Oleh: Meylyana Brigidta Zulfanabil & Lustania Septi Anjani
Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Di era digital yang semakin maju ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi para pejabat. Media sosial membuka jalan bagi pejabat untuk lebih dekat dengan masyarakat, menyampaikan informasi secara langsung, dan mendengarkan keluhan serta masukan dengan lebih cepat.
Namun, penggunaan media sosial oleh pejabat bukan tanpa tantangan. Sebagai figur yang menjadi sorotan publik, setiap kata dan tindakan yang mereka tampilkan di media sosial dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pejabat untuk memahami bagaimana menjaga keseimbangan antara mengekspresikan diri sebagai individu dan menjalankan tanggung jawab mereka sebagai pelayan publik.
Ketika seorang pejabat memutuskan untuk aktif di media sosial, mereka harus menyadari bahwa setiap unggahan atau komentar tidak hanya mencerminkan diri pribadi, tetapi juga institusi yang mereka wakili. Mengelola akun media sosial membutuhkan kehati-hatian dalam menyampaikan informasi.
Pejabat harus memastikan bahwa pesan yang disampaikan benar-benar akurat dan tidak menimbulkan kebingungan. Mereka perlu menjaga sikap yang bijak dan empati, menghindari pernyataan yang dapat memicu konflik atau menyakiti perasaan orang lain. Media sosial bukan sekadar ruang untuk berbicara, tetapi juga tempat untuk mendengarkan dengan hati yang terbuka.
Untuk menjaga integritas, pejabat publik harus mematuhi pedoman etika dalam bermedia sosial. Kementerian PANRB telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 137/2018 yang menekankan pentingnya ASN menjaga kerahasiaan informasi negara, tidak menyebarkan hoaks, dan menggunakan media sosial secara bijaksana untuk mempererat persatuan.
Pelanggaran etika di media sosial tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada citra institusi. Kasus pengusiran pejabat di Sikka, misalnya, mencerminkan buruknya etika komunikasi elit yang dapat merusak citra daerah di mata publik.
Tantangan terbesar bagi pejabat adalah memisahkan identitas pribadi dari peran publik mereka. Terkadang, seorang pejabat ingin berbagi momen pribadi atau menyampaikan pandangan pribadi. Namun, mereka perlu mengingat bahwa setiap hal yang diunggah di ruang publik dapat berdampak luas.
Tidak ada salahnya menunjukkan sisi humanis sebagai pribadi, tetapi hal tersebut harus dilakukan dengan tetap memperhatikan dampak terhadap kepercayaan masyarakat. Pejabat yang bijak akan memilih untuk memanfaatkan media sosial sebagai jembatan yang mempererat hubungan dengan masyarakat, bukan sebagai arena untuk memperkuat ego pribadi.
Etika bermedia sosial bagi pejabat adalah tentang bagaimana mereka dapat menjadi inspirasi dan teladan. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas dan kompeten, tetapi juga hangat dan peduli. Media sosial bisa menjadi alat yang kuat untuk membangun kedekatan itu, jika digunakan dengan penuh tanggung jawab.
Dengan memahami pentingnya menjaga etika di dunia digital, pejabat dapat membangun kepercayaan dan menciptakan ruang dialog yang sehat dengan masyarakat. Di era yang penuh tantangan ini, kehadiran pejabat di media sosial seharusnya menjadi simbol keterbukaan dan harapan, bukan sumber kontroversi. (*)