berkurangnya perputaran uang dalam ekonomi daerah secara otomatis akan menekan pertumbuhan ekonomi di Kota Malang,” ungkap Astri.
Ia menambahkan kenaikan tarif PPN pasti memiliki efek domino yang akan memengaruhi perekonomian daerah secara lebih luas. Jika sektor ini melemah akibat perubahan perilaku konsumen, maka dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha tetapi juga oleh pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari retribusi, pajak daerah, atau perizinan usaha.
Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu mengambil langkah-langkah proaktif guna memitigasi dampak negatif kebijakan tersebut. Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh adalah pemberian insentif bagi usaha premium agar dapat mempertahankan harga jual dan menghindari penurunan daya beli konsumen.
“Namun pemberian insentif ini harus dirancang secara hati-hati, terukur dan tepat sasaran agar tidak menambah beban fiskal daerah. Misalnya, pemerintah daerah dapat mempertimbangkan pengurangan atau penundaan pajak daerah seperti pengurangan tarif pajak reklame bagi restoran mewah. Selain itu, insentif pajak hiburan juga dapat dipertimbangkan secara temporer bagi usaha premium yang berkaitan dengan sektor hiburan dan pariwisata,” jelas Astri.
Di samping itu, pemerintah daerah juga dapat memberikan keringanan retribusi. Seperti pengurangan biaya retribusi untuk izin usaha, parkir atau pemanfaatan lahan sementara, yang bertujuan meringankan beban operasional usaha premium.
Langkah-langkah tersebut, jika diterapkan dengan cermat, dapat membantu usaha premium tetap kompetitif, mempertahankan pasar dan mendukung stabilitas perekonomian daerah di tengah dampak kenaikan tarif PPN.
Sementara itu pemerintah pusat sudah mengumumkan tentang jenis barang dan jasa yang terkena PPN 12. Yakni rumah sakit dengan layanan VIP atau fasilitas kesehatan premium lainnya. Selain itu, institusi pendidikan bertaraf internasional dengan biaya tinggi atau layanan pendidikan premium serupa, konsumsi listrik rumah tangga dengan daya 3.600–6.600 VA
Beras dengan kualitas premium, buah-buahan kategori premium, ikan berkualitas tinggi, seperti salmon dan tuna. Selain itu udang dan crustasea mewah, misalnya king crab, daging premium, seperti wagyu atau kobe, yang memiliki harga mencapai jutaan rupiah.
Sebagai informasi, barang kebutuhan pokok dan jasa esensial tertentu tetap dibebaskan dari PPN atau dikenakan tarif lebih rendah. Kebijakan ini diatur dalam peraturan yang bertujuan melindungi akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 merupakan bagian dari UU HPP. Undang-undang tersebut mengatur penyesuaian tarif PPN secara bertahap sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan.
Kendati demikian, masyarakat diimbau untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan tarif PPN dengan memahami barang dan jasa yang terdampak.(ica/ntr/van)