Pemilihan kepala daerah (pilkada 2024) sudah usai. Sekalipun belum pelantikan, paslon nomor 1, Nurahman dan Heli Suyanto yang akan memimpin Kota Batu lima tahun ke depan. Visi pasangan ini yaitu Kota Batu Madani, Berkelanjutan, Agrokreatif, Terpadu, Unggul, Sinergi, Akomodatif, Ekologis menuju Generasi Emas 2045 (MBATU SAE).
Visi didukung oleh sembilan program (Nawa Bhakti) seperti disampaikan paslon pada Debat Publik Pertama Pilkada Kota Batu, Senin 21 Oktober 2024 Malam, yaitu pertama, peningkatan insentif bagi petugas pelayanan masyarakat dan pekerja lapangan. Kedua, peningkatan insentif bagi pendidik, tenaga kependidikan, pendidikan keagamaan dan hibah organisasi masyarakat. Ketiga, pencetakan 1.000 sarjana per tahun.
Keempat, pembangunan mall UMKM. Kelima, pembangunan kawasan industri pengolahan sampah. Keenam, pembagian hasil kepada pemerintah desa hingga maksimal Rp 5 miliar. Ketujuh, pengembangan smart and integrated farming dan pembangunan spiritual botanical garden. Kemudian, kedelapan, pembangunan sport center dan optimalisasi lapangan desa. Dan kesembilan, pembangunan Batu Artpreneur dan SMK kesenian.
Selanjutnya kita perlu memikirkan, apa yang bisa dan akan dikerjakan pemerintah baru lima tahun ke depan. Janji-janji politik kepala daerah seperti tertuang pada visi misi dan kampanye merupakan gambaran sederhana janji tersebut. Perlu diingat bahwa ranah eksekusi janji politik berbeda dengan kampanye, karena ia menuntut proses agenda setting kebijakan yang dikukuhkan melalui legitimasi legal rasional, seperti rencana pembangunan bagi pelaksana kebijakan baik pemerintah dan masyarakat.
Isu-Isu Penting
Isu menjadi unsur penting kebijakan karena ia merangkum masalah yang sedang dan kemungkinan akan dihadapi para pengambil kebijakan ke depan. Kota Batu tidak sama dengan kota/ kabupaten lain. Pertanian dan pariwisata menjadi dualisme. Isu pertanian bisa dilihat pada konteks material dan immaterial. Material yaitu eksistensi ruang (space) sebagai area bercocok tanam yang terkait aspek pemilikan dan pengelolaan lahan. Sedangkan aspek kultural meliputi cara hidup dan bekerja warga agar produktif, ramah lingkungan dan berdaya saing.
Sedangkan kepariwisataan yaitu desain pariwisata berkelanjutan yang tidak hanya menghasilkan pendapatan atau pemasukan kota, tetapi juga berkomitmen pada keseimbangan sosial dan ekologis. Terkait hal ini, isu yang tidak lekang waktu yaitu pengelolaan (management) pariwisata berbasis kapital besar dengan pariwisata berbasis komunitas atau pariwisata desa. Pariwisata berbasis kapital terbukti eksis dan melahirkan banyak industri jasa sebagai varian, sementara itu pariwisata desa meningkatkan kesejahteraan warga dan membentuk identitas sosial desa.
Terlepas dari isu-isu lokal, pemerintah kota tidak bisa menutup mata dengan isu-isu nasional seperti penanggulangan kemiskinan, penurunan angka stunting dan pemberdayaan masyarakat, maka kebijakan kota harus sinergis dengan kebijakan provinsi dan pemerintah pusat tersebut. Penulis kira para birokrat sudah memahami model-model bekerja semacam ini.
Kebijakan Sosiologis
Dalam ilmu kebijakan berkembang studi tentang kebijakan (study of policy) dan studi untuk kebijakan (study for policy). Studi tentang kebijakan menjelaskan pengetahuan dan pemahaman utuh, kompleks dan mendalam atas praktik, proses dan isi kebijakan. Sedangkan studi untuk kebijakan merupakan sumbangan multipendekatan untuk tujuan preskriptif-normatif meningkatkan kualitas kebijakan (Bahar, dkk, 2024).
Kebijakan harus mengadopsi dari sumbangan ilmu pengetahuan (science) baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial. Pada kaitan ini, sosiologi mendorong bekerjanya kebijakan. Penguasaan data-data berbasis bukti (evidence based) bertujuan meningkatkan kualitas kebijakan. Memang, semua perumus kebijakan mengklaim sudah melakukan itu. Namun yang sering “abai” kebijakan tidak menjadikan data-data sebagai asupan formulasi dan implementasi kebijakan. Di sinilah kebijakan yang berbasis sosiologis menutupi dua kelemahan tersebut.
Akhirnya, kerja mengoptimalkan kebijakan sosiologis bisa dilakukan melalui prinsip-prinsip berikut, Pertama, pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Kewajiban pemerintah melayani warga agar dapat hidup, bertahan hidup dan memenangkan hidup. Untuk dapat hidup warga memerlukan perlindungan nyawa, pemenuhan makanan layak, pakaian layak dan hunian layak.
Sementara itu, bertahan hidup meliputi perlindungan, keadilan, kesetaraan, kesehatan, pendidikan, keamanan kenyamanan dan ketertiban. Sedangkan, memenangkan hidup meliputi: kebersamaan, pemihakan, keandalan, keberdayasaingan, kemenangan dan keberlanjutan (Nugroho, 2022).
Kedua, peningkatan kualitas warga kota. Kualitas hidup kota digambarkan dari jauh pada masalah-masalah sosial warga seperti kemiskinan, kriminalitas, pengangguran dan ramah lansia. Kualitas hidup kota juga menekan kesenjangan sosial di tengah kompetisi alamiah. Hunian eksklusif (gated community) menjadi ciri khas kota, sementara itu menjamurnya lokasi bisnis menyebabkan harga tanah tidak terjangkau bagi warga kota. Kemudian yang tidak kalah penting, perlunya jaminan organisasi komunitas dan organisasi masyarakat sipil bekerja dengan baik.
Ketiga, optimalisasi birokrasi. Mesin birokrasi diandalkan untuk mengeksekusi kebijakan karena birokrasi dibekali SDM, regulasi, kelembagaan dan anggaran. Selain itu, melekat pada birokrasi yakni perencanaan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Ia tidak hanya bekerja hari ini saja, birokrasi juga sudah ada sebelum pemerintah baru bekerja. Persoalannya tidak semua birokrasi bekerja efektif.(*)